Buya Syafii sebagai Cermin Masa Depan Indonesia

Buya Syafii sebagai Cermin Masa Depan Indonesia

Buya Syafii Maarif Dok SM

Agusliadi

Secara harfiah, saya yakin pembaca sudah mengetahui secara jelas apa yang disebut dengan cermin. Cermin sebuah benda yang terbuat dari kaca dengan lapisan tertentu sehingga bisa memantulkan bayangan untuk melihat tubuh (fisik) orang yang berdiri/berada di depannya. Terutama melihat bagian tubuh yang sulit terlihat, salah satu contohnya telinga.

Cermin pada tulisan ini mengandung makna konotatif dan saya lekatkan pada diri seorang Ahmad Syafii Maarif yang akrab disapa dengan panggilan Buya Syafii. Di Indonesia, sangat sedikit yang tidak mengenal Buya. Orang –orang mengenalnya dengan penuh penghormatan/penghargaan, baik sebagai “Guru Bangsa”, “Muazin Bangsa”, “Penjaga Moralitas Bangsa”, sosok yang sederhana, ramah dan sangat inklusif. Meskipun masih ada juga yang menuduhnya dan menautkannya dengan premis negatif, “pemikir liberal dan/atau sekuler”, “sosok yang tidak islami”. Dan penabalan negatif terakhir ini, saya saksikan sendiri ketika tulisan saya tentang Buya dikomentari oleh seseorang dengan pernyataan seperti itu, sekuler dan tidak Islami.

Masa depan Indonesia merupakan impian baik secara personal maupun kolektif. Para founding father telah merumuskan dan mengidealisasikan impian tersebut dalam bentuk cita –cita dan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang – Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945.

Rumusan ini kemudian diterjemahkan lebih lanjut baik oleh institusi negara maupun lembaga dan organisasi keagamaan yang lahir dan yang melahirkan Indonesia (salah satunya Muhammadiyah). Muhammadiyah menerjemahkan impian itu dalam rumusan paradigmatik “Indonesia Berkemajuan”.

Rumusan cita-cita dan tujuan nasional tersebut sebagai bentuk impian Indonesia, tentunya tidak cukup bertugas hanya untuk menjelaskan impian itu semata

Namun kita ingin melampaui hal tersebut, dengan mewujudkannya dalam realitas kongkret. Nyata, dirasakan dan dinikmati oleh seluruh warga negara Indonesia tanpa kecuali.

Hanya saja jika melihat realitas kongkretnya, selama dalam perjalanan 75 tahun Indonesia pasca proklamasi kemerdekaannya, masih banyak yang belum merasakan dan menikmatinya. Ketimpangan sosial, data statistik/fenomena faktual kemiskinan, kekerasan sebagai efek lanjutan dari ketidakadilan masih mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kita tidak perlu pesimis, kapal kebangsaan kita masih terus berlabuh seiring perjalanan waktu. Kita masih perlu membangun impian masa depan Indonesia. Lalu bagaimana caranya?. Meskipun mungkin dinilai berlebihan, apalagi oleh orang –orang yang masih tidak senang dengan pemikiran Buya Syafii, bahkan secara ekstrim ada yang menuduhnya tidak islami, saya ingin mengatakan bahwa “Buya Syafii sebagai cermin masa depan Indonesia”.

Jika menginginkan masa depan Indonesia, tentunya masa depan yang lebih baik daripada hari ini dan/atau yang sesuai dengan harapan para founding father, maka marilah kita bercermin, memahami, meneladani sikap, pikiran dan perilaku Buya Syafii. Jadi bukan hanya mengetahui seperti apa pemikiran sosok Buya Syafii, tetapi melampaui itu, diinternalisasi (diserap ke dalam jiwa) untuk selanjutnya dieksternalisasi (diimplementasikan dalam kehidupan) realitas empirik.

Bagaimana korelasi positifnya, antara sikap, pemikiran dan perilaku Buya Syafii dengan masa depan Indonesia?. Apakah ini tidak mengintrodusir Indonesia sebagai bangsa yang besar hanya dalam diri Buya Syafii. Bagi saya ini sama sekali tidak mengintrodusir bangsa besar ini dalam diri yang (mungkin) dinilai hanya seorang Buya Syafii. Mengapa demikian?

Soekarno pernah berkata “berikanlah aku 10 (sepuluh) pemuda maka aku akan mengguncang dunia. Bagi saya, Buya Syafii dengan wawasan, sikap, pemikiran yang sangat luar biasa, bijak, inklusif dan perilaku yang sangat sederhana dan rendah hati, bisa melebihi dari seorang dan/atau 10 (sepuluh) pemuda yang dimaksudkan Soekarno dalam konteks waktu pada saat itu.

