Oleh: Deni al Asyari
Dalam berniaga, tidak jarang kita merasa underestimate, ketika melihat persaingan bisnis. Apalagi, ketika berhadapan dengan para pebisnis besar, investor besar bahkan para aktor-aktor ekonomi kelas kakap.
Sehingga, kata-kata ” tidak mungkin “, dengan mudah meluncur dari mulut kita, untuk berkompetisi. Memang, kadang hal yang seperti ini seperti “sunnatullah”, apalagi sering sekali mitos-mitos dari nenek moyang kita dahulu mengatakan, hidup itu harus mengukur bayang-bayang. Kalimat ini, seperti “memukul” kesadaran kita, untuk berpikir sekian kali, untuk berkompetisi dalam berbisnis.
Misalnya dalam berbisnis, sembako, ekspedisi ataupun kertas, kita mungkin ragu untuk melangkah serius dan lebih jauh, lantaran adanya kalimat ” tidak mungkin” ini, untuk bersaing dengan para aktor ekonomi yang menguasai hulu bisnis. Akhirnya, pilihan kita cendrung untuk setengah-setengah dan pastinya di bawah sub-ordinasi aktor-aktor ekonomi penguasa hulu bisnis ini.
Padahal kalau kita mencermati betul, sesungguhnya antara posisi kita dengan mereka, adalah sama untuk mengatakan tidak jauh berbeda. Kenapa sama ? Karena bagi mereka yang menguasai hulu bisnis, belum tentu menguasai hilir bisnis. Mereka, dapat menguasai hilir bisnis, karena kita mau atau terpaksa menempatkan diri, sebagai bagian hilir bisnisnya mereka atau sub-ordinasi mereka.
Jika, dalam pengelolaan hilir bisnisnya ini, kita mengambil langkah yang berbeda, tentunya, mereka tidak akan menguasai hulu bisnisnya. Semakin kita tumbuh besar, sebagai hilir bisnisnya, maka semakin besar pula kekuasaan para aktor ekonomi ini di hulunya. Dengan semakin besar penguasaan mereka di hulunya, maka akan semakin kuat kuasanya dalam menentukan dan mengelola kebijakan pasar.
Dan potret seperti inilah, saat sekarang yang sedang dialami oleh umat Islam, termasuk tentunya jamaah persyarikatan Muhammadiyah. Kita, sebagai kelompok mayoritas dan sebagai pasar utama dalam sektor ekonomi di tanah air, hanya mengambil peran, di sektor hilir bisnis. Sementara sebagian kelompok kecil, mengambil posisi untuk menguasai hulu bisnis.
Keberhasilan kelompok kecil ini menguasai hulu bisnis, karena kita umat mayoritas, ikhlas dan “dipaksa”, menjadi bagian hilir bisnis mereka. Sehingga, secara tidak langsung, umat mayoritas ini, sangat tergantung dengan kelompok kecil yang menguasai hulu bisnis.
Keikhlasan dan keterpaksaan kita sebagai umat mayoritas menjadi bagian hilir bisnis kelompok kecil ini, tentunya tidak lepas dari mindset awal kita, yang mengatakan “tidak mungkin” tadi. Baik untuk bersaing maupun untuk kita menguasai hulu bisnisnya. Tentu hal yang sama, juga dialami dalam banyak sektor bisnis lain.
Modal Jamaah
Adalah Prof. Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, pernah mengungkapkan, bahwa memang benar, “mereka” menguasai hulu bisnis, “mereka” memiliki modal besar dan sumber-sumber produksi, namun yang harus kita sadari juga, bahwa “mereka” tidak memiliki pasar (umat) yang besar, sebagaimana yang kita miliki.
Ungkapan bijak ini, sesungguhnya poin penting bagi umat mayoritas dalam melihat dan menata kembali potret bisnis dan ekonomi kita. Walaupun, kalimat tersebut tidak dimaksudkan untuk mendeskreditkan satu kelompok, namun kalimat ini, merupakan jawaban, atas kalimat “tidak mungkin” yang sering kita lontarkan, untuk mengelola ekonomi umat secara profesional dan kompetitif.
Sebab, tidak akan besar hulu bisnis, jika hilir bisnis tidak dikuasai secara baik. Karena pokok utama dalam membangun dan mengembangkan hulu bisnis adalah dengan cara menguasai hilir bisnis.
Sebagai contoh praktis misalnya, ketika kita ingin memasarkan produk minyak. Pihak pabrik akan memberikan harga yang paling murah, dengan kapasitas kuantiti minimal order yang sangat banyak, hingga butuh modal milyaran rupiah. Jika kita tidak mampu membeli sesuai jumlah minimal order ini, tentu harga yang diberikan, tidak jauh berbeda dengan harga pasaran.
