Oleh: Diko Ahmad Riza Primadi
Ikhlaskan saja, karena memang kita tidak berbuat apa-apa selain hanya mengecam. Beramai-ramai membuat kecaman di media sosial dan seolah kita sudah berbuat sesuatu untuk mereka yang dirampas kemerdekaannya. Mengungkapkan kemarahan dan segala macam kekesalan hanya melalu tulisan (mengecam) tanpa aksi nyata. Termasuk juga saya. Solusi paling masuk akal tentang persoalan Palestina adalah mengikhlaskannya jatuh ke tangan Israel.
Sejatinya Palestina sudah menghilang sejak lama dari sistem perpolitikan dunia pasca keruntuhan Turki Ustmani. Secara perlahan namun pasti, Israel berhasil mencaplok tanah yang mereka anggap suci setelah mampu memenangkan perang. Pada tahun 1967 saat berlangsungnya perang timur tengah, negara-negara Arab seperti Arab Saudi, Mesir, dan Yordania terlibat perang dengan Israel yang bertujuan menolak berdirinnya Negara Israel di tanah Palestina. Saat itu Israel yang didukung persenjataan canggih dari Amerika berhasil menang dan menduduki Yarusalem Timur, menandai permulaan dominasi Yahudi di wilayah tersebut. Dan pada perkembangannya, Israel berhasil menduduki kota Yarusalem pada tahun 1980.
Hubungan antara Palestina dengan Israel kini kembali memanas. Israel kembali menjalankan rencana pencaplokan wilayah Palestina. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu sebelumnya telah menetapkan 1 Juli sebagai tanggal dimulainya kembali aneksasi. Ada dua wilayah yang coba diakuisisi oleh Israel yakni wilayah Tepi Barat dan Lembah Jordan yang strategis. Langkah ini didukung oleh Amerika Serikat sebagai sekutu setia Israel. Negara dengan kekuatan militer terkuat di dunia ini sudah lama mengakui tanah Palestina sebagai hak Israel.
Baru-baru ini netizen beramai-ramai mengecam Google karena menghapus Palestina dari Google Maps. Mereka marah karena wilayah yang sebelumnya merupakan negara Palestina berubah nama menjadi Israel. Hal tersebut bermula dari postingan twitter @hassan_sheikh4 yang menampilkan dua tangkapan layar Google Maps yang telah menghapus nama Palestina.
Tenang saja, Palestina hanya hilang dari Google maps, yang terpenting tidak hilang dari ingatan kita. Itu hanya namanya saja yang berubah. Wilayahnya masih tetap ada di Google Maps. Palestina akan tetap menjadi sejarah yang indah saat Umar bin Khatab dan Salahuddin Al-Ayubi berhasil menjadikan Yerussalem sebagai bagian dari wilayah kekuasaan Islam.
Keruntuhan Ottoman dan Mandat Palestina
Usaha Israel untuk menguasai tanah Palestina yang sejatinya menjadi hak warga Palestina bukan hanya terjadi pada akhir-akhir ini saja. Dalam sejarahnya, penjajahan Israel atas tanah palestina sudah berlangsung sejak meletusnya perang Dunia Pertama.
Ketika pecah Perang Dunia I (1914-1918), Kekaisaran Ottoman Turki memilih menjadi sekutu Jerman. Itu berarti, Ottoman berseberangan dengan Inggris dan Perancis yang menjadi musuh Jerman. Situasi ini diamati dengan baik oleh kelompok Zionis yang semakin kuat dan para pelopor pergerakan nasionalisme Arab. Kedua kelompok ini melihat peluang untuk mendepak Ottoman Turki dari kawasan Timur Tengah sehingga kedua kelompok ini pun memilih untuk memihak Inggris.
Di sela-sela perang, berbagai upaya diplomatik dilakukan dengan baik oleh kelompok Zionis maupun Arab demi kepentingan mereka masing-masing. Salah satunya adalah korespondensi Pemimpin Mekkah Hussein bin Ali dengan Komisioner Tinggi Inggris di Mesir, Sir Henry McMahon. Inti dari surat-menyurat yang terjadi antara 1914 sampai 1915 itu adalah bangsa Arab berjanji akan bersekutu dengan Inggris dan sebagai imbalan di saat perang berakhir Inggris harus mengakui kemerdekaan negara-negara Arab. Namun, kemudian terungkap bahwa Inggris dan Perancis menandatangani perjanjian Sykes-Picot 1917 yang isinya adalah rencana kedua negara membagi wilayah-wilayah yang dulunya adalah milik Turki Ottoman.
Gerilya diplomatik juga dilakukan kelompok Zionis. Pemimpin komunitas Yahudi di Inggris, Baron Rothschild, membangun hubungan dengan Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour. Kemudian Balfour membuat pernyataan pada 2 November 1917 yang dikenal dengan “Deklarasi Balfour” yang isinya adalah Inggris akan mengupayakan Palestina sebagai rumah bagi bangsa Yahudi, tetapi dengan jaminan tidak akan mengganggu hak keagamaan dan sipil warga non-Yahudi di Palestina.
