Sejarah Ketuhanan Yang Maha Esa
Oleh Hajriyanto Y. Thohari
Judul ini bisa misleading dengan judul buku Karen Armstrong Sejarah Tuhan (aslinya A History of God). Tulisan ini alih-alih membahas sejarah pencarian manusia akan Tuhan, melainkan hanya membicarakan sejarah kata, atau tepatnya, frase Ketuhanan Yang Maha Esa. Kata ini penting dan sentral sekali bagi kita bangsa Indonesia karena merupakan Sila Pertama dari dasar negara kita Pancasila. Begitu penting dan sentralnya Sila Pertama ini sampai Mohammad Hatta, salah seorang dari dua Proklamator kemerdekaan Indonesia, menyatakan sebagai sila yang memimpin empat sila-sila yang lainnya.
Frase Ketuhanan Yang Maha Esa itu sendiri sebenarnya baru kita miliki pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu ketika Mohammad Hatta dibantu oleh Kasman Singodimedjo dan Teuku Mohammad Hasan melobi Ki Bagus Hadikusumo (tiga nama terakhir ini semuanya pimpinan Muhammadiyah) untuk mencoret Tujuh Kata dalam Mukaddimah Piagam Jakarta “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Keempat tokoh penting bangsa itu kemudian “bersepakat” mencoret Tujuh Kata tersebut dan menggantinya dengan Yang Maha Esa sehingga akhirnya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Mulai saat itulah frase “Ketuhanan Yang Maha Esa” lahir dan menjadi sangat populer dan familier dengan bangsa Indonesia. Saking sedemikian populernya sampai ketika disingkat dengan Tuhan Y.M.E. saja orang Indonesia dipastikan sudah tahu apa kepanjangannya. Boleh dijamin frase ini tidak begitu familier dengan bangsa-bangsa lain manapun di dunia ini. Orang Amerika cukup hanya menyebut Tuhan (God) saja seperti yang tertulis pada mata uang dolar yang perkasanya bukan main itu: “In God we trust”. Bangsa Amerika menyebut God saja tanpa kualifikasi God yang seperti apa. Walhasil, kata Ketuhanan Yang Maha Esa itu dalam perkembangannya menjadi khas Indonesia.
Tidak seperti yang diduga oleh banyak orang, kata Tuhan tidak pernah digunakan oleh orang Jawa dalam Bahasa Jawa. Orang Jawa sebagai bagian terbesar dari rakyat Indonesia, misalnya, menyebut Tuhan lebih sering dengan menggunakan kata Gusti Allah, Pangeran Ingkang Maha Kuwaos, Pangerang Ingkang Murbeng Dumadi, atau Gusti Ingkang Akaryo Jagad. Kata Tuhan sebelumnya tidak akrab dengan orang Jawa. Kecuali ketika belakangan mereka berbicara dalam Bahasa Indonesia.
Maka mungkin ada benarnya ketika orang mengatakan kata-kata dalam frase Ketuhanan Yang Maha Esa itu berasal dari bahasa Sansekerta (Sanskrit), sebuah bahasa liturgis dalam Hinduisme dan Budhisme. Memang kalau dipisah-pisahkan masing-masing kata (Tuhan, Yang, Maha, Esa) dalam frase ini sudah ada sejak zaman dulu kala. Tetapi sebagai satu kesatuan dan sekaligus tata tulisnya yang seperti itu adalah baru. Pasalnya, dulu ada yang menuliskannya dengan Ketuhanan Yang Mahaesa, di mana kata Maha dan Esa ditulis dalam satu kata.
Bung Karno sendiri sebagai penggali Pancasila pada awalnya tidak menggunakan frase Ketuhanan Yang Maha Esa, melainkan Ketuhanan saja. Dalam pidatonya di depan Sidang BPUKI tanggal 1 Juni 1945 yang sangat historis dan monumental itu Bung Karno hanya menggunakan kata Ketuhanan, atau Ketuhanan yang berkebudayaan. Padahal Bung Karno di luar itu lebih sering menyebut Tuhan dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala seperti lazimnya orang Islam.
Demikian juga halnya dengan Mohammad Yamin. Kalau benar Yamin berpidato dalam BPUKPI untuk menjawab pertanyaan ketua dr. Radjiman Widyodiningrat “Apa dasar dari negara Indonesia”, maka rumusan Pancasila versi Yamin adalah Peri-ketuhanan. Sementara rumusan dalam UUDS 1950 dan UUD RIS kita dapati bunyinya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa juga.
Paling konsisten
Barangkali orang yang paling konsisten menggunakan frase itu secara lengkap dan sempurna dalam hampir semua pidato dan tulisannya adalah Mohammad Hatta, Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia. Lihat saja pidato-pidato dan tulisan-tulisan Hatta: dia selalu menyebut Ketuhanan Yang Maha Esa secara lengkap dan sempurna. Malah sebagai seorang Muslim yang sangat saleh dan taat, tampaknya, dia jarang sekali mengucapkan nama Tuhan sebagaimana lazimnya di kalangan umat Islam, yaitu Allah atau Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
RM. A.B. Kuesuma, seorang tokoh senior yang penguasaanya atas sejarah UUD 1945 sangat ensiklopedis itu, dalam suatu obrolan santai di Lemkaji MPR RI, pernah mengatakan bahwa Hatta itu kalau pidato, berbeda dengan Bung Karno, jarang menyebut kata Allah atau Allah Subhanahu Wa Ta’ala, melainkan lebih sering Tuhan Yang Maha Esa. Wallahu a’lam.
