Hukum Berjabat Tangan dengan Lawan Jenis (Bukan Mahram)
Pertanyaan:
Berkenaan dengan jabat tangan bukan mahram, bagaimana kiranya hukumnya? Terima kasih.
Azhar, Malang (disidangkan pada Jum’at, 4 Muharram 1440 H / 14 September 2018 M)
Jawaban:
Kami ucapkan terima kasih atas kepercayaan saudara kepada Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk menjawab pertanyaan saudara.
Di dalam Islam, berjabat tangan (dalam bahasa arab disebut al-mushafahah) sebagai tanda penghormatan dan persaudaraan merupakan hal yang disunnahkan. Hal itu dapat diketahui dari salah satu hadis yang berbunyi sebagai berikut:
عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا [رواه ابن ماجه حسنه أحمد والترمذي وابن ماجه].
Dari al–Barra bin ‘Azib (diriwayatkan), ia berkata, bersabda Rasulullah saw, “Tidaklah dua orang muslim yang saling bertemu, kemudian saling berjabat tangan kecuali keduanya akan diampuni (dosa) sebelum mereka berpisah” [HR. Ibnu Majah, No: 3693].
Dalam keterangan lain juga dinyatakan:
عَنْ قَتَادَةَ قَالَ قُلْتُ لِأَنَسٍ أَكَانَتْ الْمُصَافَحَةُ فِي أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ [رواه البخاري].
Dari Qatadah (diriwayatkan), ia berkata, aku bertanya kepada Anas, “Apakah di antara para sahabat Nabi saw sering berjabat tangan?“ Ia menjawab, “Ya” [HR. al-Bukhari, No: 5908, bab Mushafahah (berjabat tangan)].
Dua hadis di atas bersama dalil-dalil semisal menunjukkan bahwa di dalam Islam berjabat tangan ketika bertemu merupakan perbuatan baik yang memiliki beberapa faidah. Di antaranya adalah dapat menggugurkan dosa. Oleh karena itu, jabat tangan semenjak masa sahabat Rasulullah telah menjadi kebiasaan masyarakat muslim.
Namun demikian berjabat tangan dalam Islam, selain dianjurkan juga ditentukan aturannya. Terkait dengan aturan tersebut terdapat hal yang disepakati dan adapula yang tidak disepakati. Salah satunya pada hukum boleh tidaknya laki-laki dan perempuan yang bukan mahram berjabat tangan.
Di antara dalil yang dijadikan dasar tidak bolehnya berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram adalah firman Allah swt,
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ [النور (24): 31].
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita [QS. an-Nur [24]: 31].
Ayat di atas menjelaskan seorang muslimah harus menjaga dirinya dengan tidak memperlihatkan auratnya –aurat wanita adalah seluruh bagian tubuhnya kecuali telapak tangan dan wajahnya,– ia hanya boleh menampakkannya kepada mahramnya, budak-budak yang ia miliki, pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita, dan anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Jika dibolehkan untuk menampakkan auratnya itu hanya kepada mereka yang telah disebutkan dalam ayat itu maka berarti kebolehan berjabat tangan juga hanya dengan mereka.
Keumuman ayat di atas yang berbicara mengenai aurat dispesifikasikan dengan hadis Nabi saw, di antaranya,
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُبَايِعُ النِّسَاءَ بِالْكَلَامِ بِهَذِهِ الْآيَةِ (لَا يُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئًا) قَالَتْ وَمَا مَسَّتْ يَدُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ إِلَّا امْرَأَةً يَمْلِكُهَا [رواه البخاري].
Dari Aisyah r.a. (diriwayatkan), ia mengatakan, Nabi saw membaiat wanita cukup dengan lisan (tidak berjabat tangan) dengan ayat ini, “untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun …“ sampai akhir (QS. al-Mumtahanah 12). Aisyah berkata, tangan Rasulullah saw sama sekali tidak pernah menyentuh wanita selain wanita yang beliau miliki (istrinya) [HR. al-Bukhari, No: 6674, dalam bab Ba’iat Wanita]
Hadis di atas menunjukkan secara tersurat bahwa Nabi saw tidak pernah menjabat tangan perempuan yang bukan mahramnya. Keengganan Nabi saw itu menjadi tanda akan ketidakbolehan menjabat tangan laki-laki dan perempuan.
Terdapat pula hadis lain sebagai berikut,
عَنْ أَبِي العَلاَءِ حَدَثَنِي مَعْقِلُ بْنُ يَسَارٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لَا تَحِلُّ لَهُ [رواه الطبراني والبيهقي، ورجال الطبراني ثقات رجال الصحيح].