Ketika Yudi Latif menulis buku Negara Paripurna Historitas, Rasionalias dan Aktualitas Pancasila tahun 2011 kemudian kurang lebih 3 tahun setelahnya, tepatnya tahun 2014 kembali menulis buku dengan judul Mata Air Keteladanan Pancasila dalam Perbuatan. Dari buku yang kedua ini secara implisit kita bisa menemukan makna bahwa dalam hidup ini, kita bukannya membutuhkan diskursus, wacana, pemikiran dalam bentuk tulisan semata, tetapi dibutuhkan sosok, orang yang bisa dijadikan teladan kehidupan.

Yudi Latif dalam Buku Mata Air Keteladanan Pancasila dalam Perbuatan (2014) menegaskan bahwa: Pertama, sejauh ini, kita gagal mentransmisikan kisah keteladanan para “pahlawan” bangsa, baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup. Pelajaran sejarah menyempit menjadi sejarah (tahun) peperangan dan silsilah kerajaan, tidak membantu menemukan mutiara “pesan moral” yang terpendam dalam lumpur sang waktu.

Kedua, Cara mencetak nilai menjadi karakter tidak cukup diajarkan lewat hafalan. Dalam peribahasa Inggris dikatakan, “Moral is not taught but caught.” Pendidikan karakter sering kali diintroduksikan ke dalam kelas dan kehidupan publik lewat contoh – contoh keteladanan dan kepahlawanan.

Lalu seperti apa, sikap, pemikiran dan perilaku Buya Syafii sehingga bisa menjadi indikator dan barometer bahwa Buya Syafii layak menjadi cermin masa depan Indonesia. Dengan kata lain, agar kita bisa merintis, merekonstruksi masa depan Indonesia sejak dini, maka meneladani sikap, pemikiran dan perilaku Buya Syafii adalah pilihan yang tepat.

Dari beberapa buku karya Buya Syafii dan buku yang ditulis orang lain tentang Buya yang saya miliki dan telah saya baca termasuk tulisan tentang Buya yang terbit di media online yang pernah saya baca, saya yakin bahwa memahami sikap, pemikiran dan perilaku Buya dan mengimplementasikan dalam kehidupan, maka bisa berarti sedang merintis masa depan Indonesia. Bukan berarti saya mengkultuskan Buya Syafii, apalagi saya pernah dikader di Ikatan Remaja Muhammadiyah, tidak diajarkan sikap mengkultuskan seperti itu.

Jika mencermati Pembukaan UUD 1945, masa depan Indonesia yang diharapkan tentunya yang menjadi Negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Selain daripada itu Pemerintahan Negara Indonesia yang terbentuk mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaan abadi dan keadilan sosial.

Masa depan Indonesia dalam perspektif Indonesia Berkemajuan versi Muhammadiyah di antaranya adalah bagaimana Indonesia menjadi Negara yang mendorong terciptanya fungsi kerisalahan dan kerahmatan yang didukung sumber daya manusia yang cerdas, berkepribadian, dan berkeadaban mulia. Negara Indonesia mampu menegakkan kedaulatan (wilayah, politik, hukum, ekonomi dan budaya). Negara Indonesia mampu mendatangkan kemakmuran (terpenuhinya sandang, pangan dan papan). Dan negara Indonesia harus mampu mewujudkan kebahagiaan material dan spiritual.

Masa depan Indonesia yang diharapkan baik berdasarkan perspektif Pembukaan UUD 1945 maupun Indonesia Berkemajuan perspektif Muhammadiyah bisa terwujud dengan meneladani (memahami dan mengimplementasikan) sikap, pemikiran dan perilaku Buya Syafii Ahmad Maarif.

Buya Syafii dalam hal sikap perilaku dikenal bersahaja, sederhana. Bahkan Buya hampir tidak pernah mau dibawakan tas yang dijinjing, dirinya menolak jika seseorang sedang menawarkan diri. Meskipun beliau punya power untuk memerintah, tetapi urusan yang bersifat privat, diurus sendiri, seperti urusan tiket atau foto copy seringkali Buya didapati antri dan berdiri di tempat fotocopy. Beliau sangat peduli kepada anak muda.

Beliau adalah sosok yang sangat berani mengatakan yang salah sebagai sesuatu yang salah.  

Jika kelak para pejabat negara, memiliki perilaku seperti ini, merupakan teladan yang baik untuk masa depan Indonesia.

