Oleh: Diko Ahmad Riza Primadi
Menjadi ulama perlu mempelajari segala hal dan sesuatu secara mendalam, demi menemukan kebijaksanaan. Karena puncak dari ilmu adalah kebijaksanaan. Ulama menuntut ilmu maka harus dipertanyakan status keulamaannya di tengah masyarakat yang majemuk. Semua orang setuju bahwa ulama memiliki peran sebagai pewaris para Nabi, bertugas mentransfer nilai-nilai keislaman yang sempurna kepada seluruh umat manusia di dunia. Lantas apakah ulama dapat disebut sebagai nabi? Tentu saja tidak, karena tugas kerasulan dan kenabian telah berakhir setelah diutusnya seorang Nabi dari bangsa Arab yang bernama Ahmad.
Ada yang mengibaratkan ulama sebagai tangan kanan Nabi atau Rasul. Dalam KBBI, tangan kanan berarti orang kepercayaan. Ulama adalah orang kepercayaan Nabi dan Rasul dalam mengemban nilai-nilai keislaman yang harus terus dijaga hingga berakhirnya kehidupan umat manusia. Pertanyaannya, apakah semua ulama merupakan orang kepercayaan Rasulullah? Apa saja kriteria orang yang dapat dipercaya? Tentu tidak semua orang yang mengaku atau mendapatkan lebel ulama dari masyarakat sepenuhnya dapat serta merta menjadikan dirinya ulama yang membawa dan membimbing umat kepada jalan kebenaran, kebaikan, kejayaan.
Mengacu kepada istilah “pewaris para nabi”, maka secara tidak langsung Rasulullah telah mengestafetkan tugas dan tanggungjawabnya kepada ulama. Meneruskan tugas kenabian. Bagaimanapun tugas kenabian tidak boleh berhenti walaupun nabi telah tiada di atas muka bumi. Menjaga kemurnian ajaran serta melakukan misi-misi pembaharuan di tengah tantangan-tantangan zaman yang kian berkembang.
Nurcholish Madjid atau yang akrab disapa Cak Nur dalam sebuah kesempatan pernah mengungkapkan bahwa pemikiran yang dibawa oleh KH Ahmad Dahlan bersifat melampaui dan melompati zaman. Menghadirkan Islam yang membaharu sebagai wujud dari rahmatan lil alamin. Namun tidak jarang di antara ulama-ulama kita saat ini yang masih terjebak di dalam wilayah purifikasi (pemurnian) dan revitalisme Islam.
Kenyataannya sekarang, tidak lagi kita temukan ulama yang bisa membuat pesawat terbang, tidak lagi kita lihat ulama yang mampu menemukan sebuah penemuan baru. Yang banyak kita jumpai adalah ulama yang menjadi politisi, pejabat, anggota dewan, pengurus partai politik dan sejenisnya. Hal tersebut tidak salah. Ini merupakan langkah yang bisa dibilang liberal.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sesungguhnya ulama’ memiliki peran yang sangat besar dan strategis di dalam sistem keumatan. Menjadi alarm penggerak perubahan. Tidaklah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak manusia. Akhlak tidak bisa dibentuk hanya dengan omongan, ceramah, pengajian, tapi juga harus diiringi dengan keteladanan, aksi nyata, mengamalkan seluruh nilai-nilai kemuliaan. Kalian tidak akan tersesat untuk selama-lamanya jika kalian berpegang kepada dua pusaka, al-Qur’an dan as-Sunnah.
Ulama merupakan otoritas keilmuan dalam Islam. Menguasai teks dan konteks kehidupan dengan sempurna. Menjadi rujukan utama, saat umat kebingungan menghadapi problematika kehidupan yang bergerak dinamis dan cepat. Ulama adalah telaga di tengah gurun pasir tandus. Menyegarkan dahaga orang-orang yang berpergian menemui Tuhannya. Dunia tidak lain hanyalah tempat persinggahan sementara, tidak lama.
Diko Ahmad Riza Primadi, Alumni Pondok Modern Gontor dan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)