Belajar dari Pak AR

Siapa tak kenal Pak AR Fakhruddin? Tokoh dari Kauman Yogyakarta ini memimpin Muhammadiyah cukup lama, 1969-1990. Satu era dengan Presiden Soeharto, yang juga lama menjadi orang nomor satu di Indonesia dalam rentang 1966- 1998. Keduanya sama-sama lekat dengan alam pikiran Jawa-Yogya yang santun dan arif.

Angkatan muda berusia belia saat ini boleh jadi tidak begitu mengenal Pak AR, nama lengkapnya Abdul Rozak Fakhruddin. Tapi bagi yang berusia 40 tahun ke atas sangat mengenal sosok ini. Orangnya rendah hati, bergaul cair dengan siapa saja, dan humoris. Ceramahnya ringan alias entheng-enthengan dan pendekatannya luwes. Humornya khas dan dijadikan buku Anekdot Pak AR.

Kisah hidupnya yang bersahaja sering dipopulerkan di media sosial akhir-akhir ini. Bagaimana beliau pergi berhari-hari ke daerah sarat pengabdian. Termasuk jualan bensin di depan rumahnya. Tentu untuk hidup seperti itu tidaklah mudah dan tidak harus persis sama. Kesahajaan tentu banyak wujudnya, semangat dasarnya ialah hidup ikhlas, jujur, qana’ah, dan mensyukuri nikmat Allah sedalam-dalamnya dengan tetap berikhtiar meraih hayatan thayyiba. Orang Islam harus menjadi khalifah di muka bumi.

Pak AR lahir dari keluarga kiai penghulu Pakualaman Yogyakarta. Lulus Muallimin Yogya dan Darul Ulum Kulon Progo kemudian dibenum ke Sumatra Selatan cukup lama. Beliau pegawai pada Departemen Agama, terakhir di Kanwil Depag Jawa Tengah bidang Penerangan Islam. Menjadi birokrat tidak melunturkan diri, tetap istiqamah dalam perjuangan dakwah Muhammadiyah.

Ketika pertama kali menjabat Ketua Pimpinan Pusat, sebenarnya beliau menerima amanat “mendadak”. Waktu itu KH Faqih Usman yang terpilih dalam Muktamar tahun 1968 di Yogyakarta meninggal dunia, setelah baru satu minggu menjabat. Semua anggota PP Muhammadiyah terpilih meminta Pak AR untuk menggantikannya. Bagi tokoh Muhammadiyah jabatan itu amanat, tidak boleh diusahakan, tetapi manakala diberikan maka harus ditunaikan dengan baik dan ikhlas.

Pak AR sering menggunakan pendekatan personal dan informal dalam berhubungam dengan banyak pihah. Termasuk dengan Presiden Soeharto, yang kala itu dikenal sangat berkuasa. Ujian paling berat yang dihadapi Pak AR Fakhruddin ialah soal keharusan Ormas-ormas kemasyarakatan untuk menerima azas tunggal Pancasila.

Muhammadiyah awalnya belum menerima azas Pancasila. Awalnya Muhammadiyah keberatan karena harus menghilangkan azas Islam dalam AD/ART, juga kebijakan tersebut belum menjadi UndangUndang. Muktamar yang seharusnya dilaksanakan tahun 1983 diundur menjadi tahun 1985. Melalui proses yang alot, akhirnya Muhammadiyah pada Muktamar di Surakarta tahun 1985 mencantumkan azas Pancasila. Sebagai konversi azas Islam, Muhammadiyah menggantinya dengan istilah Beraqidah Islam.

Pak AR pernah bercerita ketika bertemu Pak Harto. Ketika Muhammadiyah diminta masukkan azas Pancasila, Pak AR bertanya dalam bahasa Jawa, yang artinya “Tapi Muhammadiyah boleh kan mencantumkan azas Islam?”. Pak Harto hanya senyum dan tidak berpatah kata. “Saya pun lalu pamit”, ujar Pak AR. Ketika sebagian kalangan Muhammadiyah masih keberatan soal azas Pancasila, Pak AR memberi ilustrasi. Meskipun orang Islam, kalau naik speda motor harus pakai helm. Inilah filosofi helm ala Pak AR dalam berbangsa dan bernegara.

Pak AR membawa Muhammadiyah dengan piawai tanpa harus konfrontasi, tetapi tetap tegas menyangkut prinsip. Beliau bahkan pernah bikin surat berbahasa Jawa halus kepada Paus Yohannes yang akan berkunjung ke Yogyakarta berisi pesan Muhammadiyah tentang Islam dan kehidupan beragama di Indonesia.

Ketua PP Muhammadiyah ini tulus dalam memimpin, serta menggunakan pendekatan dakwan bil-hikmah. Beliau pernah berpesan, “Terhadap pemerintah jangan tolak pinggang, tetapi jangan munduk-munduk”. Intinya Muhammadiyah itu dengan siapapun jangan membebek, tetapi jangan pula arogan dan serbakonfrontasi. Kita belajar hikmah dari Pak AR Fakhruddin. (A Nuha)

Sumber: Majalah SM Edisi 21 Tahun 2016

Exit mobile version