Catatan-Catatan (tentang) Pak Malik
Oleh : Lutfi Effendi
Mungkin tulisan ini agak terlambat, sudah banyak tulisan tentang Pak Malik dari berbagai narasumber dengan berbagai sudut pandang, tetapi belum ada tulisan mengenai apa yang disampaikan Pak Malik pada penulis saat kesempatan wawancara atau ketemu dan sekedar say Hallo. Apa yang disampaikan ini, biasanya di luar konteks wawancara ataupun juga karena keterbatasan halaman tidak saya tulis dalam tulisan yang penulis buat pada majalah Suara Muhammadiyah.
Tulisan ini sengaja penulis beri judul Catatan-catatan (tentang) Pak Malik, karena tidak hanya berisi Catatan tentang Pak Malik dari penulis, tetapi juga berisi Catatan Pak Malik yang disampaikan kepada penulis. Hampir tiap tahun penulis bicara dengan Pak Malik, entah wawancara maupun sekedar say Hallo ketika ketemu Pak Malik.
Hanya memang tahun ini belum sempat ketemu apalagi berbicara mengingat kesehatan Pak Malik terus menurun sejak terjatuh di kamar mandi saat di rumah Malang dan terakhir dirawat di RS Mayapada Jakarta hingga meninggal 7 September 2020 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata 8 September 2020. Terakhir berbicara dengan Pak Malik tanggal 2 November 2019.
Pak Malik, lengkapnya Prof Drs H Abdul Malik Fadjar MSc, memang ceplas-ceplos jika berbicara, apalagi ketika penulis wawancarai. “Aku iki memang ceplas-ceplos,” demikian pengakuannya pada penulis saat berbicara dengan penulis tahun lalu. Ceplas-ceplos adalah bicara apa adanya, tidak ada yang disembuniyikan. Bahasa Jawa yang lain. Ora tedeng aling-aling (tidak ada yang ditutupi).
Pembicaraan di luar konteks dan kadang di dalam konteks, biasanya tentang Suara Muhammadiyah. Pak Malik ternyata selalu baca Suara Muhammadiyah. Jika ada perkembangan baik, selalu ia acungi jempol, baik itu isi maupun penampilan. Tentu kalau ini, penulis cukup menyampaikan terima kasih. Tetapi jika yang disampaikan sebuah kritik, terutama pada isi majalah, tentu penulis harus menjawab dan terjadi diskusi tentang hal ini. Ini pun penulis tetap berterima kasih atas masukan-masukannya.
Tidak banyak orang-orang tua yang mempunyai perhatian lebih untuk kemajuan Suara Muhammadiyah seperti Pak Malik ini. Satu orang lain yang penulis kenal mempunyai perhatian dengan Suara Muhammadiyah adalah Pak Syamsuhadi Irsyad juga telah alamarhum terakhir sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Pak Syamsu biasa khotbah Jumat dengan membawa Majalah Suara Muhammadiyah. Penulis harap penerus beliau-beliau bisa meneruskan perhatiannya kepada Suara Muhammadiyah.
Catatan yang disampaikan terakhir oleh Pak Malik kepada penulis tentang Suara Muhammadiyah adalah Rubrik Tanya Jawab Agama. “Tulisan kok tentang wudhu dengan air satu gayung, bolehkah air aqua untuk wudlu, mbok tulisan itu yang mencerahkan,” kritiknya pada Suara Muhammadiyah, sambil meneruskan “tayamum saja boleh kok” . Ketika saya samapaikan itu jawaban Majelis Tarjih terhadap pertanyaan umat, ia menyampaikan agar Majelis Tarjih menberikan jawabanj-jawaban kepada pertanyaan umat yang bisa mencerahkan umat saja. Baginya, Suara Muhammadiyah agar hanya berisi tulisan-tulisan yang dapat mencerahkan umat saja, termasuk jawaban pertanyaan dari Majelis Tarjih dan Tajdid.
