Oleh : Wildan dan Nurcholid Umam Kurniawan
Kepemimpinan Spiritual dan Keadilan Sosial
”Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil” (QS Al-Maidah [5] : 8). “Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat-amanat kepada yang berhak menerimanya” (QS Al-Nisa’ [4] : 58).“Apakah engkau telah melihat orang yang mendustakan Hari Kemudian? Maka itu yang mendorong dengan keras anak yatim dan tidak menganjurkan memberi pangan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalat mereka, orang-orang yang berbuat riya, dan menghalangi (menolong dengan) barang berguna” (QS Al-Ma’un [107] : 1 – 7).
Menurut Shihab (2006), Kepemimpinan apa pun bentuk atau nama dan cirinya, dan ditinjau dari sudut pandang mana pun selalu harus berlandaskan kebajikan dan kemaslahatan, serta mengantar kepada kemajuan. Kepemimpinan, antara lain, harus menentukan arah, menciptakan peluang, dan melahirkan hal-hal baru melalui inovasi pemimpin yang kesemuanya menuntut kemampuan berinisiatif, kreativitas, dan dinamika berpikir.
Seorang pemimpin berbeda dengan seorang manajer. Pemimpin lebih peduli untuk mengerjakan untuk sesuatu yang benar (do the right thing), bersifat proaktif dan visioner, prediktif, menciptakan dan membentuk perubahan, melibatkan aktivitas baru yang relevan untuk kebutuhan dan kesempatan yang akan datang, serta mengerjakan sesuatu berdasarkan nilai-nilai etika dan tanggung jawab sosial. Karena seorang pemimpin diharapkan dapat tampil sebaik mungkin, dan karena itu pula semua potensi dan daya yang dimilikinya perlu dikembangkan.
Seorang manajer, antara lain, sangat peduli untuk mengerjakan sesuatu dengan benar (do thing right), bersifat reaktif dan responsif terhadap perubahan dan masalah yang dihadapinya. Karena itu, manajer melibatkan hal-hal yang sudah “mapan” sesuai aturan agar implementasinya efisien dan efektif.
Dalam pandangan Islam, setiap orang adalah pemimpin, paling tidak memimpin dirinya sendiri bersama apa yang berada di sekitarnya, sebagaimana sabda Nabi : “Setiap orang di antara kamu adalah pemimpin yang bertugas memelihara serta bertanggung jawab atas kepemimpinannya” (HR Bukhari dan Muslim, melalui Ibnu Umar). Semakin luas ruang lingkup yang dicakup oleh wewenang seseorang, semakin luas pula tanggung jawabnya semakin berat dan luas pula persyaratannya. Dari sini, lahir ungkapan yang menyatakan : “Kepemimpinan bukan keistimewaan, tetapi tanggung jawab, ia bukan fasilitas tetapi pengorbanan, ia juga bukan leha-leha tetapi kerja keras, sebagaimana ia bukan kesewenang-wenangan bertindak, tetapi kewenangan melayani. Kepemimpinan adalah keteladanan dan kepeloporan”.
Dalam konteks kepemimpinan spiritual sebagai pemimpin masyarakat, ada empat syarat pokok yang harus dipenuhi yaitu :
1) Ash-Shiddiq, yakni kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap, serta berjuang melaksanakan tugasnya.
2) Al-Amanah, atau kepercayaan, yang menjadikan dia memelihara sebaik-baiknya apa yang diserahkan kepadanya baik dari Tuhan maupun yang dipimpinnya sehingga tercipta rasa aman bagi semua pihak.
3) Al-Fathonah, yaitu kecerdasan yang melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul mendadak sekalipun.
4) At-Tabligh, yaitu penyampaian yang jujur dan bertanggung jawab atau dengan kata lain “keterbukaan”.
Bahwa kepemimpinan bukan sekedar kontrak sosial antara sang pemimpin dengan masyarakat, tetapi juga merupakan ikatan perjanjian antara sang pemimpin dengan Tuhan, atau dengan kata lain kepemimpinan adalah amanat dari masyarakat dan dari Tuhan. Kepemimpinan menuntut keadilan, karena keadilan adalah lawan dari penganiayaan. Keadilan harus dirasakan oleh semua pihak, baik kawan maupun lawan. Nabi menyatakan :”Hati-hatilah terhadap doa orang yang teraniaya, karena tiada tabir antara doanya dengan Tuhan Yang Maha Kuasa” (HR Muslim dari Mu’adz bin Jabal)
Menurut Haekal (2000), Umar sebagai Khalifah tidak sekedar kepala negara dan kepala pemerintahan, lebih-lebih dia sebagai pemimpin umat. Ia sangat dekat dengan rakyatnya, ia menempatkan diri sebagai salah seorang dari mereka, dan sangat prihatin terhadap kehidupan pribadi mereka. Keikhlasan Umar dan integritasnya mengabdi kepada Islam dan kepada umat, pribadinya yang sering disebut-sebut sebagai teladan karena ketegasannya, keadilannya yang benar-benar tanpa pilih bulu dan sikapnya yang sangat anti kolusi dan nepotisme. Semua itu dibuktikan dalam perbuatan.