Dari Abu ‘Ala menceritakan padaku Ma’qil bin Yasar (diriwayatkan), ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya” [HR. ath-Thabrani dalam al-Mu‘jam al-Kabir 20: 212].
Sementara ulama yang berpendapat bolehnya jabat tangan antara laki-laki dengan perempuan bukan mahram dengan syarat tidak adanya syahwat dan tidak dimungkinkannya fitnah ketika berjabat tangan, memiliki pemahaman yang berbeda terkait dalil-dalil di atas. Misalnya saja Yusuf al-Qaradhawi berpendapat bahwa ketidakbolehan perempuan dan laki-laki berjabat tangan tidak dikategorikan sebagai keharaman mutlak, tetapi sebagai tindakan preventif (sad aż-żarī’ah) dari jatuh kepada perbuatan syahwat yang dilarang atau jatuh kepada fitnah. Pendapat ini didasari oleh beberapa argumen. Pertama, bahwa adanya keringanan (rukhshah) kepada perempuan dan laki-laki yang tidak bersyahwat seperti perempuan tua atau lelaki yang tidak memiliki syahwat.
Hal itu berdasarkan firman Allah QS. an-Nur (24): 60 yang artinya “dan para perempuan tua yang telah berhenti (dari haid dan mengandung) yang tidak ingin menikah (lagi), maka tidak ada dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan.” Begitu pula pada Q.S. an-Nur (24): 31 yang memasukkan pengecualian uli al-irbah min ar-rijal yang oleh al-Qaradhawi dimaksudkan dengan lelaki yang tidak memiliki syahwat kepada perempuan (lā irba lahum fī an-nisā’) dan anak kecil yang belum memiliki keinginan berhubungan seksual dikarenakan umur mereka (al-aṭfāl al-lażīna lam yaẓhar fīhim asy-syu’ūr al-jinsī liṣigari sinnihim).
Mengenai dalil yang tidak memperbolehkan, bagi al-Qaradhawi, perlu ada telaah atas pemahaman kandungan hadis-hadisnya. Seperti hadis yang diriwayatkan Aisyah bahwa Nabi saw meski dalam berbaiat, tidak pernah menjabat tangan perempuan. Ulama yang berpegang akan keharaman berjabat tangan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram menjadikan keengganan atau tidak melakukannya Nabi saw ketika itu sebagai dasar keharamannya.
Hal itu bagi al-Qaradhawi tidak bisa dijadikan patokan pasti. Sebab, tidak melakukannya Nabi saw dalam pandangan uṣūl al-fiqh tidak serta merta diartikan sebagai keharaman. Tidak melakukannya Nabi saw bisa berarti makruh atau juga hal yang boleh –mubah– seperti keengganan Nabi saw memakan daging biawak.
Selain dari itu, hadis yang diriwayatkan Aisyah bukanlah satu-satunya hadis yang menceritakan peristiwa baiat Rasulullah terhadap kaum perempuan. Terdapat pula hadis dari Ummu ‘Athiyyah al-Anshariyyah yang menunjukkan bahwa ketika Rasulullah membaiat perempuan, ia menjulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Disebutkan dalam kitab Mukhtaṣar Ṣaḥīh al-Imām al-Bukhārī,
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَرَأَ عَلَيْنَا أَنْ: لاَ يُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئًا, وَنَهَانَا عَنِ النِّيَاحَةِ، فَقَبَضَتِ امْرَأَةٌ مِنَّا يَدَهَا …
Dari Ummi ‘Athiyyah r.a. (diriwayatkan) ia berkata, Nabi saw telah membaiat kami –perempuan anshar- dan membacakan kepada kami “tidak akan menyekutukan Allah dengan sesuatu pun” dan juga melarang kami untuk meratapi (mayat) lalu di antara kami ada yang mendekap (berjabat tangan) dengan kedua tangan Rasulullah…
Dalam riwayat lain oleh ibn Hibban, al-Bazzar, ath-Thabari, Ibn Murdawaih dari jalur Ismail bin ‘Abdirrahman dengan teks yang berbeda, “fa madda yadahu min khārij al-bait wa madadnā aidiyanā min dākhil al-bait. ṡumma qāla: Allahumma isyhad.” (lalu Nabi saw menjulurkan tangannya dari luar rumah dan kami menyambut tangan Nabi saw dari dalam rumah, lalu Nabi saw berkata “ya Allah persaksikanlah). Dalam kitab Magāzī Ibn Isḥāq juga disebutkan dengan lafal “kāna -ṣallallahu ‘alaihi wa sallama- yagmisu yadahu fi inā’in wa tagmisu al-mar’ah yadaha ma’ahu (adalah Rasulullah memasukkan tangannya ke dalam bejana dan perempuan (yang hendak dibaiat) memasukkan tangannya).
