Cristoffer Veron Purnomo
Bangsa ini sesungguhnya memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah. Pada waktu yang sama, bangsa ini juga di anugerahi oleh Tuhan berupa lahirnya para intelektual yang memiliki peran dan jawatan relevan bagi kemajuan bangsa. Banyak sekali intelektual dilahirkan di negeri ini. Para intelektual ini terlahir dari background keluarga yang bermajemuk.
Salah satunya intelektual yang sangat kondang di negeri ini ialah Prof. Dr. H. Haedar Nashir, M.Si. Siapa yang tak kenal dengan sosok yang satu ini. Figure yang dilahirkan di Bandung, 25 Februari 1958 ini sudah tidak syak lagi di kalangan internal Muhammadiyah.
Salah satu orang terpenting di negeri ini yang parasnya telah tersebar di seluruh persada tanah air Indonesia, bahkan dikenal pula di luar negeri. Beliau ini sering bersolek religion, sederhana, dan tidak terlalu mencolok dalam menghadiri berbagai agenda di dalam maupun di luar negeri.
Menurut perspektif saya pribadi, Haedar Nashir ini termasuk salah satu tokoh yang eksentrik ditemukan di Indonesia. Beliau dalam kehidupannya tidak pernah terlepas dari hal yang bernama tulis-menulis. Haedar Nashir telah memiliki banyak buku yang telah tersebar di seluruh Indonesia. Buku-buku tersebut bersifat Islami, kebangsaan, Ke-Muhammadiyah, dan sosial yang paling dominan diterbitkan di Suara Muhammadiyah, karena ditempat inilah beliau menjabat—selain menjadi ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah—sebagai ketua redaksi sekaligus penulis tetap di rubrik “Bingkai” halaman 14-15 yang terbit setiap dua bulan sekali.
Penulis pribadi sangat menikmati alur dari penyajian tulisan beliau. Banyak sekali kata-kata baru, wawasan baru, sekaligus pelbagai hal mengenai Muhammadiyah dan bangsa ini yang banyak belum diketahui oleh generasi milenial. Melalui rubrik “Bingkai” inilah pemikiran beliau mengenai ‘Islam dan Indonesia Berkemajuan’ digelorakan karena keduanya memiliki peran yang sangat fundamental bagi kemajuan sebuah bangsa kedepanya.
Perlu Anda diketahui, bahwa penyajian tulisan beliau sangatlah segar, ditambah pula dengan menukil nash-nash Al-Qur’an dan AS-Sunnah sebagai penguat dari dasar tulisannya agar tetap kokoh dan tidak sumir. Banyak orang yang mengkritik Haedar Nashir, “Apakah tidak lelah dan jemu dengan menulis setiap hari?” Jawaban beliau sungguh luar biasa. Menulis mampu menjernihkan sekaligus mencerahkan pikiranya agar tetap fresh.
Kita harusnya merasa jengah dengan Haedar Nashir. Hal ini karena dalam jam terbang yang tinggi, beliau masih sempat membuat buku sekaligus menulis dengan yang sangat berbobot, sedangkan kita hanya termenung di dalam rumah, bermain game, bersenda gurau, dan melakukan aktivitas yang tidak bermanfaat. Kita harus menggelorakan spirit menulis di era urgen ini khususnya bagi generasi milenial agar kedepanya akan lahir para penulis yang mampu memberikan pencerahan bagi masyarakat luas.
Gemar Menulis
Dari sisi Haedar Nashir sendiri, kita bisa menginferensi bahwa dengan beredarnya tulisan-tulisan beliau di pelbagai media online maupun cetak, ia mengajak kepada generasi milenial untuk menggelorakan budaya menulis. Ini adalah salah satu budaya yang sangat langka ditemukan di kalangan generasi milenial. Memang generasi milenial ini terlahir dalam belenggu kemajuan teknologi.
Ini yang menjadikan generasi milenial semakin malas untuk mengejawantahkan menulis. Ia telah dimanjakan dengan kecanggihan teknologi seperti handphone. Alat telekomunikasi ini hampir dimiliki oleh generasi milenial, khususnya di metropolitan. Semua sudah memiliki dan telah berbasis android yang semakin mudah untuk di isi dengan konten-konten yang sangat menarik. Salah satunya adalah game mobile legend (ML) dan Playerunknown’s Battlegrounds (PUBG). Kedua game ini telah merangsang dengan melekat dalam otak dan jati diri generasi milenial. Tentunya masih banyak lagi game-game yang menarik dan membuat munculnya sifat malas (lazy).
Kita seyogyanya harus bisa ‘melek diri’ bahwa banyak kegiatan yang lebih bermanfaat selain bermain game. Namun begitu, saya juga tidak melarang untuk bermain game, tetapi perlu dilihat porsinya. Tidak ada gunanya jika bermain game secara terus-menerus. Isilah kegiatan yang berfaedah lainnya, salah satunya dengan menulis.
