YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Meski pun pandemi Covid-19 ini belum selesai, “Pada akhirnya hidup ini tetap harus berjalan terus apa pun yang terjadi di luar. Pada kondisi yang seperti ini yang paling basis dan paling penting adalah bagaimana keluarga bisa bertahan hidup dengan tantangan yang saat ini kita hadapi” tegas Brian Sriprahastuti, selaku Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Republik Indonesia ketika berbicara di Covid Talk MCCC pada Selasa (23/06) lalu.
Brian Sriprahastuti mengungkapkan bahwa, meskipun Covid-19 ini ialah problem soal kesehatan namun dampaknya mempengaruhi segala aspek kehidupan. Karena juga pandemi ini berlangsung pada jangka waktu yang panjang sehingga kemudian memunculkan kerentanan dan kesenjangan sosial pada masyarakat. Hal ini semakin menjadi kompleks ketika masyarakat harus melakukan segala aktivitas dari dalam rumah sebagaimana instruksi dari pemerintah melalui kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kompleksitas ini kemudian berdampak pada keluarga terutama pada anak dan juga perempuan.
Satu hal lagi yang tidak bisa dipungkiri ialah bahwa covid-19 ini tidak bisa dihentikan, maka cara yang mungkin bisa dilakukan ialah dengan dikendalikan salah satunya dengan meningkatkan kekebalan tubuh masyarakat melalui vaksin.
Namun karena belum adanya kepastian terkait dengan vaksin ini “maka kita harus bisa bermain-main dalam situasi di mana virus itu masih ada di sekitar kita. Itu lah kemudian yang menjadi dasar dari konsep New Normal atau adaptasi kebiasaan baru menuju tatanan masyarakat yang aman dan produktif” jelas Brian.
Terkait dengan konsep adaptasi kebiasaan baru ini, menurut Brian, pola asuh menjadi pilar yang penting dalam rangka memberikan perlindungan kepada anggota keluarga yang rentan, dalam ha ini anak dan perempuan.
Sehingga dalam ruang lingkup masyarakat yang terkecil ini yaitu keluarga. Maka orang tua atau pun anggota keluarga yang lebih dewasa akan muncul sebagai contoh atau role model bagi anak-anak.
Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa bisa memicu perilaku keseharian atau kebiasaan yang akan menciptakan perlindungan dan ketahanan dalam keluarga.
Ketahanan keluarga dalam hal ini ketika keluarga itu mampu melakukan aktivitas dan berinteraksi di segala situasi juga kondisi. “Sekali pun vaksin sudah ditemukan dan masyarakat sudah banyak yang diberikan vaksin, tetapi tidak ada jaminan bahwa persoalan ini akan selesai. Karena ancaman dari virus-virus yang serupa maupun yang lain itu masih banyak di luar sana” tegas Brian. Juga, coronavirus ini mempunya kemampuan yang luar biasa untuk bertahan hidup juga memodifikasi dirinya, bisa saja menjadi lebih ganas atau menjadi lebih jinak.
“Artinya, keluarga memang harus tahan untuk menghadapi segala kemungkinan terkait dengan virus apa pun” jelasnya.
Selama pandemi ini, Brian mengungkapkan bahwa pengaduan masyarakat juga banyak yang terkait dengan kesehatan mental seperti adanya kecemasan, ketakutan, dan stres akibat dari terlalu lama berada di rumah. Bahkan ada pengaduan-pengaduan yang cenderung pada terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, termasuk kekerasan pada anak.
Pada periode 2 Maret sampai 25 Maret sudah ada 368 kasus kekerasan pada anak yang dilaporkan. Namun menurut Brian, data ini hanyalah apa yang ada di permukaan belum termasuk pada kasus-kasus yang tidak terlaporkan. “Ini adalah fenomena seperti gunung es” ungkapnya.
Terkait hal ini Brian menegaskan pula bahwa perlindungan anak tidak bisa seratus persen dibebankan kepada pemerintah, melainkan semua elemen harus ikut andil baik dari elemen orang tua sampai elemen masyarakat sipil.
Upaya Muhammadiyah Menguatkan Ketahanan Keluarga pada Masa Pandemi Covid-19
Kondisi perekonomian saat ini, Menurut Deni Wahyudi Kurniawan selaku Wakil Sekretaris MCCC pada acara Covid Talk dari MCCC, tentunya akan menjadi pukulan bagi keluarga. Apalagi sebagian besar masyarakat di Indonesia bekerja dalam sektor-sektor informal yang mengalami dampak langsung ketika diberlakukannya PSBB selama masa pandemi Covid-19 ini. Banyak pekerja yang kemudian dirumahkan. Padahal menurut riset, ujar Deni, masyarakat Indonesia itu ada sekitar 60-70% yang hanya memiliki tabungan untuk cukup memenuhi kebutuhan hidup selama 2 bulan.
Deni juga menyebutkan bahwa tekanan secara ekonomi pada momentumnya bisa berimbas pada ketahanan psikologi dalam keluarga. Sehingga dalam hal ini, “dampak dari pandemi terhadap ketahanan keluarga menjadi multidimensi”, ujar Deni.
Dalam hal memberikan solusi dari problem ketahanan keluarga akibat pandemi Covid-19 ini, Deni menyampaikan bahwa MCCC telah melakukan berbagai macam upaya. Dalam hal penguatan ekonomi keluarga, Muhammadiyah melalui MCCC dan lembaga lainnya sudah membagikan paket-paket sembako kepada keluarga-keluarga rentan yang terdampak secara ekonomi di seluruh Indonesia.
Selain itu MCCC juga telah menyediakan hotline khusus untuk konsultasi psikologi dan agama secara online sebagai upaya pencegahan dampak psikologis dari Covid-19 serta mendukung penguatan ketahanan keluarga dari segi psikologis dan spiritual. (ran)