Melihat keterangan-keterangan di atas, Ibn Hajar berpendapat semua riwayat tersebut menunjukkan bahwa pembaiatan Rasulullah kepada kaum perempuan tidak hanya dilakukan sekali, tetapi berkali-kali. Sehingga ada pembaiatan yang Rasulullah tidak berjabat tangan ketika itu seperti yang diriwayatkan Aisyah r.a. dan ada pula yang Rasul berjabat tangan seperti yang diriwayatkan asy-Sya’bī. Dalam hal ini, al-Qaradhawi menguatkan pendapat tersebut.
Ia menambahkan bahwa riwayat Aisyah itu berbicara terkait baiat yang terjadi pada perempuan mukminat muhajirat setelah terjadinya perdamaian Hudaibiah. Adapun yang disampaikan oleh Ummu ‘Athiyah tampak jelas lebih umum dan mencakup baiat perempuan secara luas, termasuk di antaranya adalah baiat perempuan-perempuan Anshar. Kesimpulan ini diindikasikan dari al-Bukhari yang memasukkan riwayat Aisyah r.a. pada bab “iżā jā’akum al-mu’mināt muhājirāt” sementara hadis Ummu ‘Athiyah pada bab “iżā jā’aka al-mu’mināt yubāyi’naka.”
Begitu pula dengan hadis kedua yang dijadikan hujjah keharaman berjabat tangan, yang mana lafal hadis tersebut mengisyaratkan dengan keras buruknya “menyentuh” perempuan sebab lebih baik kepala ditusuk paku besi. Dalam hal ini, kata “menyentuh” diartikan dari kata “ان يمس”. Bagi al-Qaradhawi kata tersebut mengandung makna ganda. Sebab kenyataannya lafal al-massu dalam hal ini bisa juga merupakan kiasan (kinayah) untuk menunjukkan kepada hubungan badan. Pengertian seperti ini disepakati oleh beberapa Sahabat, seperti Ibn ‘Abbas ketika menafsirkan ayat “aw lāmastum an-nisā’) yang dijelaskan beliau sebagai kiasan untuk hubungan seksual (kināyah li al-jimā’). Sehingga karena adanya multi-makna, al-Qaradhawi menganggap hadis tersebut dikategorikan sebagai zhanni ad-dilalah meski dari segi validitas termasuk hadis qath‘i.
Persoalan ini pun, jika hendak merujuk pada empat mazhab besar fikih yang berlaku hingga sekarang juga berbeda-beda menentukan hukumnya. Mazhab Hanafiyyah misalnya, mempunyai tiga hukum berjabat tangan; pertama, jika yang berjabat tangan adalah laki-laki dan perempuan yang masih muda, maka hal itu tidak diperbolehkan; kedua, jika yang berjabat tangan adalah laki-laki dan perempuan yang telah memasuki usia tua, maka berjabat tangan diperbolehkan; dan ketiga, apabila salah satu di antaranya adalah orang tua dan satunya masih muda, maka tinggal melihat kepada kemungkinan syahwat dan terjadinya fitnah.
Adapun mazhab Syafi’iyyah dengan tegas menyatakan bahwa tidak boleh berjabat tangan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram kecuali telah memenuhi dua syarat, (1) terhindar dari fitnah, (2) jabat tangan tersebut dilakukan di belakang penghalang.
Mencermati pemahaman dan diskusi para ulama di atas, hakikatnya menguatkan pendapat bahwa ketidakbolehan berjabat tangan laki dan perempuan bukanlah keharaman yang mutlak, tetapi karena ada sebab yaitu agar tidak timbulnya syahwat yang diharamkan dan terjadi fitnah. Untuk itu, mengapa jumhur ulama lebih memilih untuk melarang, disebabkan mengambil jalan tindakan preventif (sad aż-żar’īah) agar hal yang dikhawatirkan tidak terjadi.
Berdasarkan pembacaan dan ulasan di atas dapat disimpukan bahwa pada dasarnya berjabat tangan merupakan hal yang dianjurkan di dalam Islam. Namun demikian, apabila hal tersebut justru mendatangkan kerugian atau kerusakan yang lebih besar maka sebaiknya dihindari. Salah satunya yaitu jabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang masih muda dan bukan mahram di mana jabat tangan tersebut bisa jatuh kepada syahwat terlarang dan menimbulkan fitnah. Hal ini berdasarkan pula pada kaidah ushul,
دَفْعُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ المصَالِحِ
Menolak segala bentuk kemafsadatan lebih didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan.
Wallahu a‘lam bish-shawab
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 13 Tahun 2019