Haedar Nashir
Buya Ahmad Syafii Maarif genap 85 tahun. Perjalanan usia yang cukup panjang, alhamdulillah tampak sehat dan segar. Selamat, Buya. Semoga diberi anugerah berkah!
Saya mengenal buya sejak beliau kembali dari Chicago, tahun 1983. Tahun 1984 waktu itu beliau jadi narasumber seminar IPM di Surabaya dan saya mewakili PP IPM, bersama naik kereta api malam dari stasiun Tugu Yogya. Di situlah saya berkesempatan pertamakalinya mengobrol panjang dan dekat dengan beliau. Kagum dan tidak tahu jadi merasa dekat. Setelah itu melalui IPM dan kemudian Badan Pendidikan Kader di mana saya aktif, sering komunikasi sampai Muktamar ke-40 tahun 1985 yang heboh karena asas tunggal Pancaila berlangsung. Waktu itu Buya Syafii menjadi anggota Majelis Tabligh dengan Ketua Pak Amien Rais. Kami lebih dekat lagi setelah tahun 2000 ketika terpilih 13 anggota PP Muhammadiyah, yang mengantarkan beliau menjadi Ketua dan kemudian saya menjadi Sekretaris.
Buya Syafii sosok yang sederhana, tentu cerdas berilmu dan berwawsan luas, humanis, serta lugas tapi santun. Itulah gambaran singkat tentang sosok Buya dalam kesimpulan saya setelah mengenal beliau yang cukup lama. Kelugasannya lahir dari sikapnya yang terbuka secara tulus. Sikap terbuka apa adanya –autentik meminjam istilah beliau– yang membuat dirinya sangat egaliter dan demokratis. Egaliter dapat berkomunikasi dengan siapa saja tanpa sekat usia, kedudukan, dan lainnya yang membuatnya setiap orang nyaman tanpa rasa takut tapi tetap hormat kepadanya.
Beliau demokratis antara kata dan tindakan. Buya Syafii, kalau boleh saya katakan adalah satu tokoh bangsa yang langka dalam sikap demokratisnya yang autentik. Maaf tokoh lain boleh ada yang banyak disebut tokoh demokrasi, tetapi belum tentu sikapnya demokratis terhadap pihak lain. Malah tidak sedikit yang otoriter, sekehandaknya, dan tidak mau mendengar kritik atau masukkan dari orang lain.
Buya Syafii berbeda. Beliau bersedia dikritik oleh siapapun, bahkan dihujat dan dihakimi buruk. Buya tetap terbuka tanpa marah dan bersikap posesif atau reaktif berlebihan terhadap kritik. Apalagi rasa dendam. Itulah demokrat apa adanya, aseli.
Kelugasannya dalam bersikap atau ketika menyampaikan kritik tidak disertai kalimat-kalimat menyerang, sehingga tidak menyakiti subjek.
Keterbukaannya juga ditunjukkan dalam pemikiran beliau dan berinteraksi dengan siapapun secara inlusif, sehingga radius pergaulannnya bersita lintas tanpa batas. Buya sosok pluralis yang sesungguhnya, yang kadang atau sering disalahpahami oleh sementata pihak seperti rumah tanpa pagar. Kelebihannya dalam mengusung interaksi dan pemikiran antariman dan antargolongan disertai ketulusan atau bersikap apa adanya, tanpa banyak retorika dan bumbu-bumbu simbolisme. Apalagi ada unsur politisasi, jauh panggang dari api. Sikap inklusif yang alamiah seperti inilah yang membuat Buya memperoleh trust atau kepercayaan tinggi di masyarakat luas, termasuk di kalangan pemuka agama-agama dan tokoh bangsa lainnya.
Setiap orang tentu memiliki kelemahan, tiada gading yang tak retak. Bila disimpulkan, di antara yang menonjol dari Buya Syafii Maarif ialah sikapnya yang egaliter dan demokratis dalam arti yang sebenarnya. Ibarat rumah, Buya adalah rumah terbuka. Siapapun dapat melihat dan berinteraksi dengannya secara transparan, tanpa sungkan dan berhiaskan kamuflase!