Oleh: Deni al Asyari
Sebagai lembaga pendidikan, sekolah meniscayakan hanya bergerak dalam aktivitas proses belajar mengajar sebagaimana fungsi dan tujuan dari institusi pendidikan. Maka, keberhasilan sebuah lembaga pendidikan, diantaranya akan diukur dari, bagaimana proses belajar mengajar dilakukan, sebaik apa infrastruktur dan media pembelajaran disiapkan, serta bagaimana output dari peserta didik dihasilkan.
Lantas, bagaimana jika lembaga pendidikan mengelola dan memiliki sebuah unit bisnis/usaha yang menjadi bagian dari sekolah? Selama ini, memang belum banyak perhatian sekolah untuk memiliki atau menyiapkan sebuah lini bisnis di bawah lembaga institusi pendidikan. Sebab, semua kebutuhan pembiayaan sekolah (baca: swasta), hampir sebagian besar dibebankan kepada peserta didik.
Kebijakan pembiayaan sekolah yang dibebankan kepada peserta didik, adalah sebuah kenormalan yang dilakukan dibanyak lembaga pendidikan. Dengan konsep normatif, agar sekolah fokus dalam proses belajar mengajar untuk mempersiapkan output yang lebih baik.
Tapi, memilih sebuah pengembangan institusi sekolah, melalui sayap bisnis, adalah sebuah terobosan yang juga penting menjadi agenda dan konsep bersama. Tidak hanya bertujuan meringankan biaya sekolah, namun lini bisnis ini juga mendukung berbagai program pengembangan sekolah.
Konsep lini bisnis ini, menjadi sebuah strategi yang dilakukan oleh Bilken University, sebuah kampus swasta yang didirikan tahun 1984 oleh Prof. Dr. Ali Dogramaci di Ankara Turki. Melalui 50 korporasi bisnis yang dibangun dan dikembangkanya, kampus swasta pertama di Ankara Turki ini, dapat membangun dan mengembangkan lembaga lembaga pendidikan jauh lebih baik dan maju.
Tidak hanya mendatang para dosen dan ilmuan tersohor dari kampus-besar di Eropa, namun, kampus ini dapat memfasilitasi beasiswa untuk mahasiswanya lebih banyak, dan memfasilitasi tempat tinggal para pengajarnya di lingkungan kampus.
Di Indonesia, khususnya di lingkungan Muhammadiyah, memang sudah ada beberapa institusi pendidikan yang mengembangkan lini bisnis sekolah, atau yang disebut badan usaha milik sekolah (BUMS). Diantaranya adalah sekolah-sekolah Muhammadiyah yang berbasis pondok pesantren atau boarding school. Namun selain itu, masih sedikit bahkan bisa dihitung dengan jari.
Keberadaan BUMS ini, sangat penting bukan saja karena di era pandemi ini. Walaupun tidak ada wabah pandemi, lini bisnis sekolah, sangat berguna dalam menunjang proses belajar mengajar, proses pengembangan infrastruktur dan media pembelajaran, dan juga penting bagi kemudahaan peserta didik dalam biaya sekolah maupun kesejahteraan bagi stakeholder sekolah.
Apalagi saat sekarang kita berada di tengah pandemi, banyak sekolah dengan seluruh stake holder terkait, berada dalam sebuah kedilemaan. Bagi sebagian guru-guru (khususnya swasta), akibat kondisi pandemi, tunjangan dan income mereka harus menyesuaikan (dipotong) dengan kondisi keuangan sekolah. Begitu juga bagi wali murid/ siswa, mereka tetap harus membayar biaya sekolah (ada yang full dan ada yang sebagian) walaupun tidak ada proses belajar mengajar secara langsung di sekolah.
Sementara berbagai kebutuhan pengembangan infrastruktur dan media pembelajaran sekolah, harus terhenti karena tidak adanya support dana lain, selain dari biaya uang sekolah. Bahkan, sebagian sekolah yang terikat dalam transaksi piutang perbankan, tetap harus melakukan cicilan dalam tiap bulannya. Sementara, lagi-lagi sumber keuangan tidak terlalu banyak.