Sementara, bagi kelompok bisnis yang minoritas, karena didukung oleh modal yang kuat, tentunya akan dengan mudah membeli jumlah sesuai ketentuan kuantiti minimal order tersebut, — sebab selain memiliki dukungan perbankan dan juga jaringan investor. Dengan cara ini, mereka akan mendapatkan harga yang jauh lebih murah. Maka, ketika di bawa ke lapangan (pasar), pilihan masyarakat akan membeli produk kelompok ini, yang harganya jauh lebih murah, sementara posisi kelompok umat yang mayoritas, hanya menjadi jalur distribusi urutan kesekian, dengan harga yang relatif tinggi.
Apalagi karakter masyarakat kita dalam aspek transaksi, seakan sudah menjadi kebiasaan untuk memilih dan membeli barang yang lebih murah, walau sumber barang itu, bukan bagian dari bagian kita atau tidak ada kepentingan kita sama sekali. Misal, walaupun tetangga rumah kita, menjual harga 1 item produk 10.000, namun jika ada harga 9.900 rupiah, walau produk itu terdapat jauh dari rumah kita, apalagi dijual dipasar modern, maka, kebanyakan kita akan memilih harga yang 9.900, dengan alasan lebih murah.
Padahal, tanpa kita sadari, pilihan kita membeli lebih murah, walau jauh dari rumah kita, sesungguhnya harganya lebih mahal dibandingkan produk tetangga kita yang menjual harga 10.000 tadi. Kenapa? Karena tanpa kita sadari, dengan maksud membeli lebih murah, justru kita sudah mengeluarkan biaya penyertaannya, seperti bensin, kendaraan, waktu dan jarak tempuh, biaya parkir dan lainnya, yang jika diakumulasi, nilainya jauh lebih besar dibandingkan 10.000 tadi.
Belum lagi, jika hal ini dikaitkan dengan aspek sosial. Artinya, kelompok yang menjual lebih murah dan lebih bersih tersebut, belum tentu dan bahkan dipastikan, tidak akan memberikan manfaatnya secara proporsional kepada umat yang mayoritas. Berbeda halnya, jika keuntungan transaksi ini, dimiliki oleh warung jamaah atau toko tetangga kita. Keuntungan yang mereka peroleh, pasti akan memberikan dampak bagi kita atau masyarakat setempat.
Misalnya saja, jika ada pembangunan masjid, atau renovasi jalan kampung, mau tidak mau, tetangga yang menikmati keuntungan dari transaksi kita, akan memberikan sumbangsih untuk kepentingan bersama. Bahkan, jauh dari itu, seandainya, keluarga kita ada yang wafat atau sakit, tidak mungkin toko yang jauh dan lebih murah tadi akan membantu kita. Solusi dan satu-satunya jalan, adalah tetangga kita yang terdekat, dan mungkin saja warung tetangga kita yang bukan pilihan kita untuk berbelanja.
Maka, sudah saatnya, kalimat “tidak mungkin” dalam berkompetisi, kita buang jauh-jauh, dengan mengubah cara berpikir baru. Bahwa kita bisa dan sangat mungkin menguasai hulu bisnis. Dengan cara, menurunkan ego kita dalam bertransaksi, tidak melihat semata-mata murah, namun juga melihat pada aspek konsolidasi pasar jamaah.
Artinya, jika umat yang mayoritas ini membangun satu barisan pasar yang terkonsolidasi, tentu apa yang dilakukan oleh para aktor ekonomi kelas kakap untuk menguasai hulu atau pabrik dari setiap produk, bisa dilakukan oleh umat mayoritas. Sebab, dengan kekuatan jamaah (pasar) ekonomi yang terkelola secara terpadu, maka kita bisa pastikan untuk bisa mengelola hulu bisnis dengan harga murah. Karena, dengan pasar jamaah yang sudah terkonsolidasi, kita tidak khawatir untuk menyediakan berapapun jumlah produk, sebab, pasar jamaah sebagai rantai distribusi sudah tersedia.
Dengan konsep seperti ini, umat mayoritas pun, akan mampu bersaing harga di pasar, karena kita mampu mengelola dan menguasai hulu bisnis dengan harga lebih murah.
Setidaknya, langkah-langkah ini dapat menjadi ikhtiar kecil, sebagai jalan pembuka bagi kepentingan bisnis yang lebih besar. Insyalah jika konsisten dengan semua ini, maka janji Allah, yang mengatakan, bahwa Allah tidak pernah membatasi kemampuan manusia, hanya manusianya saja yang cenderung membatasi kemampuannya, akan bisa kita hadirkan.
Singkat kata, bahwa teori dalam berbisnis itu penting, namun lebih penting lagi aksi untuk kita memulai. Maka, melalui BULOGMU dan EKSPEDISI SM LOGISTIK, kami nanti kehadiran kita semua, untuk menjadi satu barisan jamaah. Wallau ‘alam.
Yogyakarta, 3 Juni 2020
Deni al Asyari, Direktur Utama PT Syarikat Cahaya Media/SM