Abdul Mu’ti, Sang Profesor “Telur Pecah”

Abdul Mu’ti, Sang Profesor “Telur Pecah”

Abdul Mu’ti terlahir dari keluarga petani, masa kecilnya tak pernah lepas dari aktivitas membantu orang tua dan kakeknya

Oleh: Sam Elqudsy

Jumat siang (07/08/2020), saat sedang berdiskusi hangat bersama saudara sepupunya di kampung, smartphone Mu’ti (panggilan akrab Abdul Mu’ti, Sekum PP Muhammadiyah) bergetar. Ada pesan singkat masuk. Setelah dibuka ternyata sebuah dokumen berbentuk pdf berisi softcopy SK pengangkatannya sebagai Profesor/ Guru Besar di UIN Syarif Hidayatullah.

Dalam surat Keputusan (SK) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 67176/MPK/KP/2020 tertanggal 4 Juli 2020, per 1 Juli 2020 Abdul Mu’ti diangkat sebagai Profesor/ Guru Besar dalam bidang ilmu Pendidikan Agama Islam dengan angka kredit sebesar 1.054,50.

Karena masih berdiskusi dengan saudara yang sudah lama tidak berjumpa, Mu’ti tidak menunjukkan ekspresi berlebihan. Softcopy SK tersebut disimpan saja dan tidak disebarkan secara luas. Namun insting publik memang lebih tajam daripada silet. Meskipun baru berupa SK dan belum ada informasi pengukuhan secara resmi, satu persatu kolega, tokoh, sahabat dan keluarga memberikan ucapan selamat atas pencapaian yang disebutnya sebagai “jauh melampaui cita-cita anak desa” itu.

Biografi Singkat Abdul Mu’ti

Abdul Mu’ti lahir di Kudus pada tanggal 2 September 1968. Putra pertama dari pasangan Djamjadi dan Kartinah ini menamatkan pendidikan dasar dan menengahnya di madrasah. Dimulai dari Madrasah Ibtidaiyah Manafiul Ulum (Kudus, 1980), Madrasah Tsanawiyah Negeri (Kudus, 1983), Madrasah Aliyah Negeri Purwodadi Filial di Kudus (Kudus, 1986).

Pendidikan tingginya ditempuh di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo (Semarang, 1991), Pembibitan Calon Dosen IAIN (Jakarta, 1992-1993), Flinders University of South Australia (Adelaide, 1997) dan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta, 2008).

Terlahir dari keluarga petani, masa kecil Mu’ti tak pernah lepas dari aktivitas membantu orang tua dan kakeknya. Bertani, berkebun dan beternak adalah salah satu aktivitas utama yang dilakukannya semasa kecil. Etos kerja dan semangat pantang menyerah sudah menjadi bagian dari karakter yang diwariskan oleh orang tuanya.

Profesor “Telur Pecah”

Selepas menamatkan jenjang pendidikan menengah di MAN Purwodadi filial di Kudus (sekarang menjadi MAN 1 Kudus) pada tahun 1986, Mu’ti memberanikan diri meminta ijin kuliah kepada orang tuanya.

Djamjadi ayahnya, hanya lulusan MTs, sementara Kartinah (ibunya) hanya lulusan SR (Sekolah Rakyat, setara SD). Meskipun demikian mereka memegang prinsip, kami boleh saja bodoh tetapi anak-anak kami harus pintar. Prinsip ini membuat mereka tak perlu pikir panjang memberikan ijin bagi putra sulungnya untuk mendaftar kuliah. Mu’ti diterima di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dan menamatkan pendidikan sarjana pada tahun 1991.

Sebagai mahasiswa pertama dari kampungnya, Mu’ti memikul beban berat. Gagal menyelesaikan studi berarti menutup masa depan anak kampung lainnya yang juga bermimpi menempuh pendidikan tinggi di universitas. Kegagalan akan menumbuhkan skeptisisme di kalangan orang tua, buat apa kuliah mahal-mahal toh akhirnya jadi petani atau kuli bangunan juga. Dua pekerjaan yang jamak dilakoni penduduk kampungnya.

Dengan kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan, perjalanan kuliahnya tak jarang menemui kendala. Untuk menekan biaya hidup di Semarang, setiap pulang dari kampung Mu’ti selalu membawa bekal makanan pokok. Dua bekal yang tak pernah ketinggalan adalah beras dan telur. Di tengah himpitan ekonomi masing-masing, bude dan pakleknya selalu membantu uang saku sebisa mereka.

Soal bekal telur ini ada cerita tersendiri. Budenya, Hj. Shofiyah adalah peternak ayam petelur. Sementara Ibunya, Kartinah berjualan sembako di pasar dengan salah satu dagangan utama telur yang diproduksi Hj. Shofiyah. Karena itu setiap kali berangkat Mu’ti selalu memperoleh bekal berupa telur, selain tentunya beras.

Entah karena perjalanan jauh atau karena memang telur yang dibawakan adalah telur yang sudah tidak layak jual karena retak. Sesampainya di kos, sebagian telur ini ada saja yang pecah. Karena masih berada dalam plastik dan tertutup rapat, meskipun pecah, telur itu masih bisa dikonsumsi.

Soal telur pecah ini selalu menjadi ledekan beberapa teman di tempat kos. Namun demikian Mu’ti menganggapnya sebagai gurauan saja. Sesampainya di kos, beras dan telur-telur pecah itu sesegera mungkin dimasak kemudian dimakan bersama-sama untuk makan malam oleh teman satu kos.

Harapan Keluarga Besar kepada Sang Profesor

Berita turunnya SK kenaikan pangkat sebagai Guru Besar diterima Mu’ti ketika berada di kampung halaman. Sebuah kebetulan yang sepertinya sudah diskenariokan oleh Allah. Menerima pengakuan atas kerja keras dan dedikasi sebagai dosen di tanah kelahiran, di tengah keluarga besar yang selalu mendorongnya untuk maju dan pantang menyerah.

Perjalanan Mu’ti menjadi Guru Besar tidaklah semudah dan sesederhana seperti apa yang nampak. Prosesnya sendiri sudah dimulai sejak tahun 2009 saat masih menjadi pengajar di UIN Walisongo Semarang namun terkendala perubahan regulasi. Akhirnya pada tahun 2019, di tengah segala kesibukan dan aktivitasnya sebagai Sekum PP Muhammadiyah dan Ketua BSNP periode 2019 – 2023, usulan kenaikan pangkat diajukan kembali dan baru pada bulan Agustus ini surat Keputusan kenaikan pangkatnya menjadi Guru Besar ditandatangani Mendikbud Nadiem Makarim.

Karena itu, kalimat pertama yang keluar setelah rasa syukur kepada Allah adalah ucapan terimakasih kepada Ibu dan keluarga (besar) di kampung. Tanpa dukungan mereka belum tentu Mu’ti berada di titik ini. “Mereka tidak tahu apa itu profesor, tapi mereka telah melahirkan seorang Profesor.” Adalah sebuah pernyataan yang menegaskan betapa besar peran keluarganya dalam perjalanan karir Mu’ti.

Saya, yang kebetulan turut hadir dalam tasyakuran kecil yang digelar di rumah orang tuanya sehari setelah SK beredar, merasakan sendiri betapa kebahagiaan itu tidak hanya dinikmati Mu’ti beserta istri dan putra-putrinya saja, tetapi oleh seluruh keluarga besarnya. Mereka berharap Dul, panggilan akrabnya di kampung, tetap menjadi pribadi yang hangat, sederhana dan apa adanya. Selamat, Prof!

Exit mobile version