Talqin Dan Mursyid Menurut Tarjih

Talqin

Foto Dok Ilustrasi

Talqin Dan Mursyid Menurut Tarjih

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr.wb.

Saya mau meminta kejelasan terkait dua persoalan berikut;

  1. Apakah setiap kita harus mentalkim (membaca syahadat) ulang meskipun kita di keluarga Islam sejak kecil?
  2. Apakah kita harus mempunyai orang tua rohaniyah (mursid pembimbing) untuk menuju kepada Allah swt?

Mohon penjelasannya.

Wassalamu ‘alaikum wr.wb.

(disidangkan pada Jum‘at, 16 Zulkaidah 1440 H / 19 Juli 2019 M)

Jawaban;

Wa ‘alaikumus-salam wr.wb.

Talqin

Terima kasih atas pertanyaan saudara. Terkait pertanyaan pertama, sepertinya yang saudara penanya maksudkan adalah talqin bukan talkim. Istilah talqin telah diserap ke dalam Bahasa Indonesia, dengan kata talkin. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan, talkin adalah membisikkan (menyebutkan) kalimat syahadat dekat orang yang hendak meninggal atau (dalam bentuk doa) untuk mayat yang baru dikuburkan.

Perlu diketahui bahwa pada dasarnya talkin tidaklah berarti membaca syahadat. Secara kebahasaan, di dalam al-Mu‘jam al-Wasith disebutkan bahwa talkinberarti mendiktekan atau membimbing seseorang untuk mengucapkan sesuatu. Jadi isi dari talkin bisa kalimat apa saja di waktu kapan saja. Namun di dalam syariah Islam, sebagaimana penjelasan Imam an-Nawawi, istilah talkin secara spesifik berarti membimbing seseorang yang sekarat untuk bersyahadat. Hal ini didasarkan atas tuntunan Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri;

لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ [رواه مسلم].

Talkinlah seorang yang sekarat di antara kamu dengan kalimat “La ilaha illallah” (HR. Muslim)

Dari hadis tersebut, dapat dipahami bahwa seorang yang terlahir di dalam kelaurga muslim sekalipun diperintahkan untuk ditalkin apabila sedang sekarat. Jika yang dimaksud dalam pertanyaan saudara adalah talkin kala sekarat, maka hal itu ada dasarnya di dalam hadis dan para ulama menyatakan hukumnya sunah bahkan ada yang mewajibkannya.

Istilah talkin juga digunakan oleh kelompok-kelompok Islam tertentu dimana seorang anggota baru yang ingin bergabung dengan kelompok tersebut harus mengulangi syahadatnya dengan dibimbing (ditalkin) oleh seorang imam atau mursyid. Ketentuan ini juga berlaku bagi calon anggota yang sebenarnya telah berstatus sebagai muslim.

Talkin seperti ini tidak ada dasarnya di dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah al-Maqbulah. Seseorang yang diwajibkan bersyahadat untuk menunjukkan keislamannya hanyalah seorang kafir yang masuk Islam, sebagaimana disebutkan di dalam pesan Rasulullah saw kepada Mu‘adz bin Jabal ketika ia hendak diutus ke Yaman,

إِنَّكَ تَأْتِى قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوكَ لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ [رواه البخاري ومسلم].

Sesungguhnya engkau akan mendatangi sekelompok kaum ahli kitab. Karena itu, ajaklah mereka untuk bersyahadat laa ilaaha illallah dan bahwa aku utusan Allah. Jika mereka menerimamu dengan ajakan itu, ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat 5 waktu dalam sehari semalam [H.R. al-Bukhari dan Muslim].

Dari hadis tersebut bisa dipahami bahwa dengan mengucapkan syahadat seorang telah menjadi Muslim sehingga wajib atasnya melaksanakan rukun-rukun Islam yang lain. Namun bila ia telah terlahir dari keluarga Muslim, lalu sejak kecil ia telah mempercayai dan mempelajari agama Islam serta mengamalkan rukun-rukunnya, maka ia tidak perlu lagi mengucapkan syahadat di hadapan seorang imam, atau disaksikan oleh masyarakat umum. Sebab ia telah mengucapkannya berkali-kali, setidaknya ketika salat. Lagipula, setiap anak pada hakikatnya terlahir dalam fitrah keislaman, sebab mereka telah bersyahadat sebelum dilahirkan ke dunia. Ia tetap dianggap Muslim hingga ia mengucapkan atau melakukan sesuatu yang membatalkan keislamannya. Allah swt berfirman,

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ [الأعراف، 7: 172].

(Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini [Q.S. al-A‘raf (7): 172].

Hal ini dipertegas lagi oleh hadis riwayat Muslim berikut,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: كُلُّ إِنْسَانٍ تَلِدُهُ أُمُّهُ عَلَى الْفِطْرَةِ، وَأَبَوَاهُ بَعْدُ يُهَوِّدَانِهِ، وَيُنَصِّرَانِهِ، وَيُمَجِّسَانِهِ، فَإِنْ كَانَا مُسْلِمَيْنِ، فَمُسْلِمٌ [رواه مسلم].

Dari Abu Hurairah (diriwayatkan) bahwa Rasulullah Saw bersabda, setiap anak manusia dilahirkan ibunya di dalam keadaan fitrah. Lalu setelah itu, kedua orang tuanyalah yang mendidiknya menjadi Yahudi, Nasrani, dan Majusi. Apabila kedua orang tuanya Muslim, maka dia (anak itu) pun Muslim [H.R. Muslim].

