Oleh: Hidayah Hariani
Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi berhasil mengubah kehidupan manusia, bahkan sikap manusia itu sendiri. Berbagai bentuk perilaku menyimpang pelajar mulai dari hal kecil (sepele) seperti mencontek dan bullying, sampai hal besar tindak kriminal seperti balapan liar ataupun kekerasan (radikalisme). Hal ini disebabkan oleh kurang optimalnya peran pendidikan sebagai pondasi akhlak manusia. Dalam upaya mempersiapkan itu, pendidikan merupakan sarana penting dalam menjawab dekadensi moral tersebut.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sumarni salah satu sektor strategis dalam penguatan modal sosial SDM, yakni pendidikan. Pendidikan juga menjadi faktor utama dalam mewujudkan pembangunan karakter bangsa. Tetapi faktanya, tingkat pendidikan Indonesia masih tergolong rendah dikawasan Asia Tenggara. Berdasarkan survey PERC ( Political and Wconomics Risk Consultancy) dan UNDP (United Nations Development Programme) pada 2016 yang menyebutkan bahwa indeks pendidikan Indonesia adalah 0,492 masih di bawah Thailand (0,538), Jepang (0,675), dan Amerika Serikat (0,850).
Hal ini tidak berhenti sampai disitu saja, di tengah-tengah rendahnya tingkat pendidikan Indonesia, kita melihat persoalan karakter justru bernasib sama. Berbagai kasus kekerasan dan kenakalan yang melibatkan anak baik itu sebagai pelaku maupun korban semakin marak di negeri ini. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan kasus pelanggaran anak mencapai angka 5.006 (2014), 4.309 (2015), dan 4.620 (2016). Bahkan khusus kasus pornografi di tahun 2016, anak korban pornografi mencapai 587, sehingga menempatkan ranking ke-3, setelah kasus anak berhadapan dengan hukum (1.314 kasus) dan kasus anak dalam keluarga (857 kasus).
Di era globalisasi ini berbagai kasus tindak kekerasan yang melibatkan anak sekolah tidak pernah ada habisnya. Kasus yang menimpa Angeline, kasus tewasnya siswa SD di Jakarta yang menjadi korban luapan emosi temannya, dan kasus siswi SD sebagai koban pelecehan seksual pamannya merupakan segelintir kasus kekerasan yang terjadi di negeri ini. Belum lagi kasus kejahatan dan radikalisme yang marak terjadi di sekolahan. Tentu masih banyak kasus kekerasan lainnya baik fisik, mental, maupun psikisnya.
Kehadiran pendidikan karakter tentu sangat penting dalam upaya mengatasi berbagai persoalan keterbelakangan moral tersebut. Pendidikan karakter masih menjadi tumpuan utama di dalam pembangunan SDM negeri ini. Bahkan dalam ajaran Islam, yang secara populer disebut dengan pendidikan akhlak, mempunyai akar lebih panjang lagi. Satu contoh, sebagaimana disebutkan Al-Qur’an surat Luqman ayat 12-19. Dalam ayat ini Nugroho menyimpulkan adanya komponen pendidikan karakter dan nilainya baik personal maupun sosial.
Keseimbangan pandangan hidup bahagia dunia dan akhirat surga itu harus diikhtiarkan oleh umat Islam atas dasar Al-Qur’an dan Sunnah dimulai pendidikan dari dasar seperti keluarga. Konsekuensinya, yaitu pendidikan karater harus dimulai dari lingkungan keluarga sejak dini.
Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa cara memelihara anak dari api neraka ialah dengan memberikan anak pengetahuan dan pengajaran akhlak yang ditanamkan sejak dalam kandungan (pendidikan karakter) dan menjaganya dari pergaulan dengan orang yang buruk perangainya.
Zuhaily menjelaskan dalam tafsirnya bahwa cara memelihara diri, yakni dengan selalu berada dalam ketaatan dan meninggalkan perbuatan maksiat. Meskipun demikian, kembali pada individunya masing-masing. Mengingat tiap orang berbuat menurut caranya sendiri. Maka, Allah SWT akan memberi pahala kepada orang yang lebih benar jalannya.
Ada banyak ayat Al-Qur’an yang membahas mengenai nilai pendidikan karakter, di antaranya berbuat baik kepada kedua orang tua. Jelas dalam Q.S. Luqman [31]: 14. Wahbah zuhaily memaknai maksud tersebut ialah ungkapan syukur dari orang tua disebakan orang tuanya telah berbuat ihsan kepada anaknya, mengandung selama Sembilan bulan, memberikan kasih saying dan perhatian sejak dalam kandungan hingga sudah dewasa.
Sementara itu, materi pendidikan karakter yang terkandung Q.S. Luqman [31]: 17 meliputi nilai personal dan sosial. Ini mengandung maksud bahwa manusia yang baik menurut al-Qur’an adalah manusia yang memiliki nilai-nilai keesaan Tuhan serta senantiasa beribadah kepada-Nya. Allah SWT selalu hadir di dalam dirinya, mengontrol dan mengendalikan cara berpikir dan perilakunya. Al Maraghy yang dimaksud dengan ma’ruf ialah sesuatu yang dipandang baik menurut agama dan akal. Sedangkan munkar ialah lawa kebalikan dari kata ma’ruf (Al Maragy, 21). Sementara itu, Muhammad Abduh mengatakan ‘amar ma’ruf nahi munkar ialah benteng pemelihara umat dan pangkal timbulnya persatuan.
