Dunia Islam, di masa kejayaannya, sebenarnya sudah sangat modern. Kemodernan ini relatif sebanding dengan segala aspek peradaban yang diraih oleh Eropa
Oleh: Hasnan Bachtiar
Realitas kehidupan Muslim di negara-negara dunia pertama saat ini, sebenarnya tidak terlepas dari pencapaian peradaban Barat. Tentu saja kehidupan mereka tidak semuanya tampak baik. Barangkali, hal ini sejalan dengan upaya meraih cita-cita ideal kemodernan (terutama Eropa dan Amerika), yang tidak dapat sepenuhnya dikatakan berhasil.
Di tengah ketidaksempurnaan itulah, komunitas Muslim terbangun. Menurut Saïd Amir Arjomand (2004) faktor terpenting yang memungkinkan hal itu adalah adanya globalisasi. Secara historis, globalisasi tidak hanya mengalir dari Barat ke dunia Muslim melalui gelombang kolonisasi yang dimulai sejak abad ke-18, namun juga dari dunia Muslim menuju pelbagai belahan dunia lainnya sejak abad ke-8.
Secara lebih detil, dalam “Spacetime and the Muslim journey West: industrial communications in the making of the Muslim World” (2014), Nile Green mengamati adanya pusatpusat komunitas Muslim di negara-negara Barat. Para musafir Muslim bermigrasi dari tanah kelahirannya, dan tentu saja bertransformasi.
Terdapat nilai penting yang dapat digali dari transformasi tersebut. Yakni, adanya refleksi intelektual yang luar biasa mengenai dua hal: spirit pembaruan Barat dan universalitas Islam. Mereka tidak kembali ke tanah kelahirannya, oleh karena tinggal, menetap, membangun komunitas di antara para musafir lainnya dari Timur Tengah, Afrika dan Asia, dengan pelbagai akar tradisi kebudayaan yang kaya.
Keislaman mereka, tentu saja berbeda dengan apa yang dimiliki oleh nenek moyangnya di kampung. Secara garis besar, ciri khas yang membedakannya adalah pandangan hidup Muslim yang reformistik, yang peka terhadap perubahan zaman dan pentingnya kontekstualisasi ajaran agama. Proses transformasi Muslim ini terjadi di kisaran akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Pada masa-masa ini, gelombang kolonialisme Barat sedang mendapatkan tempatnya. Hal ini terjadi kurang lebih berbarengan dengan jatuhnya kejayaan pelbagai imperium besar di dunia Islam seperti Dinasti Safawi (Dud mân e Safavi) pada pertengahan abad ke-18, Dinasti Mughal (Mughliyah Salthanat) pada pertengahan abad ke-19 dan Dinasti Turki Utsmani (Devlet-i ‘Alîye-i ‘Oshmânîye) pada awal abad ke-20. Tentu konteks historis ini menjadi faktor yang signifikan terhadap lahirnya pemikiran mengenai pembaruan.
Dunia Islam, di masa kejayaannya, sebenarnya sudah sangat modern. Kemodernan ini relatif sebanding dengan segala aspek peradaban yang diraih oleh Eropa. Setidaknya, jika dilihat dari sudut pandang tata negara, sistem hukum, pertumbuhan ruang publik, mobilitas sosial yang massif, praktik kebebasan berpikir dan berkeyakinan yang kosmopolitan, kuatnya peran institusi keagamaan dalam persoalan kemaslahatan publik dan gaya hidup, bangkitnya kapitalisme dan seterusnya (John Voll 2008, Green 2012, Evstatiev 2013 & Salvatore 2016). Nilainilai unggul di balik hal-hal ini, menjadi imajinasi yang mengakar kuat bagi para musafir tersebut.
Tatkala mereka membandingkan dan melakukan refleksi kritis mengenai dua arus kemodernan, maka hal yang paling menonjol adalah persoalan ruang dan waktu. Mereka menyadari bahwa sedang menjalani kehidupan dengan ruang dan waktu yang berbeda. Menurut Wolfgang Kaschuba, dalam karyanya “Die Überwindung der Distanz” (2004) menyatakan bahwa konsepsi mereka mengenai kekinian dan kedisinian (Zeit und Raum) turut dibangun oleh konteks industrialisasi Eropa abad ke-19.
Mereka sejatinya memiliki ruang memori (Gedächtnisraum) yang “baru” sebagai Muslim yang mendeteritorialisasi lokusnya yang semula. Artinya, mereka tidak lagi tinggal di wilayah Arab, Turki, Persia atau India. Jadi, Barat menurut mereka, juga adalah dunia Muslim. Refleksi ini sesungguhnya, menghasilkan penempatan ulang akan makna sebagai Muslim, dalam level pemikiran yang lebih abstrak. Proses ini terus bergulir hingga abad ke-21.
Dengan mempertimbangkan pelbagai kompleksitas sosiokultural, politik dan ekonomi, terutama yang dibawa oleh gelombang globalisasi, maka saat ini, fenomena Muslim Barat semakin popular. Terbitnya buku “To be a European Muslim” (1998) yang dikarang oleh Tariq Ramadan, menjadi bukti yang paling otentik tentang adanya transformasi Muslim yang telah didiskusikan. Sebenarnya ada banyak judul buku mengenai hal ini, yang ditulis dengan pelbagai perspektif. Para sarjana seperti Jocelyne Cesari, Samir Amghar, Amel Boubekeur, Michael Emerson, Mark Sedgwick, Paul Weller, Ihsan Yilmaz dan yang lainnya, mendedikasikan dirinya untuk mengamati fenomena penting ini.
Yang terpenting adalah, kaum Muslim Barat mempertahankan akar mereka sebagai Muslim, memperkayanya dengan cara refleksi dan kontekstualisasi, menemukan relevansinya di hadapan zaman dan turut memberikan kontribusi terhadap modernisasi Barat yang masih terus berlangsung. Di samping itu, mereka memiliki makna baru mengenai “pulang ke rumah”. Tentu saja bukan kembali ke tanah kelahiran atau kampung halaman, tetapi lokus yang menjadi rumah baru bagi mereka: Barat. Bersambung
Hasnan Bachtiar, dosen UMM, menekuni hukum perang dan hubungan internasional, alumnus the Centre for Arab and Islamic Studies (CAIS), the Australian National University (ANU)
Sumber: Majalah SM Edisi 13 Tahun 2017