Pihak sekolah, guru dan karyawan, wali murid berada dalam sebuah kedilemaan di tengah kondisi sumber keuangan yang tunggal. Dalam keadaan seperti ini, memang tidak ada yang bisa disalahkan diantara mereka. Sebab sekolah butuh pendanaan, guru butuh pendapatan, dan wali murid juga butuh penghematan.
Oleh karena itu, kondisi saat ini, sesungguhnya dapat kita jadikan sebuah hikmah dan ibrah, bagaimana pentingnya unit BUMS sebagai lini bisnis di lembaga pendidikan. Lantas, bagaimana tahap awal, untuk memulai langkah ini bagi sekolah yang belum memiliki BUMS?
BUMS & Konsep Kemitraan
Memulai sebuah bisnis memang bukanlah pekerjaan mudah, apalagi dikelola di bawah sebuah institusi pendidikan. Karena selain membutuhkan sebuah manajemen yang profesional, juga membutuhkan sumber modal yang memadai. Namun, bukan berarti langkah ini tidak bisa dilakukan.
Sebagai tahap awal, hal yang penting dilakukan pihak sekolah adalah membangun kemitraan atau kolaborasi dengan institusi bisnis yang sudah berjalan atau memadai. Dengan modal kolaborasi, selain tidak membutuhkan modal yang besar, juga memastikan hulu /produsen dari suplay produk berjalan baik.
Tentu saja, untuk memastikan mitra suplyer bisnis ini, sebelumnya pihak sekolah harus memetakan dan menentukan pasar bisnis yang akan dikelola.
Misalnya saja untuk saat sekarang, kebutuhan-kebutuhan dasar sekolah bisa menjadi kebutuhan bisnis sekolah. Seperti, seragam sekolah, buku-buku sekolah, ATK, kebutuhan sembako dan menu siap makan, kebutuhan event dan marchandes sekolah, serta juga bisa mengelola minimart atau joint invest pada lembaga bisnis yang sudah berjalan.
Bahkan, pihak sekolah melalui unit khusus BUMS ini, juga bisa mengelola produk-produk warga untuk dilakukan bisnis online sekolah. Sehingga semua pola ini, bisa mengurangi biaya modal atau investasi.
Dan untuk saat sekarang, di lingkungan Muhammadiyah, salah satu lembaga yang kompeten dan konsisten dalam mengembangkan bisnis berbasis kolaborasi dan jamaah adalah Suara Muhammadiyah. Dengan berbagai unit bisnis yang dikembangkan di bawah holding Suara Muhammadiyah, yaitu PT Syarikat Cahaya Media (SCM), sangat terbuka kesempatan, untuk menjadi mitra bagi setiap sekolah mengawali langkah awal, dalam membangun Badan Usaha Milik Sekolah (BUMS).
Selain secara suplay produk dan jasa yang konsisten, pihak sekolah tentu tidak perlu memikirkan manajemen yang berat, sebab sebagai tahap awal, holding Suara Muhammadiyah, dapat dijadikan mitra dalam berkolaborasi untuk mengembangkan badan usaha milik sekolah ini. Dengan adanya proses awal pembangunan BUMS ini, akan memudahkan langkah-langkah selanjutnya bagi pihak sekolah mengembangkan lini bisnis lainnya. Sebab, tidak mungkin kita bisa mengembangkan, kalau kita belum memulai.
Oleh karena itu, sebagai catatan penutup, bahwa Badan Usaha Milik Sekolah, harus menjadi bagian program pengembangan sekolah ke depannya. Jika perlu, unsur BUMS menjadi bagian dari unsur dalam penilaian akreditasi sekolah. Sehingga, sekolah-sekolah akan berikhtiar dengan gigih menghadirkan lini bisnis sekolah ini. Dan melalui lini bisnis ini pula, ikhtiar lembaga pendidikan untuk membangun sekolah yang berkualitas, dengan support pendanaan yang memadai, akan bisa diwujudkan. Semoga. Wallahu’alam.
Deni al Asyari, Direktur Utama PT SCM / Suara Muhammadiyah