Pendidikan karakter yang menjadi fokus di dalam penyelesaian problem bangsa, yakni dekadensi karakter harus mendapat perhatian serius baik tataran konseptual dan praktikal di lapangan. Kebijakan pendidikan karakter yang ada saat ini di kurikulum nasional mungkin sudah dikatakan cukup baik. Namun, tidak menutup kemungkinan untuk memberikan kontribusi bagi tradisi pesantren, untuk menyumbang kontribusi berharganya bagi pendidikan karakter bangsa. Pesantren menyimpan banyak khasanah pendidikan karakter. Hasil Penelitian Mustafied, dkk (2013) yang mengkaji pendidikan karakter menurut tiga ilmuan besar Islam. Salah satu di antara ilmuan itu, Ibnu Miskawaih.
Menurut Ibnu Miskawaih, seorang filosof muslim mengatakan bahwa akhlaq merupakan bentuk jamak dari khuluq yang secara etimologis, akhlak adalah kondisi jiwa manusia yang mendorong untuk melakukan perbuatan secara spontanitas. Keadaan tersebut dapat berupa fitrah yang alami sejak lahir (al-thab’) tergantung mood-nya. Namun juga bisa berupa hasil latihan dan pembiasaan (al-sajiyyah). Lebih lanjut, dalam membentuk dan mendidik akhlak (karakter), manusia harus mengenali terlebih dahulu jiwanya sendiri, potensi dan karakteristiknya, dan juga daya (al-quwwah) yang dimilikinya. Dengan itu, manusia akan dapat mencapai kebahagiaan yang hakiki.
Ibnu Miskawaih juga menjelaskan, bahwa jiwa manusia mempunyai tiga bagian. Pertama, proses berpikir (al-fikr), melakukan observasi (al-nadzhar), dan memberikan pertimbangan (al-tamyiz). Bagian kedua, terepresentasikan di dalam amarah (al-ghadlab) serta keberanian (al-iqdam). Bagian ketiga, yaitu nafsu (al–syahwat). Ketiganya memiliki kelebihan-kelemahan masing-masing, tergantung seseorang menyikapinya, melalui pengaturan, pembiasaan, dan juga pendidikan, yang semuanya disebut daya (al-quwwah) (Mustafied, dkk., 2013).
Manusia cenderung dikuasai al-quwwah al-bahimiyyah dan al-quwwah al-syahwatiyyah. Namun, apabila kedua daya tersebut diimbangi dengan daya berpikir, maka akan melahirkan sifat-sifat baik, seperti kebijakan (al-hikmah), kehormatan (al-‘iffah), berani (al-saja’ah), dan adil (al–adalah). Demikianpun dengan sebaliknya, apabila tidak diimbangi dengan daya pikir, maka yang lahir ialah sifat-sifat buruk antitesa dari karakter yang telah disebutkan. Sarana yang dapat dijadikan untuk mengimbangi berbagai daya itu salah satunya dengan pendidikan akhlak (karakter). Salah satu, intitusi lembaga yang konsen dalam pendidikan karakter ialah pesantren.
Konsep pendidikan akhlak menurut Ibnu Maskawaih sedikit banyak di dalam mengispirasi pendidikan akhlak di pesantren. Telah diketahui bahwa, di pesantren sejak kelas ibtida’, bahkan i’dad’, selalu ada materi pelajaran akhlak dengan kitab yang terkadang berbeda antara pesantren satu dengan lainnya. Semakin tinggi level kelas, semakin tinggi pula kitab akhlak yang dikaji, yang berpuncak pada kajian tasawuf.
Sementara itu, implementasi akhlak (karakter) dalam Islam telah tersimul pada diri Rasulullah SAW. dalam pribadi Rasulullah telah tersemai nilai-nilai akhlak yang nan agung. Jelas dalam Q.S. Al-Qaalam [68]: 4. Adapun dalan Q.S. Al Ahzab [33]:21. Artinya, telah ada pada diri Rasulullah SAW itu suri tauladan yang baik bagimu yaitu orang yang mengharap rahmat Allah.
Dalam menafsirkan ayat ini, Zamarkasy dalam Quraish Shihab mengemukakan maksud keteladanan pada diri Rasulullah. Pertama, pada kepribadian beliau secara totalitas keteladanan. Kedua, dalam kepribadian beliau hal-hal yang patut di teladani (Shihab, 2009:439). Jika membuka lembaran kitab dasar akhlak yang populer di pesantren, yakni akhlaq lil-baniin atau lil banat, akan disuguhi adab-adab praktis yang sangat banyak. Syaikh Umar bin Ahmad Barja, penulis kitab tersebut membagi akhlak menjadi dua, yaitu akhlaq al-khasanah dan akhlaq al-syayi’ah.
Begitu juga, jika membuka kitab ta’lim al-muta’lim karangan Imam Al-Zanrnuji. Dalam kitab ini disebutkan akhlak yang harus dimiliki oleh peserta didik dalam mencari ilmu, pertama adalah akhlak kepada Allah SWT, yaitu senantiasa mengharap ridha Allah SWT, bersyukur, dan wara’. Kedua, akhlak kepada orang tua, untuk patuh dan hormat. Ketiga, akhlak kepada guru, untuk selalu sopan dan menghargainya. Keempat akhlak pada teman dalam bergaul. Kelima, ialah akhlak kepada dirinya sendiri menjaga kesehatan dan memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani.
Hidayah Hariani, Reporter Suara Muhammadiyah