Sikap ummat Islam terhadap rumusan Pancasila yang telah disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi kado terbaik ummat Islam untuk bangsa ini
Oleh: Agusliadi
Satu atau dua bulan terakhir perbincangan tentang Pancasila semakin hangat. Terma “pembelaan” mencuat ke permukaan terutama di media sosial. Pembelaan tersebut bukan hanya secara personal tetapi secara kelembagaan tanpa kecuali dari Muhammadiyah dan NU. Pembelaan itu dipicu oleh pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang dinilai tidak sesuai dengan spirit Pancasila. Bahkan oleh beberapa pengamat dan/atau aktivis disinyalir ada upaya mereduksi atau menggembosi Pancasila dengan ideologi lain.
Tulisan ini, meskipun menggunakan frase “Membela Pancasila”, namun sesungguhnya saya sedang tidak fokus dalam memberikan penafsiran terkait RUU HIP tersebut. Judul di atas satu sisi, saya terinspirasi dari judul buku Fajar Riza Ul Haq, Membela Islam Membela Kemanusiaan dan buku Aksin Wijaya, Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia.
Pada sisi lain, terinspirasi atas pemahaman saya membaca buku karya Yudi Latif, Negara Paripurna, buku Falsafatuna karya Muhammad Baqir Ash-Shadr terbitan Mizan khususnya pada bagian Pengantar: Masalah Sosial (2014), buku karyaBuya Ahmad Syafii Maarif, buku karya Fajar Riza Ul Haq Membela Islam Membela Kemanusiaan dan beberapa bacaan lainnya. Dari pembacaan tersebut, saya mendapatkan pencerahan bahwa sesungguhnya “Membela Pancasila” adalah “Membela Kemanusiaan”.
Pancasila sebagai dasar negara dan sebagai ideologi bangsa merupakan karya bersama ─ dari berbagai elemen bangsa baik golongan nasionalis maupun dari golongan Islam bahkan golongan minoritas ─ telah melewati fase pembuahan, fase perumusan dan fase pengesehan. Yudi Latif menggambarkan bahwa Pancasila adalah warisan dari Jenius Nusantara bahkan merefleksikan tanahnya yang subur.
Berdasarkan pemahaman saya dari buku Falsafatuna, pada bagian pengantar : masalah sosial, ─ pada bagian ini, berbeda dengan/tidak ada pada buku Falsafatuna yang diterbitkan oleh penerbit lain ─ saya menilai bahwa Pancasila selain dipahami sebagai dasar negara dan sebagai ideologi bangsa juga bisa dinilai sebagai sistem sosial. Pada substansinya sebagai sistem sosial, Pancasila dalam rasionalitas dan aktualitasnya memberikan dampak sosial baik yang dirasakan secara personal maupun secara kolektif.
Memahami Pancasila
Pancasila yang saya pahami sebagai sistem sosial, memberikan kontribusi dalam kehidupan sosial: Apakah merasakan kebahagiaan, kesejahteraan, ketentraman, kedamaian atau tidak? Dalam perjalanan sejarah kebangsaan Indonesia, Pancasila seringkali mendapatkan gangguan dan asupan dari luar. Ideologi lain senantiasa berupaya menggerogoti nilai –nilai luhur Pancasila, sehingga sampai pada aktualitasnya semakin kabur dalam kehidupan. Minimal alasan ini, sehingga Pancasila perlu dibela.
Yudi Latif mengutip Soekarno “Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita –cita. Jika mereka tidak memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya”.
Pentingnya konsepsi dan cita –cita ideal sebagai landasan moralitas bagi kebesaran bangsa diperkuat oleh cendekiawan-politis Amerika Serikat John Gardner: ”No nation can achieve greatness unless it believes in something, and unless that something has moral dimensions to sustain a great civililization”.
Terjemahannya, “Tidak ada bangsa yang yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika tidak sesuatu yang dipercaya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar”. (Yudi Latif , 2012:42). Ini relevan dengan teori radiasi budaya Arnold Toynbee yang salah satu substansinya bahwa peradaban yang bisa terus bertahan adalah peradaban yang dalam lapisan terdalamnya, dalam jantung peradabannya masih memiliki nilai –nilai dan visi spiritualitas.
Baik oleh Soekarno dengan terma “konsepsi” dan “cita-cita”-nya, John Gardner dengan terma “moral”-nya dan Arnold Toynbee dengan frase “nilai-nilai dan visi spiritulitas”-nya. Dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia, yang dimaksud itu adalah Pancasila.