Indonesia sebagai negara majemuk, terdiri dari beberapa agama, suku, bahasa dan adat istiadat. Selain itu, di Indonesia ada istilah mayoritas dan minoritas. Berdasarkan kemajemukan ini dan apa yang saya pahami dari pembahasan Amin Abdullah yang telah dituliskan dan terbit di media kalimahsawa.id, membutuhkan lima ceklis humanism Islam,

Ceklis humanism Islam tersebut: Pertama, at-tasamuh (toleransi); Kedua, al-amn (keamanan, perdamaian); Ketiga, Al-amn qobla al-iman (perdamaian sebelum keimanan) bukan sebaliknya; Keempat, tentang ekstrimisme dan terorisme; dan Kelima, minoritas (tidak segregatif, tetapi mengayomi dan melindungi.

Bagi Amin Abdullah (2020), Humanisme Islam, berkaca pada yang dilakukah tokoh lain di negara lain adalah merupakan mission impossible. Namun ternyata bagi Amin Abdullah sendiri, Buya Syafii mampu menjadikan Humanisme Islam yang merupakan mission impossible menjadi mission possible. Dan saya yakin, kita semua yang tahu, pemikiran, sikap dan perilaku Buya meskipun hanya melalui media dan tulisan kemudian mengkonfirmasi berdasarkan lima ceklis tersebut, akan paham dan setuju dengan kesimpulan Amin Abdullah.

Jika anak bangsa lain, terutama tokoh Islam, ummat Islam dan elit negara mampu menginternalisasi dan mengeksternalisasi sikap dan pemikiran Buya Syafii terkait Humanisme Islam, maka ini akan menunjukkan masa depan Indonesia yang lebih cerah.

Globalisasi dengan segala determinannya, terus mengalami perkembangan pesat semakin menghilangkan batas –batas kehidupan. Zaman terus bergerak ke arah perubahan. Indonesia yang kini telah menjadi bagian yang tak terelakkan dari arus globalisasi dengan berbagai entitasnya harus mampu memiliki sikap dan pemikiran yang matang.

Ummat Islam sebagai penduduk mayoritas Indonesia, memiliki tanggungjawab besar terhadap perubahan tersebut. Ummat Islam membutuhkan dan harus memiliki kelenturan sikap dan pemikiran tanpa menghilangkan ajaran Islam yang otentik.

Membaca tulisan/prolog Amin Abdullah dalam buku Muazin Bangsa dari Makkah Darat (2015:25) yang pada intinya mengulas tentang Posisi Intelektual Ahmad Syafii Maarif dalam Konteks Perkembangan Pemikiran Islam Kontemporer, maka Buya Syafii digolongkan sebagai The Progressive Ijtihadists.

The Progressive Ijtihadists, pemikir modern atas agama yang berupaya menafsir ulang ajaran agama agar dapat menjawab kebutuhan masyarakat modern. Jika kita meneladani beliau dalam konteks ini, maka masa depan Indonesia akan semakin cerah, tidak tergilas oleh perkembangan zaman yang bergerak cepat.

Apalagi untuk menjawab tantangan kehidupan Revolusi Industri 4.0 dengan sembilan pilarnya antara lain, Artificial Intellegent (kecerdasan buatan), Internet of Thing (IoT) dan Algoritma dan masih ada enam lainnya. Belum lagi tentang kajian akademik Yuval Noah Harari tentang homo sapiens dan homo deus. Semua ini tanpa kecuali dari ummat Islam (apalagi sebagai ummat mayoritas yang memiliki tanggungjawab besar) memerlukan sikap dan pemikiran seperti Buya Syafii.

Dalam hal moralitas, Buya senantiasa menyuarakan dan memberikan teladan pentingnya moralitas dalam kehidupan. Ahmad Norma Permata, “moralitas dipahami sebagai sistem nilai yang mencerminkan dan kebaikan kehidupan. Menurut Ahmad Najib Burhani, moralitas yang dipahami oleh Buya Syafii diimplementasikan dalam tiga kelompok. Pertama, moralitas bernegara. Kedua, moralitas beragama. Dan ketiga moralitas intra umat beragama.

Saya menyadari dan tentunya pembaca bisa memaklumi bahwa sesungguhnya tulisan ini tidak akan pernah mampu menggambarkan sikap, pemikiran dan perilaku Buya Syafii secara komprehensif. Atas kesadaran tersebut, agar Buya Syafii bisa menjadi teladan untuk kepentingan masa depan Indonesia, maka saya mengajak untuk membaca buku –buku karya Buya Syafii atau buku yang ditulis oleh orang lain tentang Buya Syafii.

Agusliadi, Eks Ketua PD Pemuda Muhammadiyah Bantaeng, Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

Exit mobile version