Racha Julian Chairurrizal
Jika menyebut kata pelepasan, atau umumnya disebut sebagai wisuda, pasti suasana yang tergambarkan adalah suasana bahagia dan haru. Suasana yang muncul akibat adanya momen perpisahan formal dari bangku sekolah. Akan tetapi, Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta selalu punya pembeda. Selain karena adanya aturan yang tidak pernah meliburkan siswanya di tanggal merah selain tanggal merah Islam, Mu’alimin juga memiliki pembeda rasa ketika wisuda. Dalam momentum wisuda atau kalau di Muallimin disebut sebagai pelepasan, selain rasa haru dan bahagia, para calon alumni juga mendapatkan rasa tanggungjawab baru. Tidak seperti sekolah lainnya ketika kita lulus, kita akan berada dalam momen ‘penanggalan tanggungjawab’ terhadap almamater.
Di Muallimin, justru tanggungjawab yang nyata baru saja dimulai. Tanggungjawab yang tidak lagi diatur dengan aturan terkodifikasi beserta sanksi administratif dan akademis, akan tetapi diikat oleh aturan norma ideologi dan jati diri seorang alumni. Hal ini seperti diingatkan kembali oleh Haedar Nashir, Ketum PP Muhammadiyah. Dalam kesempatannya menyampaikan amanah di acara Pelepasan Siswa Mu’allimin angkatan 2020 ini, Haedar seperti membawa senjata yang siap ‘ditamparkan’ bagi seluruh elemen Mu’allimin. Bukan hanya untuk para wisudawan, tapi tamparan itu juga berlaku bagi Badan Pimpinan Harian Mu’allimin-Mu’allimaat, jajaran direksi, guru-karyawan, dan tentu untuk para alumni yang menyaksikan ceremony agung tersebut. Haedar benar-benar tegas dan perhatian terhadap anak-anak kandung ideologisnya. Sebagai sekolah yang dibawahi langsung oleh PP Muhammadiyah, wajar saja Haedar bersikap setegas itu kepada anak-anaknya, dalam hal ini adalah seluruh elemen Mu’allimin.
Mu’allimin adalah Terobosan Bangsa
Haedar menyampaikan dalam pidato amanahnya yang berdurasi kurang lebih 40 menit itu, beliau menyampaikan bahwa Mu’allimin ini dalam masa pendiriannya, dihadirkan oleh K.H. Ahmad Dahlan selaku pendiri, sebagai salah satu senjata Muhammadiyah untuk menerobos ketertinggalan bangsa. Yang kita ketahui bersama, bahwa pada pendiriannya dalam kurun waktu 1918 sampai 1921, bangsa kita ini masih dalam status jajahan Belanda. Bagaimana ketertinggalan dan adanya diskriminasi kasta secara legal hukum positif yang tercantum dalam Indische Staatregeling (IS) yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda semakin membuat masyarakat Indonesia (bumiputera) jadi tertinggal.
Dan dalam sejarahnya, Muallimin ini hadir sebagai terobosan untuk membantu ketertinggalan ini. Setelah membangun Sekolah Rakyat Muhammadiyah, Kiai Dahlan mulai memikirkan para alumni Sekolah Rakyat ini akan diberikan akses pendidikan lanjut di mana, mengingat sulitnya akses pendidikan ke sekolah gubernemen. Akhirnya Kiai Dahlan membangun Mu’allimin sebagai sekolah terusan Sekolah Rakyat Muhammadiyah dengan nama Qismul Arqo. Yang nantinya, alumni Mu’allimin atau dulunya Qismul Arqa ini akan dikirim sebagai pengajar-pengajar di sekolah Muhammadiyah yang lain yang tersebar di cabang-cabang seluruh Indonesia. Yang ini juga sesuai dengan hadits nabi, “Khairukum man ta’allamal Qur’aana wa ‘allamahu”. Maka, jika kita tarik konteksnya pada zaman sekarang, alumni Mu’allimin seharusnya bisa mengisi poros-poros kekosongan dan ketertinggalan negara secara terdidik, bukan justru jadi penambah beban negara.
Mu’allimin Tidak Boleh Takut Jadi Pembangkang!