Dengan isi yang sedemikian mendukung pembentukan negara Yahudi yang dicita-citakan kelompok Zionis, maka tak heran jika Deklarasi Balfour dianggap sebagai batu penjuru terbentuknya negara Yahudi atau Israel saat ini. Mandat Palestina Deklarasi Balfour ini kemudian dimasukkan ke dalam Perjanjian Damai Sevres pada 10 Agustus 1920 antara Ottoman Turki dan sekutu di pengujung Perang Dunia I. Inti dari perjanjian ini adalah pembagian wilayah milik Kekaisaran Turki Ottoman. Perjanjian ini sekaligus menandai keruntuhan Kekaisaran Ottoman Turki.
Saling Klaim dan Kekalahan Dunia Islam
Israel mengklaim Yerusalem, di mana Al Aqsa berada adalah milik leluhur mereka. Menurut Israel, masjid yang kerap menjadi sumber konflik tersebut dibangun di atas kuil Sulaiman dan mereka ingin membangunnya kembali. Yerusalem merupakan kota tua yang melintasi banyak peradaban besar dan bangsa Yahudi menjadi salah satu bangsa yang pernah tinggal di wilayah ini. Setelah melalui perdebatan sejarah antara Palestina dan Israel, UNESCO pada Oktober 2016 mengakui Masjid Al Aqsa sebagai peninggalan peradaban Islam. Hal ini sontak membuat Israel marah dan memperkuat cengkramannya atas masjid al-Aqsa dan Palestina secara umum.
Penindasan yang dilakukan oleh Israel terhadap rakyat palestina telah beberapa kali menyita perhatian dunia dan menggerakkan gelombang demonstrasi. Membuat kecaman di media sosial hingga turun ke jalan. Namun ironisnya, gelombang penolakan kebiadaban Israel yang begitu besar belum dapat memberikan jalan keluar bagi terciptanya perdamaian di Palestina. Fakta ini menunjukkan bahwa persatuan umat muslim diseluruh dunia masih rapuh dan kehilangan taringnya.
Hingga detik ini tidak ada sinyal dari negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang berjumlah 57 negara untuk menyelenggarakan pertemuan membahas situasi genting yang terjadi di Palestina. Tidak ada pesan yang jelas tentang status Palestina bagi negara yang tergabung dalam OKI. Tidak adanya persatuan yang kokoh dalam merespon segala permasalahan hanya akan memperburuk keadaan.
Dahulu Yerussalem yang termasuk di dalamnya masjid Al-Aqsa merupakan simbol kebesaran dan kedigdayaan Islam. Namun situasi saat ini sangat berbeda. Yerussalem adalah sumber duka dan kesedihan abadi. Manusia sekarang sangat menyedihkan. Banyak manusia sibuk menikmati kesedihan orang lain hingga ia lupa bahwa sesungguhnya dirinya sendiri tak kalah menyedihkan. Manusia sering salah meletakkan kesedihannya.
Beberapa dekade silam ada sebuah komitmen yang kuat untuk mempertahankan dan memperjuangkan tanah Palestina yaitu oleh Sultan Turki Utsmani, Sultan Abdul Hamid II. Ia pernah berkata, “Saya tidak akan melepaskan tanah Palestina, meski hanya sejengkal. Sebab tanah itu bukan milik saya namun milik umat, yang mereka dapatkan dengan perjuangan dan tetesan darah. simpanlah uang beliau, bila suatu hari khilafah hancur dan musnah, sesungguhnya kalian bisa mengambilnya tanpa sepeserpun uang yang kalian bayarkan untuk tanah itu. Namun, selagi hayat masih dikandung badan, lalu kalian tusukkan pisau ke jasad saya, sesungguhnya itu lebih mudah bagi saya, daripada saya harus menyaksikan Palestina terlepas dari khilafah Islam”. Kesadaran dan komitmen yang tinggi sangat dibutuhkan dalam memperjuangkan identitas suatu bangsa dan agama.
Jauh hari, Bangsa Indonesia sejak awal berdirinya sudah menentang keras penjajahan Israel di tanah Palestina. Melalui pernyataan Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno yang sangat terkenal, “Selama kemerdekaan Bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah Bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel.”. Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah juga telah mengambil sikap terkait konflik yang terjadi di Masjid Al-Aqsa melalui SK Nomor: 340/PER/I.0/J/2017 yang bertujuan untuk mendesak seluruh Organisasi dunia serta seluruh umat beragama untuk menggalang solidaritas politik, kemanusiaan, dan dukungan spiritual bagi perjuangan rakyat palestina.
Rasanya, hal yang paling masuk akal untuk mengakhiri konflik antara Palestina dan Israel adalah dengan mengikhlaskan Palestina jatuh ke tangan Israel. Karena negara-negara muslim tidak memiliki kekuatan tekan politik maupun militer yang besar untuk mendesak Amerika dan Israel menyudahi dominasinya di wilayah yang sekarang menjadi milik Israel.
Diko Ahmad Riza Primadi, Reporter Suara Muhammadiyah