MEDAN, Suara Muhammadiyah – Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi secara khusus menghadiri sidang terbuka pengukuhan Guru Besar Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Prof. Dr. Triono Eddy SH., M.Hum yang dilaksanakan di aula kampus UMSU, Jalan Kapten Mukhtar Basri, Medan, Sabtu (11/7).
Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi dalam sambutannya, menyampaikan dirinya selalu menghadiri acara pengukuhan guru besar, namun untuk Universitas swasta baru UMSU yang pertama kali menggelarnya. Kehadirannya itu merupakan bentuk komitmen karena keberadaan guru besar diharapkan memberikan kontribusi dalam mewujudkan Sumut yang bermartabat.
Dalam kesempatan itu, dia juga menyampaikan komitmennya untuk membantu menambah jumlah guru besar yang dirasa masih sangat kurang di Sumatera Utara. Untuk itu pihaknya siap mengeluarkan anggaran bagi para dosen yang ingin memenuhi syarat guru besar, yakni menerbitkan karya di jurnal internasional terindeks scopus.
Kepala LLDikti Wilayah I Sumut, Prof. Dian Armanto, M.Pd., MA., M.Sc., P.hD menjelaskan, mendapatkan kepangkatan guru besar merupakan hal yang istimewa. Hal ini menjadi prestasi tersendiri bukan hanya bagi dosen bersangkutan, tapi juga secara kelembagaan.
“Bertambahnya guru besar di lingkungan UMSU menambah daftar jumlah prestasi yang selama ini sudah cukup banyak diraih sehingga menempatkan kampus ini sebagai universitas swasta terbaik,” katanya.
Sidang terbuka pengukuhan Guru Besar UMSU, Prof.Dr.Triono Eddy, SH, M.Hum dibuka langsung oleh Rektor Dr. Agussani, M.AP. Acara pengukuhan ini dihadiri seluruh anggota senat, Ketua BPH UMSU, Dr. Bahril Datuk, SE., MM, Prof. Dr. Nawir Yuslem, MA, pejabat Forum komunikasi pimpinan daerah Sumatera Utara, serta para tokoh pendidikan dan tokoh masyarakat.
Rektor UMSU, Dr. Agussani, M.AP dalam kesempatan itu mengungkapkan, dengan pengukuhan tersebut, maka saat ini jumlah guru besar universitas muhammadiyah Sumatera Utara tentu menjadi bertambah, hal ini tentunya menjadi spirit dan motivasi bagi dosen lain untuk menggapai predikat tertinggi dalam keilmuan masing-masing. Diakui, regulasi dan standar yang diterapkan oleh pemerintah untuk mencapai predikat profesor saat ini semakin tinggi, tetapi dengan berbekal pengalaman panjang serta semangat tinggi, maka UMSU yakin secara bertahap dan terencana akan terus menambah jumlah guru besar baru.
Dijelaskan, potensi penambahan guru besar sangat terbuka lebar, karena dari 560 dosen yang di miliki saat ini ada 205 dosen dengan jabatan fungsional lektor atau 31,7% yang berpotensi untuk segera ke lektor kepala dan 50 dosen yang sudah lektor kepala atau total 28% yang berpotensi untuk menjadi guru besar.
“Tentunya ini merupakan tantangan dan peluang yang harus kita raih,
sebab untuk mempertahankan dan meningkatkan akreditasi perguruan tinggi A saat ini, salah satunya adalah keidealan jumlah guru besar yang dimilikinya,” katanya.
Lebih lanjut, UMSU terus berupaya memotivasi seluruh dosen untuk meningkatkan fungsi tridarma nya, sehingga target maksimal dalam pencapaian guru besar bisa diraih. Komitmen universitas adalah memberi fasilitas dan regulasi agar terjadi percepatan dosen meraih level profesionalitas tertingginya.