Masih dalam amanahnya, Haedar menyampaikan bahwa Mu’allimin ini tidak boleh memiliki ketakutan dalam menghadapi realita kehidupan yang ada setelah pelepasan ini. Justru menurut Haedar, Muallimin harus tetap berada dalam track sejarah yang sama, yaitu sebagai ‘pembangkang’. Hal ini serupa dalam kutipan lirik lagu “Mu’allimin Satu Abad” yang liriknya ditulis langsung oleh Buya Syafii Ma’arif yang dalam salah satu baitnya menyebutkan bahwa Mu’allimin harus dapat, “Mencerahkan pemikiran, memperkuat peradaban dengan semangat pendidikan amar ma’ruf nahi munkar”. Dari lirik lagu ini saja kita dapat melihat, bahwa alumni Mu’allimin memang tidak dibentuk sebagai sosok penurut yang taqlid. Alumni Mu’allimin selalu diharapkan sebagai pembangkang-pembangkang bagi kebobrokan peradaban yang ada, atau yang diistilahkan Haedar sebagai poros pelopor, pelangsung dan penyempurna gerakan persyarikatan.
Maka, apabila ada alumni Mu’allimin yang sering mengkritisi putusan-putusan Muhammadiyah secara ilmiah, dia sebenarnya bukan sedang benci dan lupa akan kemuhammadiyahannya, akan tetapi justru sedang mengupayakan fungsi kepeloporan dan pembangkangan ilmiah kepada orangtua kandung ideologisnya, yaitu Muhammadiyah. Selain itu, Haedar juga menyampaikan bahwa alumni Mu’allimin sudah bukan eranya lagi takut dengan paham selain Muhammadiyah, seperti konservatif, komunis, liberal maupun sekuler. Alumni Mu’allimin harus berani mengambil ilmu dari manapun. Jangan sampai kita menolak kebaikan suatu ilmu hanya karena wajahnya. Jangan sampai kita menolak mempelajari komunisme, liberalisme maupun gerakan-gerakan Islam konservatif hanya karena kita takut terjerumus ke dalamnya dan hanya karena kita takut akan cover-nya. Benci keburukannya, buang keburukannya, tapi ambil kebaikannya.
Karena bukan tidak mungkin Muhammadiyah juga membutuhkan asupan-asupan segar pembaharuan seperti yang dilakukan oleh Kiai Dahlan pada zaman dahulu, yaitu seperti menciptakan masyarakat tanpa kelas ala komunis dalam akses pendidikan, membantu gerakan ala ‘feminis’ yang dipelopori oleh ‘Aisyiyah, dan yang terkenal tentu belajar dari sekolah Belanda mengenai ilmu-ilmu umum dan pemakaian kursi, meja dan papan tulis sebagai penunjang pendidikan di Muhammadiyah. Yang tentu, selain cara berpikir dan ‘pembangkangan’ yang ilmiah, penyampaian yang baik dan tetap santun harus diperhatikan juga. Sesuai dengan pesan Allah dalam surat An-Nahl: 125, “Ud’u ila sabili robbika bil hikmah wal mau’idhotil hasanah wa jadilhum bil lati hiya ahsan”, yang memiliki arti, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan Al Hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”.
Mu’allimin Bukan Pabrik Bakso
Kalimat di atas sengaja saya sematkan dalam pembahasan ini karena saya rasa keresahan ini juga perlu saya sampaikan sebagai salah satu alumni Mu’allimin. Ketika mendengar kata alumni Mu’allimin, seringkali yang pertama ditanyakan kepada kami adalah pertanyaan, “Sudah hafal berapa juz, Mas?” Yang biasanya juga saya jawab dengan jawaban, “Alhamdulillah, saya sendiri (pernah) hafal 4 juz hehe”. Saya sangat mewajari pertanyaan itu, namun hal ini perlu saya sampaikan bahwa Mu’allimin tidak memiliki jaminan penuh atas keberlangsungan hafalan siswanya. Bahkan dibuatnya asrama tahfidz akhir-akhir ini menunjukkan bahwa Mu’allimin semakin menghargai adanya perbedaan produk lulusan mereka.
Mu’allimin tidak bisa memaksakan dan memberi jaminan semua lulusannya jadi hafidz qur’an, akan tetapi Mu’allimin memilki jaminan akses bagi siswanya yang ingin jadi hafidz qur’an. Semua tergantung keinginan kami, para siswanya. Mu’allimin bukan pabrik bakso yang hanya bisa dan pasti bisa membuat satu jenis produk lulusan seperti hanya membuat satu jenis produk makanan yaitu bakso saja, akan tetapi Muallimin adalah ‘pabrik’ segalanya, bisa menghasilkan apapun sesuai kehendak siswanya. Maka, apabila bertemu dengan alumni Mu’allimin yang dia belum hafal qur’an banyak juz, jangan langsung salahkan Mu’allimin-nya, akan tetapi pertanyakan niat, usaha dan keinginan dia sebagai personal ketika dia masih belajar di Mu’allimin. Tapi saya berani jamin, setiap lulusannya pasti pernah hafal setidaknya 3 sampai 4 juz selama di Mu’allimin, juz 30, 29, 28 dan juz 1, itu minimal. Tolong digaris bawahi, saya bilang pernah ya, bukan masih heuheu.