Salah seorang anaknya sendiri, karena melakukan suatu pelanggaran dijatuhi hukum cambuk dan dipenjarakan, yang akhirnya mati dalam penjara. Menjelang kematiannya Umar menolak usul beberapa sahabat untuk mendudukkan anaknya yang seorang lagi, atau anggota keluarganya untuk dicalonkan duduk dalam majelis syura yang dibentuknya, yang berarti memungkinkan mereka menduduki jabatan khalifah penggantinya. Dimintanya jangan ada dari keluarga dan kerabatnya dicalonkan untuk jabatan itu. Umar tidak ingin mengangkat pejabat yang tidak mengenal amanat, tetapi karena hanya ambisinya ingin menduduki jabatan itu. Dia juga yang mempelopori setiap pejabat yang diangkat terlebih dahulu harus diperiksa kekayaan pribadinya, begitu juga sesudah selesai tugasnya.
Pemerintahan Umar sangat dicintai orang justru karena sifat kasih sayang dan pengabdiannya. Mereka melihat Khalifah sebagai ayah bagi kaum duafa – setiap orang yang lemah – bagi setiap anak yatim dan bagi setiap orang tak punya. Mereka mencintai Umar “Al-Faruq” karena sifat adilnya sudah menjadi naluri dan bawaannya, karena kecintaannya kepada kebebasan dan persamaan ia menempatkan diri sebagai orang lemah dan miskin.
“Jasmerah, Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”, demikan pesan Presiden RI pertama Soekarno. Sejarah menunjukkan VOC (Vereenigde Oost-Indisch Compagnie) atau Perusahaan Belanda Hindia Timur adalah perusahaan dagang yang dibentuk pemerintah Belanda di awal abad ke-17, perusahaan terbesar di dunia jadul (jaman dulu), hancur karena korupsi. Kerajaan besar di Nusantara, Sriwijaya dan Majapahit, juga hancur karena korupsi, bukan hancur karena musuh dari luar. Sang Proklamator RI dan Penggali Pancasila, Bung Karno (1901 – 1970), mengatakan bahwa tantangan yang dihadapi generasinya lebih mudah karena musuhnya jelas, penjajah Belanda.
Sedangkan tantangan yang dihadapi generasi sesudahnya, lebih berat karena musuh yang dihadapi bangsa sendiri yang melakukan kejahatan luar biasa (extraordinary crime), korupsi ! Buya Hamka (1908 – 1981), agar Pancasila mudah dipahami dan dilaksanakan, mengibaratkan Pancasila seperti uang 10.000, bahwa angka nol itu tidak bermakna meskipun berjumlah empat. Angka nol berjumlah empat baru punya makna karena ada angka satu didepannya. Artinya, jika orang Indonesia melaksanakan Sila Pertama ”Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan sungguh-sungguh, pasti dengan mudah melaksanakan dan mewujudkan Sila- Sila yang berikutnya.
Dengan kata lain, jika Sila Pertama “Keuangan Yang Maha Kuasa” pasti Sila Kelima “Keadilam Sosial bagi diri sendiri, keluarga dan para kroni !”. Maling berbuat jahat karena niat dan kesempatan. Sedangkan koruptor berbuat jahat karena ada niat, peluang dan kekuasaan !
Mestinya, perilakunya sebagai pemimpin : “ing ngarso sung tulada, ing madya mbangun karsa”dan“tut wuri handayani”, berubah jadi “ing ngarso mumpung kuasa, ing madya numpuk banda”dan“tut wuri hanggemboli” (duwit) !
Kekuasaan itu cenderung korup, dan semakin gede kekuasaannya semakin gedean pula korupsinya, power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely, demikan pendapat Lord Acton (1834 – 1902), seorang sejarawan, politikus dan penulis Inggris. Sabda Nabi : “Setiap anak Adam itu adalah pembikin kesalahan. Tapi sebaik-baiknya orang yang membikin kesalahan ialah yang bertobat” (HR Tirmidzi). Berbuat salah itu manusiawi. Mempertahankan kesalahan itu perbuatan iblis. Sudah tahu berbuat salah, tapi mengajak orang lain untuk ikut berbuat salah itu perbuatan setan ! Maka setan dapat berwujud jin atau manusia. Untung Nabi Ibrahim (1861 – 168l2 SM) telah meninggal dunia, andaikata beliau masih hidup para koruptor itu pasti dilempari batu ! Sampai mati.
Menurut Ilyas (2016), Nabi Musa (1426 -1316 SM) yang memiliki karakter keras, tegas dan terbuka, atas petunjuk Allah agar berguru kepada Nabi Khidir. Singkat cerita, “Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidir membunuhnya. Musa berkata : “Mengapa engkau membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya engkau telah melakukan suatu yang mungkar” (QS Al-Kahfi [18] : 74). Adapun jawaban Nabi Khidir : “Dan adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya)” (QS Al-Kahfi [18] : 80 -81).