Di dalam hadis yang lain disebutkan,

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا وَاسْتَقْبَلَ قِبْلَتَنَا، وَأَكَلَ ذَبِيحَتَنَا فَذَلِكَ المُسْلِمُ الَّذِي لَهُ ذِمَّةُ اللهِ وَذِمَّةُ رَسُولِهِ، فَلاَ تُخْفِرُوا اللهَ فِي ذِمَّتِهِ [رواه البخاري].

Dari Anas bin Malik (diriwayatkan), ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, barangsiapa yang salat seperti salat kami, (salat) menghadap ke kiblat kami, memakan sembelihan kami, maka mereka itu termasuk muslim yang berhak atas perjanjian keamanan dari Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah kalian khianati perjanjian Allah tersebut [H.R. al-Bukhari].

Amalan-amalan yang disebutkan di dalam hadis di atas adalah syiar-syiar Islam yang paling tampak dan menjadi pembeda seorang muslim dengan pemeluk agama lainnya. Tentu saja ia harus menjalankan amalan-amalan tersebut disertai keimanan yang penuh kepada keenam rukun iman serta menjalankan rukun-rukun Islam. Apabila ia telah melaksanakan hal itu, maka tidak perlu lagi ia mengucap syahadat dengan ditalkin untuk membuktikan keislamannya. Hal ini juga tampak di dalam sirah; ada beberapa sahabat yang lahir dan beranjak balig semasa Rasulullah saw masih hidup, seperti Ibnu Abbas atau Ibnu Umar. Namun tidak ada riwayat yang menujukkan bahwa para sahabat tersebut mengucap ulang syahadatnya di hadapan Rasulullah saw atau disaksikan masyarakat umum ketika mereka telah balig.

Mursyid

Adapun jawaban pertanyaan kedua, mursyid secara bahasa berarti seseorang yang membimbing kepada petunjuk (irsyad). Sebagian umat Islam, semisal kaum sufi, memang menekankan perlunya seorang mursyid untuk membimbing seorang murid sufi untuk mencapai tujuan-tujuan tasawuf seperti kedekatan pada Allah. Namun demikian, perlu diingat bahwa pada hakikatnya, hanyalah keimanan, ketakwaan dan ketaatan pada syariat yang bisa mengantarkan manusia untuk bisa dekat dengan Allah, sebagaimana disebutkan di dalam firman-Nya,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ [البقرة، 2: 186].

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran [QS. al-Baqarah (2): 186].

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوْٓا اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِيْ سَبِيْلِه لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ [المآئدة، 5: 35].

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung [QS. al-Maidah (5): 35].

Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan dari Qatadah bahwa makna mencari wasilah kepada Allah di dalam ayat di atas adalah mendekatkan diri dengan menaati serta mengerjakan amal-amal yang diridhai-Nya.  

Tentu saja untuk bisa mematuhi perintah Allah dan mengimaninya dengan benar diperlukan adanya ilmu dan proses pendidikan. Dalam konteks inilah seseorang membutuhkan pembimbing yang mengajarinya syariat dan tauhid yang benar. Oleh karena itu di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah ada banyak perintah untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu agama. Di antaranya adalah firman Allah dalam surah Ali Imran berikut,

كُوْنُوْا رَبَّانِيّنَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُوْنَ الْكِتٰبَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُوْنَ [آل عمران، 3: 79].

Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah (Rabbaniyin), karena kamu mengajarkan kitab dan karena kamu mempelajarinya. [QS. Ali Imran [3]: 79].

Imam al-Bukhari menukil penjelasan Ibnu Abbas bahwa makna rabbaniyun pada ayat ini adalah mereka yang dengan telaten membimbing manusia mempelajari ilmu agama dengan bertahap.

عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ [رواه البخاري].

Dari Ustman bin Affan r.a. (diriwayatkan), bahwa Rasulullah saw bersabda, sebaik-baik kalian adalah yang belajar al-Quran dan mengajarkannya [H.R. al-Bukhari].

Al-Bukhari menyebutkan dua potongan hadis ini di awal bab yang diberinya judul, “Bab Ilmu Sebelum Perkataan dan Perbuatan”,

مَن يُرِدِ اللهُ بهِ خيْراً يُفَقهْهُ في الدينِ وَإِنَّمَا العِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ.

Bila Allah hendak memberikan kebaikan kepada seseorang, maka Dia membuatnya memahami agama dan sungguh ilmu (agama) diperoleh dengan mempelajarinya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa jika yang dimaksud seorang mursyid adalah guru yang mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah, serta membimbing kita mengamalkannya, maka tentu kita membutuhkannya. Namun peran guru tersebut sebatas sebagai pengajar dan pembimbing. Oleh karena itu, peran guru ini bisa dilakukan oleh siapa saja yang memiliki kapasitas keilmuan serta integritas layaknya seorang ulama, atau melalui institusi pendidikan agama seperti pesantren dan sejenisnya. Oleh karena itu, tidak layak mengultuskan seorang guru hingga berlebih-lebihan menghormati dan menganggapnya sebagai jalan satu-satunya menuju Allah. Kedekatan seseorang dengan Allah adalah hasil iman dan amal salihnya. Ia bisa mendekatkan diri kepada Allah dengan mengamalkan ilmu yang diperoleh dari gurunya, bukan karena keistimewaan tertentu yang ada pada diri sang guru.

Wallahu a‘lam bish-shawab

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 2 Tahun 2020

Exit mobile version