Menulis akan menjadikan diri kita lebih terbuka pola pemikirannya. Sangat jauh berbeda sekali dengan orang yang tidak pernah menulis. Dilihat dari olah berbicara dan bahasanya saja sudah terlihat secara kentara.
Selain itu, menulis juga memiliki manfaat yang luar biasa. Efbertias Sitorus dalam buku Kita Menulis: Merdeka Menulis menerangkan secara komprehensif manfaat dari implementasi menulis. Diantaranya: membantu dalam menambah rasa percaya diri, melatih ketajaman untuk berkonsentrasi, menambah wawasan, dan memiliki kemampuan berkomunikasi.
Telah kita saksikan bersama manfaat dari menulis. Sejatinya masih banyak lagi manfaat dari menulis. Sebagai penulis pemula, saya juga masih belajar. Belajar dari awal hingga hari tuan anti untuk terus mengasah ketajaman menulis. Tidak penting baik atau buruk tulisan itu, yang terpenting memiliki kemanfaatan bagi masyarakat.
Banyak generasi milenial yang masih ragu dan bingung bagaimana merekonstruksi spirit menulis. Saya pribadi mulai mengenal dunia menulis dari guru MTs saya yakni Bapak Andy Firzandy, S.Ag. Beliau menulis secarik tulisan di media Risalah Jum’at Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY.
Saya merasa tertarik untuk bisa menulis berawal dari tulisan beliau. Saya belajar dan berkonsultasi dengan beliau bagaimana cara menulis dengan baik. Beliau hanya mengarahkan untuk terbiasa membaca. Kunci utamanya hanya ada disini. Memang banyak penulis kondang yang memiliki kunci untuk bisa menulis. Namun, yang paling dominan adalah dengan membaca.
Saya akui betul bahwa membaca itu tidak mudah. Tantangan terberat saat membaca adalah mudah mengantuk. Inilah belenggu terberat yang masih sulit untuk dilepaskan dalam tubuh saya. Saya kira apa yang saya rasakan ini hampir dirasakan oleh seluruh insan pemula yang ingin memulai sebagai seorang penulis.
Tapi, jika niat sudah membaja, niscaya kemauan untuk menulis itu akan tergerakkan. Niat tidak bisa tergoyahkan dengan apapun. Dalam bingkai Islam, Rasulullah Muhammad SAW pernah mengatakan dalam sebuah hadits.
إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ
Artinya: “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Memang budaya menulis ini telah dijelaskan di dalam sumber primer ajaran Islam, Al-Qur’an dan As-Sunnah.
….وَلۡيَكۡتُب بَّيۡنَكُمۡ كَاتِبُۢ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَلَا يَأۡبَ كَاتِبٌ أَن يَكۡتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُۚ فَلۡيَكۡتُبۡ…. ٢٨٢
Artinya: “Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis”. (QS. Al-Baqarah [2]: 282).
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata,
مَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدٌ أَكْثَرَ حَدِيثًا عَنْهُ مِنِّي، إِلَّا مَا كَانَ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍوفَإِنَّهُ كَانَ يَكْتُبُ وَلاَ أَكْتُبُ
Artinya: “Tidak ada seorang pun dari shahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang paling banyak (meriwayatkan) hadits dari Beliau (Shallallahu ‘Alaihi Wasallam) selain aku, kecuali dari Abdullah bin Amr, karena ia dahulu menulis, sedangkan aku tidak menulis”. (HR. Bukhari).
Ayat Al-Qur’an dan hadits tersebut memberikan stimulus bagi kita untuk mengimplementasikan budaya menulis, selain budaya membaca (baca: QS. Al-Alaq [96]: 01-05). Jadi tidak ada dalih lagi untuk tidak memulai menulis. Tulislah apapun yang terdapat dalam benak diri Anda. Mungkin, Haedar Nashir awal mulanya tidak bisa menulis. Setelah dia belajar cukup ekstra dan rajin, sekarang dia telah menjadi seorang penulis kondang dan tulisannya banyak tersebar di berbagai koran-koran nasional seperti Kompas, Republika, The Jakarta Post, Jawa Pos, Pikiran Rakyat, Sindo, Kedaulatan Rakyat, dan lainnya.
Tidak Instan
Haedar Nashir tidak serta merta langsung bisa menjadi seorang penulis. Dalam sejarahnya sebagaimana yang dijelaskan melalui akun instagramnya @haedarnashirofficial bahwa kegiatan menulis beliau dimulai sejak mahasiswa. Kegiatan kuliahnya di sisipi dengan menulis opini ringan untuk rubik di media massa Yogyakarta dan Ibukota Jakarta.
Tatkala tulisan itu dikirim ke kedua media massa yang berada di dua wilayah tersebut, beliau mengaku sering ditolak oleh redaktur. Kasus ini sama dengan saya tatkala mengirimkan tulisan di media massa. Spirit dan kegigihan beliau tak pernah pudar untuk dapat menulis sekaligus dapat dimuat di media massa. Dengan kedua spirit dan kegigihan yang tinggi inilah, satu dua tulisan mulai dimuat di media massa.
