Oleh : Haidir Fitra Siagian
Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Kemarin sore saya masih berada di luar kota, tepatnya di kawasan Shellharbour, sekitar dua puluh lima kilometer ke arah Selatan Kota Wollongong, New South Wales, Australia. Beberapa informasi di media sosial beredar kabar bahwa seorang sahabatku, Rayudaswati Budi, telah berpulang ke rahmatullah. Sebagaimana banyak pihak, seolah tidak percaya dan sangat kaget atas informasi ini. Saya mencoba mencari informasi yang lebih valid ke beberapa sumber. Benar beliau meninggal dunia di RSWS Makassar, siang menjelang sore hari.
“Kamu pasti anak, IRM, Haidir!”, katanya dua puluh enam tahun lalu. Saat itu kami sama-sama berada di pedalaman Kabupaten Maros arah ke Bone, dalam rangka Bina Akrab Mahasiswa Baru Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, Angkatan tahun 1994. Mengapa dia mengatakan demikian? Hanya karena saya, menurutnya, pinta memasak nasi.
Sudah hampir jam sebelas siang, nasi yang dimasak oleh perempuan panitia bina akrab belum masak. Saya sendiri baru bangun dari tidur di pematang sawah, karena semalaman digembleng oleh dewan senior di menelusuri sungai yang teramat dingin di kegelapan malam. Entah jam berapa saya salat subuh. Begitu saya terbangun, matahari sudah tinggi, dan saya pergi mengambil air wudhu dan salat subuh di pematang sawah tanpa sajadah.
Saya mendekat kepada teman-teman sesama peserta bina akrab, yang rata-rata juga baru bangun. Tak lama, saling bertanya, kapan kita makan pagi ini? Katanya belum masak nasi, sahut yang lain. Saya tak bereaksi apapun. Saya kan masih anak baru, masih takut bertanya ini dan itu, apalagi kepada dewan senior. Lama-lama juga perut terasa lapar. Saya mencoba mendekat ke arah panitia, kaum Hawa, yang sedang memasak. Pantaslah nasi tak bisa matang, sahutku. Biar beberapa hari, masak nasi begini tidak akan matang-matang.
Rupanya mereka memasak nasi memakai periuk dandang. Semua beras dimasukkan ke dalam periuk tersebut, lalu ditaruh di atas kompor gas. Sedikit demi sedikit mereka menambah air. Saya bilang tak begini cara masak nasi. Seharusnya, beras dimasak tersendiri, setelah setengah matang, barulah dipindahkan ke periuk dandang, setelah air di bawahnya mendidih. Saya, tanpa disuruh, mengambil alih proses masak memasak nasi. Sedangkan teman-teman perempuan memasak indomie dan telur rebus. Tak lama setelah itu, sembilan puluhan peserta bina akrab bersama dewan senior bisa lega, dapat makan pagi.
Setelah itu, Bu Ayu, datang kepada saya. Kamu pasti anak IRM, katanya. Iya, kataku. Saya mengaku dari IRM Cabang Mamajang Kota Ujung Pandang. Dia sendiri mengaku dari IRM Cabang Sengkang Kabupaten Wajo. Kenapa tahu saya anak IRM? Karena kamu pintar masak, katanya. Memang ketika kita masuk IRM jadi panitia training, pasti pernah memasak di dapur untuk kepentingan makan peserta. Tetapi untuk urusan masak di dandang dengan jumlah besar, sebenarnya saya lihat ketika pesta di kampung saya, Sipirok, Tapanuli Selatan Sumatra Utara. Setia pada pesta perkawinan atau qurban Idul Adha, para bapak-bapak menjadi seksi masak nasi di halaman atau jalanan, dengan memakai dandang besar, dimasak di atas tungku yang disebut sebagai “Dalihan Na Tolu”, dimana kayu bakar sebagai bahan apinya.
Kembali tentang Ibu Ayu. Dalam perjalanan kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi, kami selalu diskusi dan berinteraksi. Hingga suatu saat kami berdiskusi untuk mengaktifkan kembali Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Komisariat Fisip Unhas. Beberapa teman dari jurusan yang sama, kami ajak bergabung: Siswanto, Sahwan, Musdalfa, Ramlan, Anggriani S. Ugart, Muflihah CH, dan lain-lain. DAD pertama kami adakan di Ta’mirul Masajid, Jalan Banda. Dalam DAD pertama ini, ada beberapa peserta yang ingin saya sebut namanya, jika tidak salah ingat: Jumrah, Muhaemin, Syafaruddin Ahmad, Mahading, Hasnah, Rahmat Abdul Rajab, dan lain-lain.