Konsistensi Hatta ini mungkin karena dialah yang paling gigih dan bersusah payah melahirkan frase Ketuhanan Yang Maha Esa itu. Kita tentu ingat bahwa Hatta lah yang melobi Ki Bagus Hadikusumo, dan malah saking merasa beratnya dia sampai harus meminta bantuan Kasman Singodimedjo dan Teuku Muhammad Hasan sebagaimana tersebut di atas. Berkat bantuan Kasman dan Teuku Hasan yang mempunyai hubungan personal sangat dekat dengan Ki Bagus, Hatta berhasil mencoret Tujuh Kata tersebut, dan lahirlah frase Ketuhanan Yang Maha Esa itu.
Dalam konteks dan perspektif ini bolehlah dikatakan bahwa Hatta adalah Bapak paham Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai orang yang memperjuangkan paham Ketuhanan Yang Maha Esa, Hatta merasa sangat bertanggung jawab untuk memberikan isi dan arti dari rumusan tersebut. Sependek bacaan saya atas buku-buku para pemikir kebangsaan, saya tidak ragu sedikit pun untuk mengatakan bahwa Hatta lah orang yang paling banyak menulis tentang Ketuhanan Yang Maha Esa. Hatta adalah satu-satunya orang yang paling banyak berbicara tentang arti, isi, dan konsekuensi-konsekuensi dari kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa! Setelah Hatta orang kedua yang paling banyak menulis tentang Tuhan Yang Maha Esa mungkin sekali adalah Dr. Nurcholish Madjid dan Prof. Syafi’i Maarif.
Tetapi berbeda dengan Cak Nur dan Buya Syafi’i, sebagai orang yang sejak awal berpaham bahwa urusan agama harus dipisahkan dari urusan negara, Hatta tampaknya juga membedakan penekanan ketika bicara tentang Ketuhanan Yang Maha Esa di tengah-tengah umat Islam yang homogen dengan ketika Hatta berbicara tentang Ketuhanan Yang Maha Esa untuk audiens yang heterogen. Pada audiens yang pertama Hatta menekankan pengertian Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai ajaran Tauhid, seraya beliau merujuk ke al-Quran terutama surat Al-Fatihah, ayat kursi dan Surat al-Ikhlas.
Beda penekanan saja
Sekadar sebagai sampel perhatikan saja ceramah Hatta pada peringatan Nuzul Al-Quran di masjid Matraman (Mohammad Hatta, Nuzul Qur’an, Penerbit “Angkasa”, Bandung, 1966) dan bandingkan dengan pidato Hatta di Universitas Indonesia (Hatta, Menuju Negara Hukum, dan juga Pancasila Jalan Lurus). Ketika berbicara pada audiens yang pertama Hatta memberikan penekanan tentang Tuhan Yang Maha Esa Hatta dengan sepenuhnya mendasarkannya pada ajaran Tauhid dalam Islam. Di sini Hatta membahas Tuhan Yang Maha Esa selalu berdasarkan Tauhid dengan mengutip surah Al-fatihah, ayat Kursiy, dan Surat Al-ikhlas. Tak heran jika Prof. Ahmad Syafii Maarif pernah mengatakan bahwa paham Ketuhanan Yang Maha Esa Hatta yang seperti itu tidak mungkin lahir kalau bukan karena keyakinannya tentang Tauhid.
Adapun ketika berpidato pada audiens yang kedua, Hatta lebih banyak menekankan pada konsekuensi dan implikasi kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa secara social dan politik. Atau dengn kata lain, ketika berbicara pada audiens kedua, Hatta lebih menekankan bahwa pengakuan kepada Tuhan Yang Maha Esa harus punya kelanjutan dan implikasi sosial. Berikut ini adalah pidato Hatta di Universitas Indonesia dalam untaian kalimat Hatta yang sangat indah dan puitis:
Pengakuan itu mewajibkan manusia di dalam hidupnya membela kebenaran, dengan kelanjutannya: menentang segala yang dusta.
Pengakuan itu mewajibkan manusia di dalam hidupnya membela keadilan, dengan kelanjutannya: menentang kedzaliman.
Pengakuan itu mewajibkan manusia di dalam hidupnya berbuat yang baik, dengan kelanjutannya: memperbaiki kesalahan.
Pengakuan itu mewajibkan manusia di dalam hidupnya bersifat jujur, dengan kelanjutannya: membasmi kecurangan.
Pengakuan itu mewajibkan manusia di dalam hidupnya berlaku suci, dengan kelanjutannya: menentang segala yang kotor, perbuatan maupun keadaan.
Pengakuan itu mewajibkan manusia di dalam hidupnya menikmati keindahan, dengan kelanjutannya: melenyapkan segala yang buruk… Lebih jauh dari itu memperkuat karakter, melahirkan manusia yang mempunyai rasa tanggung jawab.
Demikianlah sekadar contoh sebagai sampel saja.
Pada akhirnya, pemahaman Hatta mengenai kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa beserta segala konsekuensi, implikasi, dan kelanjutannya semestinya diimplementasikan oleh mereka yang menganut kepercayaan tersebut. Sehingga jelaslah bahwa bagi Mohammad Hatta kepercayaan itu harus dimanifestasikan dalam perbuatan nyata.
Membaca banyak buku-buku Hatta maka semakin dalam kita menyelami alam pikirannya. Semakin menyelami pikiran Hatta kita semakin tahu bahwa dia memang betul-betul orang yang konsisten dengan pahamnya sejak awal tentang hubungan agama dan negara. Malah bukan hanya konsisten, melainkan juga canggih sekali!
Hajriyanto Y. Thohari, Dubes Indonesia untuk Lebanon