Jadi, kita bisa menyimpulkan bahwa menulis itu tidak instan. Butuh perjuangan dan kesabaran yang luar biasa. Proses yang sangat panjang nan berliku-liku menjadi tantangan terberat dan terbesar bagi para penulis pemula. Kisah Haedar Nashir ini menjadi cerminan bagi kita semua bahwa menulis itu tidaklah mudah. Namun, tatkala kita sering mengasahnya setiap hari, lambat laun semakin tajam, laksana seuntai pisau.
Selain perjuangan yang besar dan sifat kesabaran yang tinggi dalam mengaktualisasikan jati diri menjadi seorang penulis, terdapat strategi yang dapat ditempuh. Walaupun terlihatnya mudah, tapi sangat sulit kalau kita tidak menjadikannya sebagai way of life (pedoman hidup). Penulis pernah membaca dalam sebuah artikel di website anakpanah.id yang ditulis oleh Abdur Rauf, S.Thi., M.Ag bahwa ada strategi yang dapat ditempuh untuk menjadi seorang penulis atau menstimulasi spirit dalam menulis.
Salah satunya, Terus Menulis. Menulis itu bukan soal bakat. Tapi, menulis adalah soal kesadaran dan kemauan. Bakat itu bukan suatu keahlian yang muncul sejak lahir, tapi bakat itu adalah kesabaran dan ketekunan yang lama. Itulah yang selalu dipesankan dosen saya dulu saat memotivasi mahasiswanya di kelas. Jadi, kita tak perlu mengeluh soal bakat. Semua orang berbakat, asal ia mau bersabar dan tekun melakoni apa yang ia impikan itu.
Strategi ini yang ditulis oleh Abdur Rauf, S.Thi., M.Ag sekaligus guru saya tatkala menempuh pendidikan di jenjang SMK menjadi fondasi saya untuk terus menulis. Demikian pula nasihat Haedar Nashir yang berkorelasi dengan strategi yang digelorakkan oleh Abdur Rauf, S.Thi., M.Ag tersebut. Beliau berpesan dengan menggunakan spirit dari aforisme (peribahasa), “Berakit-rakit ke hulu, berenang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Senang yang positif dan bermakna tentu saja. Menulis itu tidak mudah. Maka teruslah dan mencobalah menulis. Jangan banyak berteori. Praktikkan saja. Lama kelamaan juga terbiasa”.
Dari sini, saya mencoba memetik dan mengaplikasikan pesan beliau dan dua strategi yang ditulis oleh dosen UAD Yogyakarta tersebut. Saya mencobanya secara bertahap. Memang tidak langsung bisa. Saya pernah mencoba menulis dan mengirimkannya di berbagai koran lokal bahkan nasional. Dari saya duduk dibangku kelas XI hingga saya mentamatkan pendidikan, baru satu tulisan yang bisa dimuat. Saya girangnya bukan main, sebab itu merupakan perjuangan yang cukup berdarah-darah laksana memperebutkan kemerdekaan.
Memang untuk bisa menulis itu saya mengakuinya membutuhkan proses dan pergumulan yang sangat panjang dan berat sehingga bisa menciptakan sebuah tulisan yang baik dan bermakna. Tantangan menulis era digital sekarang sangatlah berat. Sebab telah banyak para penulis yang produktif dan piawai dalam menulis. Apalagi tulisan yang disajikan itu sangat berbobot dan sarat mengandung kebutuhan masyarakat.
Karenanya, dalam sebuah kesempatan seorang sastrawan kondang Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) pernah berpetuah, “Menulislah, karena tanpa menulis engkau akan hilang dari pusaran sejarah”. Ternyata menulis itu sangat relevan bagi kehidupan. Menulis menjadi keniscayaan bagi kemajuan diri kita. Kemajuan berpikir dan kemajuan cakrawala pengetahuan. Jadi, hingga saat ini saya pun masih terus belajar untuk menulis mengikuti jejak Haedar Nashir.
Inilah kepeloporan yang dapat dipetik dari kepribadian Haedar Nashir. Asa beliau menginginkan kapal besar Indonesia ini bisa menjadi negeri yang berkemajuan dan mencerahkan semesta. Koridor yang ditempuh untuk mengaktualisasikannya ialah dengan menulis. Jadi, mulailah menulis sekarang juga. Yakinlah, bahwa suatu saat nanti tulisan yang Anda buat pasti akan berguna bagi nusa dan bangsa. []
Cristoffer Veron Purnomo, Alumnus SMK Muhammadiyah 1 Kota Yogyakarta Tahun Ajaran 2019/2020, Menulis di Risalah Jum’at Majelis Tabligh PWM D.I.Yogyakarta, dan Penulis Buku “Menuju Hidup Sukses”.