Jika bangsa dan negara Indonesia sedang dalam bahaya. Warga negaranya sedang tidak merasakan kebahagiaan, kesejahteraan, ketentraman dan kedamaian secara merata dan adil. Atau Indonesia masih tertinggal jauh dari derap langkah bangsa –bangsa lain di dunia. Maka langkah tepat dan utama yang harus dilakukan atau yang saya tawarkan adalah “Membela Pancasila”.
Membela Pancasila, bukan hanya dalam pengertian mengetahui dan menghapalnya, tetapi jika meminjam pemahaman Yudi Latif, lebih daripada itu. Membela Pancasila berarti memahami, menghayati, mempercayai akan keutamaan nilai –nilai yang terkandung pada setiap sila Pancasila dan kesalingterkaitannya satu sama lain. Untuk kemudian diamalkan secara konsisten di segala lapis dan bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Membela Pancasila jika merujuk pada konsep Kuntowijoyo sebagaimana dikutip oleh Yudi Latif, disebut dengan “Radikalisasi Pancasila”. Yang dimaksudkan radikalisasi dalam arti ini adalah revolusi gagasan, demi membuat Pancasila tegar, efektif dan menjadi petunjuk bagaimana negara ini ditata-kelola dengan benar.
5 (lima) ceklis radikalisasi Pancasila Kuntowijoyo ─ istilah ceklis saya pinjam dari istilah yang sering digunakan oleh Prof. Amin Abdullah yang dalam pemahaman saya menunjukkan syarat, kriteria atau bisa dinilai sebagai “rukun” ─ yaitu: Pertama, mengembalikan pancasila sebagai ideologi negara; Kedua, mengembangkan Pancasila sebagai ideologi menjadi Pancasila sebagai ilmu.
Ketiga, mengusahakan Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial; Keempat, Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal; dan Kelima, menjadian Pancasila sebagai kritik kebijakan negara.
Jika mencermati sistem sosial yang berkembang di dunia ada 4: (1) sistem demokrasi kapitalistis; (2) sistem sosialis; (3) sistem komunis; dan (4) sistem Islam (Muhammad Baqir Ash-Shadr, 2014:29). Untuk konteks Indonesia, Pancasila sudah merupakan pilihan yang tepat, meskipun terus digerogoti oleh 4 sistem yang berkembang di dunia tersebut.
Mulai dari tahap pembuahan, perumusan, pengesahan Pancasila, ummat Islam telah menunjukkan “Pembelaan” terhadap Pancasila. Teladan yang baik, melepaskan egoisme dan romantisme masa lalu, mengedepankan kebersamaan dan pertimbangan masa depan bangsa dan negara. Sehingga merelakan untuk menghapus “tujuh kata” sebagaimana dalam Piagam Jakarta, yang terkesan/dinilai menunjukkan “politik identitas” ummat Islam.
Fajar Riza Ul Haq (2017:13) menegaskan bahwa “Persinggungan Islam sebagai agama pada tataran historis-aplikatif meniscayakan artikulasi dan corak keberislaman yang beragam”.
“Pergumulan Islam dengan kondisi lingkungan yang tidak tunggal ditambah faktor realitas kesejarahan masyarakat Islam di berbagai kawasan heterogen, menghadapkan masyarakat Islam pada berbagai pilihan corak dalam membumikan ajaran –ajaran Islam.”
Saya menilai pilihan dan sikap ummat Islam terhadap rumusan Pancasila yang telah disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi kado terbaik ummat Islam untuk bangsa ini. Pancasila bisa dinilai sebagai bentuk reinterpretasi, kontekstualisasi dan relevansi dengan apa yang diuraikan oleh Fajar tersebut di atas.
Selain daripada itu, sebagaimana saya pahami dalam “Pengantar: Masalah Sosial” buku Falsafatuna. Bahwa bangunan sosial yang solid harus didirikan hanya atas pemahaman kehidupan spiritual dan pengertian kehidupan moral. Bagi saya, Pancasila memiliki kedua hal tersebut: pemahaman kehidupan spiritual dan pengertian kehidupan moral.
Ini memiliki relevansi dengan apa yang disampaikan oleh Yudi Latif dalam pidato kebangsaannya pada acara memperingati Milad Nurcholish Madjid. Bahwa “Pancasila adalah hasil perasan dari nilai-nilai dan ajaran Islam. Dan untuk mengukur tingkat pengamalan nilai –nilai dan ajaran Islam. Bisa diukur dan tercermin dari sejauhmana pemahaman dan pengamalannya terhadap Pancasila.”