Prof. Dr. Triono Edy
Sementara, Prof. Dr. Triono Edy, SH, M.Hum dalam orasi ilmiahnya mengangkat judul, “Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Bertumpu pada Kearifan Lokal Masyarakat Hukum Adat”. Dijelaskan, Indonesia dikenal di seluruh dunia sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang kaya dan melimpah ruah. Sumber daya alam yang terbarukan (renewable) maupun yang tak terbarukan (nonrenewable), serta yang berbentuk modal alam (natural resource stock). Hutan tropis Indonesia (tropical rain forest) adalah terluas kedua di dunia setelah kawasan hutan tropis lembah Sungai Amazon di Brazilia.
Konstitusi mengamanatkan bahwa sumber daya alam yang seharusnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, tetapi dalam pelaksanaannya justru dieksploitasi secara berlebihan dan pemanfaatannya dikuasai sebahagian diantaranya oleh para penanam modal/investor nasional maupun asing untuk kepentingan bisnis.
Konsekuensi yang timbul kemudian adalah secara perlahan tetapi pasti terjadi kerusakan dan degradasi kuantitas maupun kualitas sumberdaya alam Indonesia yang meliputi: Laju kerusakan hutan mencapai 1 juta hektar per tahun dalam periode 2000-2012, dan sejumlah spesies hutan tropis terancam punah akibat eksploitasi sumberdaya hutan yang tak terkendali. Hampir 95% terumbu karang di Indonesia terancam oleh kegiatan manusia, dengan lebih dari 35% mengalami ancaman tingkat tinggi atau sangat tinggi. Pengambilan batu karang, penangkapan ikan yang menggunakan bom atau racun (sianida), dan pencemaran air laut oleh pembuangan limbah industri yang tidak terkendali telah menyebabkan rusaknya terumbu karang.
“Kerusakan tidak hanya ditanggung oleh manusia tapi juga oleh makhluk lain. Namun, manusia dan kebudayaannya memiliki kelenturan ekologis yang tinggi, tetapi makhluk hidup lainnya terancam punah karena kerusakan habitat,” katanya.
Lebih lanjut, meskipun masyarakat lokal memiliki kearifan yang sangat baik, tapi perubahan yang terjadi di kawasan tempat hidup mereka telah memberikan dampak yang kurang menguntungkan. Adanya sistem penangkapan modern yang menjanjikan tingkat penghasilan yang lebih baik. Permintaan hasil sumber daya alam yang tinggi, ikut mendorong masyarakat lokal untuk memanfaatkan hasil sumber daya alam semaksimal mungkin sehingga kadang kala telah melanggar sistem kearifan lokal yang dimiliki. Selain itu meningkatnya jumlah penduduk mendorong manusia kearah ketergantungan yang lebih besar terhadap sumber daya alam dan hasilnya. Tekanan dan intervensi masyarakat semakin meningkat akibat pesatnya perkembangan teknologi.
Di sisi lain, masyarakat juga memandang telah terjadi ketidakadilan dalam implementasi kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang mereka anggap telah merampas hak-hak adat masyarakat dan membatasi wilayah kegiatan ekonomi mereka. Hal ini mendorong masyarakat berusaha keluar dari kungkungan norma yang dirumuskan para leluhurnya dan tidak memperhatikan kelestarian lingkungan.
Adanya pengakuan dan penghormatan dari Negara kepada masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam sebagaimana yang digariskan dalam UUD Tahun 1945 ternyata tidak diikuti dengan sebuah pengaturan yang memberikan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat, termasuk didalamnya masyarakat tradisional. Seharusnya pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional dapat diwujudkan dalam bentuk perlindungan dan pemberdayaan sesuai dengan karakteristik yang dimiliki.
Oleh karena itu, diperlukan pengaturan mengenai pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat adat secara komprehensif dalam suatu undang-undang yang pada saat ini masih dalam pembahasan. Padahal dengan segeranya undang-undang ini disahkan, diharapkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam hal pengelolaan sumber daya alam akan dapat lebih ditingkatkan.
Melalui undang-undang ini dapat mengakomodir aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah dengan lebih memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Caranya dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan melaui pengelolaan sumber daya alam yang berbasis kepada kearifan lokal yang diberikan kepada masyarakat hukum adat. (Syaifulh/Rizq)