Oleh Hani Adhani
Pandemi virus corona yang menimpa belahan dunia saat ini, menjadi permasalahan baru bagi seluruh warga dunia. Ratusan ribu manusia di seluruh dunia telah menjadi korban dan kita tidak pernah tahu kapan pandemi ini akan berakhir.
Setiap negara berupaya untuk survive melawan corona dengan melakukan segala upaya untuk melindungi warganya. China sebagai negara yang pertama kali terjangkit, setelah mengetahui banyaknya korban jiwa akibat virus corona ini, akhirnya memberlakukan keadaan darurat dengan cara menutup Kota Wuhan (lockdown) sehingga masyarakat yang berada di Kota Wuhan tidak dapat keluar dari Kota Wuhan dan sebaliknya masyarakat dari luar Kota Wuhan juga tidak bisa masuk ke Kota Wuhan.
Regulasi yang dilakukan oleh Pemerintah China tersebut kemudian di tiru oleh berbagai negara di berbagai belahan dunia. Namun dengan melihat kondisi masyarakat, setiap negara mempunyai regulasi yang berbeda terkait pemberlakuan lockdown ini, sehingga ada yang memberlakukan lockdown secara penuh seperti halnya di Kota Wuhan, namun ada juga negara yang memberlakukan lockdown secara parsial dan hanya berdasarkan wilayah seperti halnya di Indonesia.
Regulasi Darurat Kesehatan
Kebijakan masing-masing negara untuk memberlakukan keadaan darurat biasanya sudah diatur secara spesifik dalam konstitusi masing-masing negara sebagai hukum tertinggi. Sebagai contoh negara China sudah mengatur tentang mekanisme darurat dalam konstitusinya, dimana Presiden menjadi titik tumpu otoritas untuk memutuskan keadaan darurat baik di seluruh negara atau perwilayah provinsi. Begitupun negara dengan mayoritas muslim yang berada di Eropa yakni Turki, juga mengatur secara rigid keadaan darurat apabila terjadi pandemic. Dalam konstitusi Turki kewenangan untuk menetapkan keadaan darurat juga berada di tangan Presiden. Hal yang sama juga terjadi di Negara Malaysia dimana dalam konstitusi Malaysia keadaan darurat menjadi hak prerogatif Raja dan Perdana Menteri.
Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki konstitusi yang modern yakni konstitusi yang melindungi hak asasi manusia secara menyeluruh juga mengatur secara jelas tentang aturan kedaan darurat ini. Dalam Pasal 12 Konstitusi Indonesia (UUD 1945) disebutkan “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”. Sejauh ini terkait dengan upaya untuk menanggulangi virus corona, Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang diundangkan tanggal 8 Agustus 2018. Selain itu, Presiden juga telah mengeluarkan beberapa peraturan diantaranya menetapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat (Kepres 11/2020) dan juga mengeluarkan aturan tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 (PP 21/2020).
Hal lain yang juga dilakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai upaya untuk menutup ruang penyebaran virus covid-19 adalah dengan membuat regulasi, protokol kesehatan dan berbagai aturan hukum dibawah undang-undang dengan tujuan agar masyarakat bisa bersama-sama memutus rantai penyebaran virus corona.
Kepastian Hukum Saat Darurat Kesehatan
Namun, meski Pemerintah dengan segala cara berupaya untuk menutup ruang pergerakan virus corona, fakta yang terjadi di masyarakat justru berbeda, oleh karena berbagai aturan tersebut ternyata tidak cukup efektif meredam keinginan masyarakat untuk tidak keluar rumah. Ditambah lagi dengan banyaknya aturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang justru saling bertentangan antara aturan yang satu dengan aturan yang lainnya, semakin menambah kebingungan masyarakat sehingga berdampak pada adanya ketidakpastian hukum.
Masyarakat pada akhirnya terbagi menjadi dua pandangan, yakni yang mengikuti anjuran Pemerintah dengan melaksanakan semua regulasi dan anjuran yang ada, namun ada juga masyarakat yang menolak regulasi yang ada dan tidak mengikuti anjuran Pemerintah. Tambah lagi, dengan tidak adanya sanksi yang jelas dan tegas dalam berbagai peraturan yang dikeluarkan dan tanpa dukungan dari aparat penegak hukum menyebabkan aturan yang ada tersebut menjadi tidak efektif.
