Suatu ketika Abdullah bin Abbas beserta sahabat lainnya sedang berkumpul bakda melaksanakan sholat. Lantas datanglah Rosulullah Saw. seraya bertanya kepada mereka semua, “Tahukah kalian, siapakah makhluk yang paling menakjubkan keimanannya? “
Para sahabat yang ada di sana menjawab, ” Para malaikat, wahai Rasulullah. “
“Itu pasti. Bagaimana mungkin para malaikat tidak beriman kepada Allah, sedang mereka memang ditetapkan untuk mengikuti segala perintah-Nya, ” terang Rosulullah.
Para sahabat pun berkata kembali, ” Apakah para nabi, wahai Rasulullah? “
“Bagaimana mungkin para nabi tidak beriman kepada Allah, sementara malaikat Jibril turun langsung kepada mereka dengan membawa titah dari langit, ” Jawab Rosulullah.
Sahabat kemudian mencoba menjawab lagi, ” Para sahabatmu, wahai Rasulullah? “
“Bagaimana mungkin para sahabatku tidak beriman kepada Allah, sedang mereka melihat langsung berbagai macam mukjizat yang diberikan kepadaku dan aku selalu mengabari mereka setiap wahyu yang diturunkan kepadaku, ” tegas Rosulullah.
“Lantas siapa wahai kekasih Allah? ” Tanya para sahabat dengan penuh rasa penasaran.
Nabi Muhammad Saw. pun bersabda, ” Sesungguhnya orang-orang yang paling menakjubkan keimanannya di mata Allah adalah mereka yang datang sepeninggalanku, lalu mereka beriman kepadaku dan mempercayaiku meski tidak pernah melihatku. Maka mereka itulah saudara-saudaraku. “
Kisah ini termaktub dalam hadis ke-18 pada kitab Al-Mawa’iz Al-‘Ushfuriyah karya Muhammad Bin Abu Bakar Al-‘Ushfuri. Ada motivasi besar bagi kita umat akhir zaman yang tersirat dalam kisah tersebut. Sebuah informasi yang dapat mendorong rasa keimanan kita sebagai umat Nabi Muhammad Saw. Yakni keistimewaan karena kita tetap beriman meskipun tidak pernah bertatap wajah dengan Rosulullah Saw.
Bukan dalam rangka berbangga diri atas informasi yang telah disampaikan oleh Nabi tersebut, akan tetapi lebih pada upaya untuk merenungi dan merefleksikan diri agar dapat termotivasi dalam meningkatkan iman di dada. Memang benar bahwa kita percaya dengan ajaran Nabi Muhammad Saw. meskipun tidak pernah berjumpa. Bahkan sedari kita kecil, saat belum baligh dan sempurna dalam menggunakan akal pikiran, kita sudah didoktrin oleh orangtua untuk mempercayai itu semua tanpa harus meragukan.
Secara logika kita dapat membayangkan bahwa dahulu saat zaman Nabi, ketika para sahabat kebingungan atas sebuah persoalan terkait keimanan ataupun bukan, mereka akan dengan mudah mencari solusi dan pencerahan dengan langsung bertanya kepada Rosulullah. Bahkan jika ada yang meragukan, Allah akan menampakan kemukjizatan Nabi. Sehingga para sahabat semakin yakin dengan risalah yang di bawa oleh Nabi Muhammad Saw.
Begitu pula ketika terjadi adanya perbedaan dan perselisihan di antara mereka, maka dengan petuah dari Nabi dan berdasar wahyu Allah, sebuah kebenaran akan ditampakkan. Berbeda halnya dengan kita manusia zaman sekarang, karena tidak ada bimbingan langsung dengan Nabi secara tatap muka. Sehingga muncul lah berbagai pandangan dan perdebatan yang mana sama-sama mencari kebenaran berdasarkan petunjuk Allah dan risalah kenabian.
Namun ironisnya muncul persoalan berkepanjangan yaitu perdebatan akan suatu perkara agama yang seringkali menimbulkan sikap perpecahan, meskipun statusnya sama-sama mencari kebenaran. Di mana saat ini berbagai sekte bermunculan dan saling menyalahkan bahkan tega untuk mengkafirkan. Padahal, jika merujuk pada kisah Nabi Muhammad di atas, kita yang saat ini masih percaya dan beriman kepada Allah melalui risalah Rosulullah merupakan hal yang sangat istimewa.
Tentu seharusnya kita tidak perlu saling bermusuhan karena perbedaan terhadap suatu perkara agama. Karena kita tidak tahu siapa yang benar dan memang seyogiannya kebenaran mutlak Allah yang menentukan. Artinya, tugas kita manusia akhir zaman yang selalu diiringi fitnah dan tipu daya dunia ini bukanlah untuk saling bermusuhan kepada sesama insan yang beriman. Melainkan menjalin persatuan di tengah keragaman perbedaan agar iiman tetap terang. Karena selama cahaya iman masih bersinar terang di hati dan diimplementasikan dalam laku sehari-hari, maka Allah dan Rosul-Nya akan menganggap kita manusia yang istimewa.
Wallahu a’lam bisshowab
Royyan Mahmuda Daulay, alumni Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta