Donald Trump, Terbunuhnya Jenderal Soleimani dan Politik Domestik Amerika
Hasnan Bachtiar
Sebenarnya, terlepas mengenai perkara kontestasi politik dan militer antara Iran dan Amerika Serikat (AS) di negara-negara proxy (Irak dan Suriah), hubungan kedua belah pihak relatif lebih stabil. Namun, manuver AS dalam pembunuhan Komandan Quds Iran, Jenderal Qassem Soleimani, menjadikan hubungan mereka sangat tidak menyenangkan.
AS paham betul bahwa Jenderal Soleimani adalah aktor intelektual dan ahli strategi perang teluk yang sangat dicintai rakyat Iran. Bahkan, ia adalah anak emas pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei.
Karena itulah, Presiden Donald Trump bermain api dengan membuat operasi penyerangan. Tujuannya sebenarnya dipicu oleh perkembangan politik domestik. Trump berupaya menggapai simpati publik, atas nama membela para tentara AS di Irak, yang kini, sedang diusir pemerintah Irak sendiri.
Sekam yang Terbakar
Sekam sudah terbakar. Kini, AS harus berkonfrontasi secara lebih terbuka dengan Iran. Terutama bahwa Tehran mustahil akan diam saja, ketika salah seorang panglima perangnya terbunuh secara keji.
Sebenarnya, operasi pembunuhan Jenderal Soleimani datang berbarengan dengan situasi sulit yang dihadapi Irak. Pertama, rakyat Irak menggelar aksi massa mengecam pemerintah yang gagal mereformasi sistem politik, meningkatkan kesejahteraan rakyat, mengurangi pengangguran dan mengatasi korupsi.
Kedua, mereka juga menginginkan agar terlepas dari segala pengaruh Iran di seluruh lini kehidupan, terutama politik, ekonomi dan sosial. Secara faktual, pengaruh Iran memang besar, terutama sejak AS gagal menjadikan Irak negara yang aman, tentram dan lebih stabil.
Ketiga, ketika demonstrasi meluas, Irak harus berhadapan dengan pengunduran diri Perdana Menteri Adel Abdul Mahdi. Irak masih mempertimbangkan secara cermat, siapa tokoh alternatif yang mampu menahkodai posisi penting itu.
Ketika hal-hal krusial terjadi, sebenarnya Bagdad berusaha mengendalikan hubungan politiknya dengan kedua musuh utamanya, yakni AS dan Iran.
AS masih menitipkan kurang lebih 5000 tentaranya di Irak. Para tentara ini pada mulanya dikerahkan untuk menghadapi ISIS. Tetapi di saat ISIS mulai lemah, pasukan itu diaktifkan untuk melawan pengaruh Iran di Irak. Dalam konteks ini, Jenderal Soleimani adalah arsitek brilian Iran yang selama ini menggelar operasi pelipatgandaan pengaruh Iran di Irak dan bahkan di Suriah.
Sementara itu, Iran sendiri juga memanen demonstrasi massa atas persoalan kenaikan harga minyak yang melambung tinggi. Di samping itu, Iran juga harus direpotkan oleh sanksi Presiden Trump atas pendayagunaan nuklir yang selama ini dilakukan. Tetapi sebenarnya, di antara protes-protes rakyat Iran tersebut, menggambarkan adanya keluhan sosial, ekonomi dan politik yang lebih luas.
Sebenarnya pemerintah Iran telah mengatasi dampak sanksi AS dan sekutunya, serta menjaga stabilitas nasional di negaranya. Namun, yang menarik, Iran mampu mempertahankan pengaruh regionalnya di kawasan. Khususnya, ketika berhadapan dengan permainan canggih Israel.
Manuver Trump
Tentu pengaruh dan kekuatan Iran tersebut, perlu direspon dengan baik oleh AS. Trump sendiri merasa perlu meningkatkan tekanannya pada Tehran, sejak menarik diri dari perjanjian multilateral mengenai nuklir pada Mei 2017.
Di luar persoalan politik regional dan peran AS di kawasan, Trump harus menelan pil pahit upaya impeachment jabatannya. Kendati demikian, orang-orang Partai Republik di senat AS akan berupaya membebaskan presiden dari stigma “menjadi yang ketiga yang dimakzulkan di Amerika.”
Mengenai stigma tersebut, sebenarnya Trump juga was-was. Kekhawatiran Trump dapat diamati melalui cuitan di Twitter-nya, yang sering menunjukkan emosi yang meluap-luap ketika harus merespon lawan-lawan politiknya (terutama Partai Demokrat). Hal yang sama juga terjadi ketika harus berbicara masalah kebijakan di dalam dan luar negeri.
Keinginan Trump selama ini adalah menjadikan Iran instrumen pendongkrak popularitasnya di hadapan negaranya dan di dunia. Terutama, dalam rangka menyempurnakan kampanye neo-nasionalismenya.
Kendati demikian, di satu sisi ia gagal mendulang untung dari upaya diplomatik menundukkan Korea Utara. Sementara di sisi lain, ia juga tidak berhasil membujuk sekutu Eropanya, khususnya Jerman dan Prancis untuk memainkan peran dalam kampanye neo-nasionalisme ala Trump.
Trump tahu betul bahwa kebijakannya terhadap Iran tentu saja membuahkan hasil. Terutama untuk melepaskan diri sejenak, dari krisis politik domestik yang terjadi.
Dengan membunuh Jenderal Soleimani dan menyerang pangkalan milisi Syiah Irak, Trump telah mempermalukan pemerintah Irak. Sebelumnya memang, Irak telah mengutuk AS sebagai pelanggar kedaulatan. Di samping itu, rakyat Irak menentang keras para tentara AS yang tak segera angkat kaki.
Sebenarnya, tentara-tentara AS datang ke Irak atas undangan Baghdad sendiri. Namun sekarang, Irak merasa perlu menghindari Tehran. Terutama karena rakyat Irak memprotes campur tangan Iran yang terlalu banyak dan menuntut penghapusan bantuan militer AS.
Politik Domestik AS
Nah, serangan AS atas salah satu tokoh terpenting Iran, sebenarnya dapat dipahami juga sebagai momen penting bagi para elit Iran. Mereka merasa punya kesempatan yang tepat untuk memperkuat bargaining mereka sendiri di hadapan rakyat Iran, bahwa AS adalah kekuatan intervensionis dan hegemonik. Selama ini, memang publik Iran merasa skeptis dengan perilaku politik AS di kawasan.
Implikasinya adalah, jika Trump berpikir, dengan cara membunuh Jenderal Soleimani dan meningkatkan tekanan pada Tehran akan mengubah arah angin: stabilitas kawasan, ia jelas keliru. Sama sekali bukan gaya main Iran untuk menyerahkan diri begitu saja pada tuntutan Trump.
Bagi Iran, apapun tekanan yang dihadapi, pengaruh mereka di tanah Levant (Irak dan Suriah) tentap penting. Buktinya, dengan posisinya itu, AS memutar otak sedemikian rupa.
Trump sebenarnya telah berulang kali menyatakan bahwa tidak ingin berperang dengan Iran. Kendati demikian, tekanan politik dalam negeri memaksanya menjalankan manuver politik luar negeri di kawasan Teluk Arab-Persia.
Jika perang benar-benar terjadi, maka tindakan Trump akan memberikan dampak yang jauh lebih serius. Mungkin, melampaui apa yang dipikirkannya. Bahkan, akan membuat kesulitan politik domestiknya lebih parah. Bola ada di tangan Trump. Jika ia keliru memainkannya, maka ia akan menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri.
Hasnan Bachtiar, dosen UMM, menekuni hukum perang dan hubungan internasional, alumnus the Centre for Arab and Islamic Studies (CAIS), the Australian National University (ANU)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 3 Tahun 2020