Pak Malik selalu berusaha mendorong Muhammadiyah untuk bisa mendirikan perguruan tinggi di pelosok-pelosok Nusantara agar pendidikan tinggi yang dikecap masyarakat bisa merata. “Saya senang, di Sorong, di Maumere ada perguruan tinggi Muhammadiyah, semuanya sempat saya datangi,” katanya. Bahkan ia sempat marah-marah pada Dikti ketika enggan memberi rekomendasi berdirinya perguruan tinggi Muhammadiyah di Sorong. Menurutnya, kalau ada ide baik itu perlu didorong jangan malah dihambat. Ia juga mendorong berdirinya Unisa (Universitas Aisyiyah) yang didirikan Aisyiyah.
Tentang Unisa ini, sebetulnya Pak Malik menginginkan Unisa ini sebagai perguruan tinggi khusus perempuan. Ide mendirikan perguruan tinggi perempuan ini, menurut Pak Malik, pernah disampaikan di Kongres Muhammadiyah/Aisyiyah oleh Prof Kahar Muzakir. “Bahkan saat itu Pak Kahar telah menyiapkan namanya Universitas Umul Mukminin,” jelas Pak Malik. Entah kapan keinginan Pak Kahar dan Pak Malik ini bisa terealisir.
Catatan penulis, paling tidak ada 7 perguruan tinggi internasional yang khusus perempuan. Perguruan Tinggi itu antara lain: Mount Holyoke College dan Simmons University Amerika Serikat, Ewha Womans University Korea Selatan, Princess Nourah bint Abdul Rahman University Arab Saudi, Kobe College Jepang, SNDT Women’s University India, dan China Women’s University China.
Dua orang ini, Prof Kahar dan Prof Malik, boleh dikata sebagai penerus Kiai Dahlan dalam pembaruan di bidang pendidikan. Tidak hanya untuk Muhammadiyah saja tetapi untuk umat Islam dan Indonesia, Prof Kahar merupakan pendiri Sekolah Tinggi Islam sekaligus Rektor pertama, Sekolah Tinggi yang didirikan sebulan sebelum Indonesia merdeka ini kemudian bermetamorphosa menjadi Universitas Islam Indonesia dan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Prof Malik ketika menjadi Mendiknas membenahi birokrasi sehingga Mutu Pendidikan Swasta bisa bersaing dengan perguruan negeri dan bahkan bisa melebihi. Ia juga yang mendorong IAIN menjadi UIN. Pada saat itu, ia menjadi Mendiknas. Ia menandatangani SKB bersama Menteri Agama untuk bisa mengubah IAIN menjadi UIN yang embrionya IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Karenanya, Pak Malik menginginkan Muhammadiyah selalu di depan di bidang pendidikan. Biarkan mereka yang di bawah berkreasi dan berinovatif untuk mengelola pendidikan Muhammadiyah yang unggul dan mendahului lainnya. “Jangan dibelenggu dengan birokrasi,” kata Pak Malik. “Pemerintah saja sudah mulai melonggarkan birokrasi, kok Muhammadiyah malah akan birokratis,” lanjutnya agar Muhammadiyah unggul di bidang pendidikan dan tidak mengekor yang lain.
Pak Malik sempat merasakan unggulnya sentuhan pendidikan Muhammadiyah. Bagaimana sentuhan-sentuhan pendidikan SD Muhammadiyah Suranatan ia rasakan hingga sampai tua. Sentuhan-sentuhannya mencerahkan. Ia berniat mengumpulkan anak-anak muda yang peduli pendidikan untuk memukirkan pendidikan di masa-masa mendatang.
Baginya pendidikan anak-anak bukan untuk saat ini, tetapi untuk bekal kehidupan masa mendatang dengan tantangan-tantangan yang mungkin berbeda dengan kehidupan saat ini. Anak-anak muda yang ia sebutkan, di antaranya Abdullah Mukti dan Muarif. Entah niat mengumpulkan itu sudah terlaksana atau belum, semua itu Pak Malik lakukan karena ia peduli dengan pendidikan Muhammadiyah yang harus di depan mendahului yang lain, termasuk sekolah atau perguruan negeri.
Lutfi Effendi, Redaktur Suara Muhammadiyah