Jika “mesin waktu” diputar ke jaman now, anak muda yang dibunuh Nabi Khidir adalah seorang psikopat, gangguan kepribadian, personality disorder. Mendiang Prof. Dr. dr. KPH Soejono Prawirohadikusumo Sp. S, Sp. KJ (K), Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa FK- (FKKMK) – UGM berpendapat : “Wong edan (gangguan psikotik) gampang obatnya, sedangkan wong ngedan (gangguan kepribadian) yang terbaik adalah terapi magna (besar), kursi listrik. Jadi koruptor obatnya kursi listrik, karena wong ngedan !”. Menurut Mahatma Mohandas Gandhi (1869 – 1948), bahwa dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tetapi tidak cukup untuk memenuhi keserakahan satu orang, the world has enough for everyone’s needs. but not everyone’s greed. Koruptor itu perilakunya PKI (Pokoke Kantong Isi), yang penting hidupnya senang, pleasure principle, tidak peduli orang lain hidup jadi miskin dan menderita gizi buruk dampaknya mati pelan-pelan. Maka, pelaksanaan hukumannya dimiskinkan dulu, baru dihukum mati !
Nasionalisme dalam Islam, tidak hanya mengibarkan Sang Merah Putih, tetapi juga diwujudkan dengan tidak melakukan kerusakan di muka bumi (QS Al-Baqarah [2] : 11), baik kerusakan tatanan hukum, kerusakan hubungan dengan sesama manusia maupun lingkungan alam serta kerusakan akhlak. Bahwa koruptor maupun bandar Narkoba tidak nasionalis, tidak punya rasa cinta kepada bangsa, negara dan tanah air Indonesia. Perang Candu yang terjadi tahun 1829 – 1842 dan 1856 -18l60; antara Dinasti Qing melawan Inggris dan Perancis karena kedua negara itu menyelundupkan candu (opium) dari India ke daratan Tiongkok. Akibatnya rakyat Tiongkok menjual barang berharga demi candu, para pencandu meningkat melemahkan rakyat Tiongkok. Maka dijatuhkan hukuman mati kepada para penyelundup candu lokal. Di Indonesia masa kini, pencandu Narkoba adalah generasi muda. Generasi muda masa depan bangsa Indonesia dijebak, dijerumuskan, dirusak menjadi penderita Gangguan Jiwa dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat (kode penyakit F1) dan dibunuh secara pelan-pelan akibat intoksikasi zat.
Jika berbicara tentang hidup, Tuhan menggunakan kosa kata Aku, artinya hanya Tuhanlah yang dapat memberi hidup. Ketika berbicara tentang kematian, Tuhan menggunakan kosa kata Kami. Maka Tuhan memberi perintah dilarang membunuh dan bunuh diri karena kedua tindakan itu menyebabkan kematian sebelum saatnya.
Hidup adalah hak semua orang tanpa kecuali. Tidak dapat dibenarkan hidup seseorang menyebabkan kematian orang lain, meskipun dilakukan secara perlahan-lahan. Koruptor dan bandar Narkoba membunuh banyak orang secara perlahan-lahan (slowly kill so many people). Hidup itu pilihan. Demi menyelamatkan sang ibu, apa boleh buat janin dalam kandungan digugurkan. Maka, demi menyelamatkan Ibu Pertiwi Indonesia, “janin” koruptor dan bandar Narkoba dalam “kandungan” Ibu Pertiwi Indonesia juga digugurkan sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Khidir.
Allah mengingatkan semua pihak yang bisa jadi teperdaya oleh kepandaian mereka. Sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang benar-benar perusak, tetapi mereka tidak menyadari (QS Al-Baraqah [2] : 11), keburukan mereka. Mereka tidak menyadari keburukan mereka sendiri karena setan telah memperdaya mereka dengan memperindah sesuatu yang buruk di mata mereka. Mereka benar-benar perusak, pengrusakan tersebut banyak dan berulang-ulang karena, kalau tidak, mereka tentu tidak dinamai perusak (Shihab, 2012).
Last but not least, tentang keutamaan Umar bin Khattab, Ali bin Abi Talib mengatakan kepadanya : “Demi Allah, aku telah menduga sebelumnya bahwa Allah akan menyatukanmu dengan kedua sahabatmu (yakni Rasulullah Saw. dan Abu Bakar Ra.). Seringkali aku mendengar Rusulullah Saw. bersabda : “ Aku bepergian bersama Abu Bakar dan Umar … aku masuk bersama Abu Bakar dan Umar … atau aku keluar bersama Abu Bakar dan Umar …” (Abdurrahman, 2012). Semoga di tahun Hijri yang baru ini, kita termasuk golongan yang berhijrah bersama mereka, kekasih-kekasih Allah, selamat menyambut rembulan Hijri di era pandemi.
Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul
Nurcholid Umam Kurniawan, Dokter Anak, Direktur Pelayanan Medik RS PKU Muhammadiyah Bantul dan Dosen FK-UAD