Dari beberapa yang telah saya uraikan di atas, saya bahkan menilai bahwa dengan sendirinya telah mensyaratkan dan mengisyaratkan kepada kita anak bangsa. Penerapan sistem Demokrasi kapitalistis, Sosialis, Komunisme termasuk syariat Islam dalam pengertian sebagai Negara Islam kurang tepat dengan atmosfir kehidupan bangsa dan negara Indonesia yang sangat majemuk.
Di sinilah pentingnya menerapkan “politik garam” daripada “politik gincu” ummat Islam, yang seringkali disampaikan oleh Buya Ahmad Syafii Maarif. Tidak perlu negara Islam, yang penting ummat Islam menjalankan nilai – nilai dan ajaran Islam secara baik dan benar dalam kehidupan. Apalagi Pancasila memiliki nafas yang senyawa dengan nilai-nilai dan bahkan tujuan dari ajaran Islam.
Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan NU, dan terutama Muhammadiyah telah menilai bahwa rumusan Pancasila itu telah final. Dan sebagaimana ceklis radikalisasi Pancasila Kuntowijoyo di atas, khususnya bagian kedua, saya menilai bahwa rumusan Muhammadiyah, “Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah” adalah contoh kongkret dari hal tersebut.
Darul Ahdi wa Syahadah
Pancasila sebagai sesuatu yang sudah final, ini relevan dengan yang dikutip oleh Yudi Latif dari Soekarno. Bahwa untuk mengadakan Negara Indonesia Merdeka itu “harus dapat meletakkan negara itu atas suatu meja statis yang dapat mempersatukan segenap elemene di dalam bangsa itu. Tetapi juga harus mempunya tuntutan dinamis kea rah mana kita gerakkan rakyat, bangsa dan negara ini”.
Berdasarkan meja statis dan tuntunan dinamis atau istilah lainnya, dasar statis dan leitstar (bintang pimpinan) dinamis bagi bangsa tidak boleh mencari hal-hal di luar jiwa rakyat itu. Setelah Soekarno memohon petunjuk kepada Allah dan merenungi dan menggali sedalam-dalamnya mulai dari zaman Hindu dan pra Hindu dan melihat macam –macam saf, menurutnya total dasar statis dan Leitstar dinamis itu, berkristalisir dalam lima hal. Maka Pancasila sudah menjadi pilihan yang paling tepat, meskipun pada saat perumusan Pancasila, Soekarno menawarkan trisila dan ekasila.
Bagi Soekarno pilihan angka lima karena angka lima memiliki nilai “kramat” dalam antropologi masyarakat Indonesia. Rukun Islamlima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunya panca indra. Dalam tradisi jawa ada lima larangan sebagai kode etik dengan istilah “Mo-limo”, Taman siswa dan Chuo Sangi memiliki “Panca Dharma”, selain itu penting yang amat penting kedudukannya sebagai pemandu pelaut dari masyarakat bahari ─ juga bersudut lima.
Ini semua bagian dari pembelaan terhadap Pancasila. Jadi meskipun secara historis terma trisila dan ekasila pernah menjadi spektrum narasi perumusan Pancasila. bagi saya Pancasila sudah merupakan pilihan tepat dan terbaik yang idealnya seluruh anak bangsa komitmen menilai bahwa itu sudah final.
Bagi saya langkah selanjutnya, yang harus dilakukan sebagai bentuk pembelaan terhadap Pancasila, selain mengikuti ceklis radikalisasi Pancasila ala Kuntowijoyo, Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah ala Muhammadiyah. Perlu memassifkan kepada anak bangsa agar memberikan pemahaman bahwa Pancasila idealnya harus menjadi pedoman hidup terutama dalam dinamika penegakan kedaulatan politik dan kemandirian ekonomi. Pancasila harus menjadi seperangkat pengetahuan, doktrin dan alat interpretasi. Untuk memahami realitas termasuk dalam kepentingan melayani vertikal (pemerintah) dan horizontal (masyarat).
“Pembelaan Pancasila” penting untuk dilakukan karena pada dasarnya akan bermuara pada “Pembelaan Kemanusiaan”. Terma “Kebahagiaan”, “Kesejahteraan”, “kedamaian”, “kententraman”, “Moralitas”, “Spiritualitas” adalah entitas penting dalam kemanusiaan. Dan dalam konteks Indonesia, semua itu bisa tercapai jika nilai-nilai Pancasila diwujudkan dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Apalagi the ultimate goal dari kehidupan berbangsa dan bernegara tercermin dari sila kelima, “Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Keadilan adalah hajat penting setiap manusia dalam menjalankan kehidupan sosial dan menjadi spirit dalam kemanusiaan. Mari “Membela Pancasila” demi “Membela Kemanusiaan”.
Agusliadi, Eks Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Dan Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023