Padahal kepastian hukum ini menjadi kunci utama dalam hal penegakan hukum di saat darurat kesehatan ini diberlakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Apabila kepastian hukum ini tidak ditegakan, maka hal tersebut akan berimbas kepada terlanggarnya hak konstitusional warga negara yang lain seperti hak hidup, hak untuk mendapatkan pekerjaan, hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat, hak untuk mendapatkan perlindungan dan rasa amandan hak dasar warga negara lainnya sebagaimana telah diatur dalam Konstitusi Indonesia (UUD 1945).
JR ke MK dan MA
Lalu apa saja yang bisa kita lakukan sebagaimana warga negara yang baik untuk menghindari adanya potensi kerugian konstitusional ditengah pandemi Covid-19 ini dengan berlakunya berbagai macam aturan yang telah dibuat oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pertama adalah mengajukan gugatan atau permohonan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi secara online melalui aplikasi bernama “Simpel” yang tersedia di website Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu peradilan yang memiliki platform “modern dan terpercaya” berupaya untuk menarik perhatian masyarakat untuk peduli dengan hak konstitusionalnya dengan memaksimalkan teknologi ICT. Selain memiliki aplikasi di App Store dan Play Store yang bernama “Click MK”. Mahkamah Konstitusi juga memiliki laman khusus yang memungkinkan masyarakat mengajukan permohonan secara online melalui aplikasi yang bernama “Simpel”.
Media “Simpel” ini adalah sebuah aplikasi berbasis web yang memberikan akses langsung kepada para pihak termasuk untuk mengajukan permohonan secara online serta melakukan persidangan video conference atau persidangan jarak jauh sehingga para pihak tidak perlu datang ke ruang sidang Mahkamah Konstitusi. Selain itu, masyarakat yang mengajukan gugatan juga tidak dikenakan biaya perkara atau gratis.
Yang kedua, mengajukan gugatan atau permohonan judicial review peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang ke Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung sebagai salah satu badan peradilan terpercaya juga menerapkan pengajuan gugatan melalui elektronik atau E-Court. Dikutip dari laman aplikasi E-Court Mahkamah Agung yakni https://ecourt.mahkamahagung.go.id, bahwa layanan E-Court ini adalah layanan bagi pengguna terdaftar untuk pendaftaran perkara secara online, mendapatkan taksiran biaya perkara secara online, pembayaran secara online, pemanggilan yang dilakukan dengan saluran elektronik, dan persidangan yang dilakukan secara elektronik.
Tentunya, dua aplikasi yang dibuat oleh Mahkamah Konstitusi yakni “Simpel” dan Mahkamah Agung yakni “E-Court” dapat menjadi “media konstitusional” bagi masyarakat untuk mencari keadilan dan kepastian hukum di tengah wabah corona yang berpotensi menganggu hak konstitusional warga negara di seluruh Indonesia.
Inilah cara beradab dan konstitusional yang sudah diatur dalam konstitusi Indonesia untuk mencari solusi atas berbagai permasalahan hukum yang ada di masyarakat. Kita berharap masyarakat, para advokat, NGO ataupun Ormas memiliki kesadaran yang sama untuk melakukan upaya hukum ke Mahkamah Konstitusi atau ke Mahkamah Agung apabila ada aturan yang berpotensi melanggar konstitusi agar kepastian hukum di saat pandemi ini dapat segera terwujud sehingga pengadilan benar-benar menjadi alat kontrol segala kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Semoga di tengah pandemi ini, Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung juga dapat memberikan pelayanan yang maksimal bagi masyarakat, bekerja profesional dengan tetap menjaga integritas, independensi dan imparsialitas sehingga pengadilan Indonesia dapat menjadi contoh bagi peradilan dunia dalam hal memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum di tengah wabah corona ini.
Hani Adhani, PhD candidate, AIKOL, IIUM Malaysia. Anggota PCIM Malaysia. Alumni FH UMY, FH UI dan The Hague University