Macan ora bakal mangan gogore (Induk harimau tak mungkin memakan anaknya sendiri). Pepatah Jawa ini menegaskan bahwa sebuas-buasnya hewan, ia tak akan mungkin menghancurkan anak yang dilahirkannya. Tak mungkin memakannya, tak mungkin menelantarkannya, tak mungkin membuang apalagi menyiksanya.
Sebaliknya, walau hewan tersebut memiliki sifat yang buas, pemangsa, tapi sentuhan lembut justru ia bawakan manakala bersanding dengan anaknya. Penuh perhatian, penuh pengawasan, dan menjaganya dari berbagai bahaya dan ancaman.
Perangai hewan di atas layaknya gambaran akan aktualisasi QS At-Tahrim ayat 6 versi binatang. Qu anfusakum wa ahlikum naara, lindungilah diri dan keluargamu dari siksa neraka. Mereka yang tak sesempurna manusia pun mampu mengamalkan dengan baik ayat ini. Lalu bagaimana dengan makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna dalam mengamalkan ayat di atas?
Kasus penganiayaan terhadap anak penyandang disabilitas oleh kedua orangtuanya sendiri di Galur, Kulonprogo, DIY sungguh menyayat hati. Selain di pukul, anak diperlukan dengan sangat tidak manusiawi. Diikat di kandang kambing dan diberimakan layaknya hewan. Kejam dan keji sekali.
Kasus ini bukanlah yang pertama. Pemasungan terhadap anggota keluarga yang berkebutuhan khusus dan berkebutuhan berbeda sudah sering viral dan diangkat di berbagai media. Tapi lagi-lagi, kasus serupa muncul dan ada lagi. Pedih dan sedih mendengarnya.
Salah satu kasus paling heboh dan viral adalah gadis kecil bernama Angeline di Bali. Ia disiksa oleh ibu tirinya hingga meregang nyawa.
Kembali pada kasus penyandang disabilitas. Di kehidupan masyarakat mereka sering dipandang beda, tidak normal, dan diremehkan. Sebagian lagi menjadikannya sebagai bahan lelucon dan sering ditanggap untuk dijadikan bahan hiburan. Rendah sekali harga diri manusia disabilitas ini.
Apalagi oleh teman sebaya, mereka lebih sering dijadikan bahan ejekan. Dihina, dimaki, dibentak, bahkan beberapa sering dikasari secara fisik. Fisik dan mental mereka yang beda menjadikannya jurang pemisah dirinya dengan lingkungan sekitar.
Dari banyaknya peristiwa miris seputar penganiayaan terhadap penyandang disabilitas. Penulis menyimpulkan bahwa para pelaku belum memiliki kesamaan pemahaman terhadap disabilitas. Sebagian melihatnya sebagai penyakit dan aib yang wajib dijauhi dan ditutupi. Maka itulah yang melatarbelakangi masyarakat mengucilkannya. Itu sebab mengapa keluarga terutama orangtua mengurung dan terjerumus dalam sampai melakukan aniaya.
Merujuk pada KBBI, mereka yang berbeda disebut dengan sebutan difabel (penyandang cacat). Namun pengertian ini mendapat ralat dari banyak pihak dan muncul istilah disabilitas (orang berkebutuhan berbeda). Penulis tidak akan memperdebatkan soal kedua istilah ini. Paling penting adalah menyamakan persepsi. Bahwa mereka adalah bagian dari makhluk, sesama manusia, yang mesti dihargai dan diterima apa adanya. Diterima secara utuh dan dimanusiakan.
Memanusiakan manusia adalah salah satu misi dakwah Nabi Muhammad periode Makkah. Ayat Makkiyah banyak berbicara tetang Tauhid, meng-Esa-kan Tuhan. Itu artinya manusia hanya dituntut untuk menyembah Allah dan mendudukkan selain Tuhan sebagai makhluk, dimana tugas sesama makhluk adalah saling hormat dan menghargai. Jika belum bisa menghormati dan menghargai makhluk lain, maka ketauhidannya perlu dipertanyakan.
Ingatkah pembaca tetang kisah pelacur yang dijanjikan masuk surga karena menolong seekor anjing yang kehausan? Ingatkah pembaca cerita tentang ahli ibadah yang dijanjikan masuk neraka karena sengaja mengurung kucing hingga mati? Ingat, semua itu baru ulah manusia terhadap hewan. Bagaima jika terhadap sesama manusia?
Gerakan Al-Ma’un yang disuarakan KHA Dahlan pendiri Muhammadiyah juga dalam rangka misi memanusiakan manusia. Maka memuliakan mereka yang disabilitas adalah bagian dari aktualisasi dari ajaran Al-Maun tersebut.
Terakhir, mari samakan persepsi bahwa penyandang disabilitas juga memiliki hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Mereka bagian dari makhluk Tuhan. Tuhan pun telah memutuskan bahwa makhluk terbaik bukanlah mereka yang sempurna fisik, tapi yang paling bertakwa. Ciri utama orang bertakwa adalah yang keberadaanya bermanfaat bagi makhluk lain.
Mereka yang beda punya hak untuk berbuat baik dan bermanfaat bagi orang lain. Dan yang normal pun demikian. Maka saling memberi kesempatan agar masing-masing bisa menjadi manusia bertakwa, manusia yang bermanfaat adalah hal yang mesti dilakukan.
Yang memiliki teman penyandang disabilitas mestinya membantunya untuk maraih sukses. Orangtua yang memiliki anak disabel pun demikian. Kesabaran dan keikhlasan mesti selalu dikedepankan. Hanya persoalan cara mendidik dan mengasuh yang berbeda. Sampai saatnya nanti orangtua akan memahami polanya. Dan tidak usah malu, sebaliknya justru bangga atas karunia unik yang diberikan Tuhan.
Semoga kasus kekerasan terhadap mereka penyandang disabilitas semakin berkurang dan tidak terulang kembali. (gsh).