Diaspora adalah Bagian dari Idealisme
Kemudian, dalam amanahnya, Haedar juga menyampaikan bahwa diaspora lulusan Mu’allimin adalah sebuah keniscayaan dan merupakan salah satu idealitas lulusan Mu’allimin. Selain aktif secara struktural di persyarikatan, lulusan Muallimin juga harus bisa masuk ke semua lini kehidupan, yang tentu dengan tetap membawa ideologi Muhamamdiyah di manapun mereka berada. Anggapan Haedar ini dapat diartikan bahwa alumni Muallimin harus mulai bisa membedakan antara Muhammadiyah sebagai organisasi dan Muhammadiyah sebagai jiwa. Dalam persebarannya, Mu’allimin harus memiliki kesadaran akan jiwa kemuhammadiyahannya. Kalau misal harus tidak bisa aktif diortom, tidak apa, akan tetapi kepemilikan dan praktik penyebaran jiwa kemuhammadiyahan sebaiknya terus dijaga. Bahkan Pak Haedar menyebutkan bahwa kalau bisa, alumni Mu’allimin sebaiknya menyebar sebagai elit di masyarakat, mulai dari ranah lokal, nasional hingga global.
Hal ini sesuai dengan tiga metodologi dakwah sesuai hadits nabi, yaitu pakai tangan (kekuasaan), lisan, dan hati. Di situ dapat dilihat bahwa dakwah menggunakan kekuasaan atau tangan merupakan metode yang paling ampuh. Karena umara’ bisa membuat regulasi hukum positif yang bisa ditaati oleh seluruh masyarakat, contohnya. Maka, pembagian porsi alumni Mu’allimin harus mulai disadari dari sekarang. Karena kejumudan berpikir beberapa alumni terkait pandangan fanatisme Muhammadiyah sebagai organisasi, merupakan hal yang cukup mengerikan bagi saya yang pernah mengalaminya. Hal ini terjadi ketika saya di kampus masuk organisasi pergerakan yang bukan organisasi pergerakan Muhammadiyah. Sontak banyak sekali cecaran dari alumni-alumni yang mempertanyakan ‘iman’ saya sebagai kader Muhammadiyah khususnya alumni Mu’allimin. Padahal, tidak lain tidak bukan, salah satu tujuan saya masuk organisasi tersebut adalah agar dapat sharing dan bisa nyicil internalisasi nilai-nilai kebaikan dan kebenaran ala Muhammadiyah kepada teman-teman saya yang belum mengenal Muhammadiyah.
Tapi karena fanatisme organisasi itu nyata adanya di tubuh beberapa alumni, maka alasan saya pun tetap sulit diterima oleh mereka. Saya sudah terlanjur dicap ‘murtad’. Keresahan pribadi ini saya takutkan dapat melebar ke ranah yang lebih kompleks. Misalkan ada alumni yang ingin mencalonkan diri sebagai pejabat melalui partai yang memiliki stigma nasionalis atau ‘tidak agamis’, lalu bukannya didukung, justru alumni lainnya malah memberikan cercaaan karena pilihan partainya. Padahal di situ dia sedang mencoba realistis dengan fakta lapangan. Bahwa partai yang ia pakai adalah partai yang paling mungkin menghantarkan dia kepada kemenangan elektoral. Yang nantinya tujuan akhirnya adalah untuk mengamalkan hadits nabi yaitu, “Fayughoyirhu biyadihi”. Tak dapat dipungkiri bahwa, “The means justify the ends” secara ‘syar’i’ dapat dipraktikkan dalam kondisi tertentu. Maka dialog akan sangat penting dalam permasalahan ini. dialog dengan kepala terbuka dan dingin secara intelektual, bukan dengan membawa hasrat konservatism dan fanatisme semata.
Maka terakhir, ada pesan yang menurut saya cukup penting untuk disebarkan, khususnya bagi alumni sekolah ini. bahwa Pak Haedar Nashir menyatakan bahwa keimanan itu baru bisa diuji ketika kita keluar dari ‘zona nyaman dan aman’ kita. Dan diaspora gerakan adalah salah satu uji keimanan alumni Mu’allimin sebagai kader Muhammadiyah.
Sanggup menerima ‘tamparan’ dari Pak Haedar, Wahai Alumni?
Racha Julian Chairurrizal, Alumni Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta Angkatan 2018, Kabid Advokasi PW IPM DIY