Setelah DAD, diadakan pemilihan pengurus baru. Terpilih sebagai pengurus adalah saya sendiri sebagai ketua umum, Rahmat Abdul Rajab sebagai sekretaris umum, dan Ibu Ayu sebagai bendahara umum. Kegiatan kami selalu pengurus IMM cukup banyak dan ramai. Kami punya secretariat tetap di Pondok Helvi, persis di samping kamar Ibu Ayu, dekat juga dari Pondok Fitri, tempatnya Ibu Nining. Rapat dan pengajian sering kami adakan di sana. Kanda Andi Afdal Adullah, pernah datang ke sekretariat ini. Berbagai kegiatan kami adakan selama menjadi pengurus. Beberapa kali DAD, Bakti Sosial, hingga seminar nasional menghadirkan Pak Amien Rais. Dalam beberapa DAD berikunya, turut bergabung beberapa nama yang ingin saya sebutkan diantaranya adalah Sulfan Sulo, Hasbar Hamma, Syarifuddin Jurdi, Wahidah Suryani, Alm. Muhammad Said, Haerul Amri, Mariyani Mahmud, Adnan Nasution, Ahmad Yasser Alimuddin, dan lain-lain.
Hingga kami pernah mendapatkan predikat sebagai Komisariat Teladan IMM se-KMUP dengan memperebutkan piala dari Walikota KMUP saat itu. Setelah periode kami berakhir, saya tetap aktif di IMM. Sedangan Ibu Ayu memilih melebarkan sayap perjuangannya ke organisasi lain. Memasuki beberapa kelompok diskusi dan menjadi pengurus beberapa UKM tingkat universitas.
Kami baru bertemu lagi menjelang keberangkatan ke lokasi KKN di Pangkep tahun 1998. Dialah yang “memprovokasi” mahasiswa lain untuk mengangkat saya sebagai Koordinator Kecamatan Mandalle. Di lokasi KKN, kami berbeda penempatan di desa yang cukup berjauhan. Tapi saya sebagai Koorcam, saya sering mengunjungi setiap posko. Jika datang ke poskonya, beliaulah yang membuatkan saya teh manis dan kue-kue. Mengajak makan siang di poskonya. Tidak boleh pulang sebelum makan, katanya.
Saya senang ketika bertemu dengan beliau, sekitar tahun 2002 di depan Kopma Unhas Tamalanrea. “Ayu, mau kemana?”. Mau rapat direktorat, katanya. Mungkin Ibu Ayu sudah dosen, dalam hatiku. Dia menyerahkan selembar kartu namanya, Sekretaris Dekan Fisip. Kami juga sempat satu jurusan saat mengambil progam magister di PPs Unhas, bidang Ilmu Komunikasi. Meski saya duluan masuk, ternyata dia duluan yang selesai.
Pada saat saya menjadi pelaksana tugas sekretaris Jurusan Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin tahun 2008-2010, saya memintanya mengajar beberapa mata kuliah jurnalistik. Saya sempat ke rumahnya di Jalan Onta, mengantarkan bahan kuliah, dan pernah juga mengantarkan honor mengajarnya. Ketika saya tugas belajar ke Malaysia, beliau masih mengajar.
Suatu ketika dia mengirim pesan kepada saya. “Haidir, tolong bantu saya”. Ada apa? Saya mau mendaftar menjadi anggota KIP (Komisi Informasi Publik) Sulawesi Selatan. Padahal saya masih tugas belajar di UKM. Saya masih di Malaysia, kataku. Dia bilang, Haidir pasti tahu apa yang bisa dilakukan. Beberapa saat kemudian, benar, dia lulus menjadi anggota KIP Sulsel. Saya lupa kapan persisnya kami bertemu lagi. Jika bukan acara ISKI di salah satu hotel di bilangan Pantai Losari, kemungkinan saat reuni Kosmik beberapa tahun lalu.
Semoga Allah SWT menerima segala amal ibadahnya, kebaikan hatinya, kerja-kerjanya dalam membina umat, budi baiknya dalam berhubungan dengan sesama. Pun mengampuni segala dosa-dosanya. Hingga memberikan satu tempat yang paling mulia di sisi-Nya. Insya Allah.
Wassalam
Keiraville, 02 Juni 2020 jelang Duhur
Haidir Fitra Siagian, PRIM New South Wales Australia, Dosen UIN Alaudin Makassar