Mohammad Fakhrudin
Judul artikel ini merupakan bagian dari doa mohon perlindungan dari empat perkara, yakni (1) ilmu yang tidak bermanfaat, (2) hati yang tidak pernah khusyuk, (3) nafsu yang tidak pernah puas, dan (4) doa yang tidak didengar. Lafal doa itu selengkapnya adalah,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُبِكَ مِنْ عِلْمٍ لَايَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَايَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَاتَشْبَعُ، وَمِنْ دُعَاءٍلَايُسْمَعُ
“Ya, Allah. Sesungguhnya, aku berlindung kepada-Mu dari empat perkara, yaitu dari ilmu yang tidak bermanfaat; dan dari hati yang tidak khusyuk; dan dari nafsu yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak didengar. (HR Abu Dawud)
Penggunaan kata didengar dalam terjemahan hadis tersebut perlu mendapat perhatian secara khusus. Di dalam bahasa Indonesia ada kata mendengar (hear dalam bahasa Inggris) dan mendengarkan (listen dalam bahasa Inggris). Kata mendengar berbeda dari mendengarkan.
Mendengar melakukan tindakan dengan telinga terhadap suara dan/atau bunyi secara tidak sengaja atau sambil lalu. Mendengarkan dilakukan dengan sengaja dan intensif. Penggunaan kedua kata itu tentu berbeda. Ketika ada bayi menangis, kita mendengar, tidak mungkin mendengarkan. Namun, ketika ada tausiyah, kita mendengarkan. Dari aspek hasil yang diperoleh, tindakan mendengarkan in sya Allah lebih lengkap isinya dan lebih dapat dijamin kebenarannya.
Di samping ada bentuk mendengar dan mendengarkan, di dalam bahasa Indonesia ada pula bentuk didengar dan didengarkan. Tausiyah yang hanya didengar, boleh jadi “masuk telinga kanan, dan keluar lagi lewat telinga kanan juga.” Berbeda halnya jika tausiyah itu didengarkan. Jika tausiyah didengarkan, in sya Allah orang yang mendengarkannya mengetahui isi dan cara menyampaikan tausiyah itu. Dari orang yang mendengarkan dapat diharapkan bahwa isi tausiyah itu diamalkan.
Mari kita renungkan: betapa sedihnya jika doa kita oleh Allah didengar pun tidak! Dalam konteks ini doa yang tidak didengar berari tidak dikabulkan. Adakah doa kita yang tidak didengar? Apa yang menyebabkan doa tidak didengar?
Allah berfirman dalam surat al-Baqarah (2): 186
وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa. Apabila ia memohon kepada-Ku, hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
Dari ayat tersebut diketahui bahwa syarat yang harus dipenuhi agar doa kita dikabulkan adalah (1) memenuhi segala perintah Allah dan (2) beriman kepada Allah. Perintah Allah sangat banyak. Satu di antaranya adalah perintah makan yang halal dan baik sebagaimana difirmankan-Nya dalam surat an-Nahl (16): 114,
فَكُلُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ حَلٰلًا طَيِّبًاۖ وَّاشْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ
“Maka, makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan oleh Allah kepadamu dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.”
Sementara itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
“ … kemudian beliau (Nabi) menuturkan seorang lelaki yang memanjangkan perjalanannya, kusut rambutnya, lagi berdebu, dia mengulurkan tangannya ke langit (seraya mengucapkan), “Wahai, Tuhanku! Wahai, Tuhanku! (Berdoa kepada Allah), padahal makanannya barang haram, minumannya barang haram, yang dipakainya barang haram, yang dipakainya barang haram, dan diberi makan barang haram, maka bagaimana akan dikabulkan doanya yang demikian itu?” (HR Muslim)
Dalam riwayat lain dijelaskan juga
اِنَّ الرَّجُلَ لِيَقْذِفُ اّلُلقْمَةَ الْحَرَامَ فِي جَوْفِهِ مَا يَتَقَبَّلَ مِنْهُ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا
“Sesungguhnya, orang yang melemparkan sesuap barang haram di dalam perutnya, Allah tidak akan menerima doa darinya empat puluh hari.”
Yuk, mawas diri. Kita mulai dari diri kita dan keluarga. Pastikan bahwa rezeki yang kita nafkahkan adalah halal dan baik; tidak hanya zatnya, tetapi juga pemerolehannya.
Mungkin ada orang yang pada saat ini mengalami kesulitan ekonomi karena terdampak Covid 19. Untuk mengatasinya, ditempuhlah usaha berjualan kecil-kecilan. Misalnya, berjualan kue. Pada awalnya dia “kulakan”. Banyak orang yang suka sampai dia kewalahan menerima pesanan. Nah, terpikirlah keuntungan yang berlipat ganda jika membuat sendiri. Kemudian, dia pun membuat sendiri. Kue “kulakan” dicampur dengan buatan sendiri. Masih laku laris manis. Tambah semangat! Lama-lama, kue yang dijualnya hanya kue buatan sendiri. Namun, beberapa saat kemudian, pembeli merasakan ada perbedaan kualitas. Akibatnya, mereka “kapok” membelinya.
Mungkin ada yang menggunakan cara lain. Ketika promosi, kue yang dicoba memang enak sehingga banyak yang memesannya. Namun, kue yang dijual sesungguhnya tidak
Seenak yang dipromosikan karena bahannya berkualitas lebih rendah. Hal ini dilakukan demi memperoleh keuntungan yang lebih banyak. Akibatnya, pembeli kecewa dan banyak yang membatalkan membelinya atau mengurangi jumlah yang dibelinya.
Di dunia, orang yang mencari rezeki dengan cara haram menerima hukuman langsung. Mungkin ada di antara mereka yang baru menerima hukuman setelah kaya. Bahkan, ada yang sampai meninggal sepertinya tidak menerima hukuman atas tindakannya. Namun, mereka pasti dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah.
Kita harus menumbuhkembangkan keberanian pada keluarga kita, termasuk anak kita, untuk biasa menanyakan apakah rezeki yang diterimanya halal dan baik. Sebagai orang tua, kita pun perlu menanyakan harta yang dimiliki anak apakah diperolehnya dengan cara halal atau haram, dan anak yang kita tanya demikian justru berterima kasih sebab pertanyaan tersebut hakikatnya merupakan salah satu bentuk pengamalan firman Allah dalam surat at-Tahrim (66): 6.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka ….”
Mari secara jujur kita bertanya kepada nurani kita: adakah doa kita untuk kita sendiri dan keluarga yang sampai saat ini belum atau tidak dikabulkan? Jika ada, boleh jadi, satu di antara penyebabnya adalah ada makanan dan minuman haram yang masuk ke dalam perut kita; juga pakaian yang kita gunakan adalah yang haram dari cara memperolehnya! Allahu a’lam!
Mohammad Fakhrudin, dosen Universitas Muhammadiyah Purworejo