Hukum Menyusui (5): Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 233
وَالْوَالِدٰتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِۖ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَۚ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَاۚ لَا تُضَآرَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖۚ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَۗ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَاۗ وَإِنْ أَرَدْتُّمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوْآ أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآأٰءَاتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوْآ أَنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ ٢٣٣
Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan, dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan ahli waris berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (233)
Di awal ayat ditegaskan bahwa yang paling berhak dan dibebankan untuk menyusukan bayi adalah ibu kandungnya. Namun dalam keadaan tertentu, mungkin ibu tidak bisa melaksanakan kewajibannya karena sakit, meninggal, hamil, atau menikah lagi. Maka dalam kondisi seperti ini, penyusuan bayi boleh diserahkan kepada orang lain dengan membayar upah yang patut, dan tentunya setelah dimusyawarahkan dan disepakati. Memang di sini tidak ditegaskan tentang keridaan dan musyawarah secara jelas seperti dalam soal menyapih bayi sebelum dua tahun karena hal itu sudah dipahami. Kalau persoalan menyapih sebelum dua tahun saja harus didasarkan kepada keridaan dan musyawarah apalagi yang lebih besar dari itu, yaitu soal anak yang akan disusukan oleh orang lain.
Persoalan pilihan menyusukan anak kepada orang lain, bukanlah persoalan yang kecil. Tetapi merupakan persoalan yang besar dan harus dipertimbangkan matang-matang. Hal ini karena penyusuan pada usia nol sampai dua tahun itu akan membawa pengaruh besar terhadap pertumbuhan fisik, psikis, perilaku dan spiritual anak, dan juga menyebabkan timbulnya hubungan mahram yang disebabkan penyusuan (Q.S. al-Nisa [4]: 23). Karena itu, hal ini hanya dilakukan dalam keadaan terpaksa dan harus diteliti betul keadaan ibu yang akan menyusukan itu. Baik dari segi kesehatan, adab, akhlak dan ketaatannya. Sehingga anak tidak disusui oleh seorang ibu yang penyakitan, atau tidak punya adab yang baik, atau tidak taat menjalankan agama. Hal ini tentu akan berpengaruh buruk terhadap anak dan masa depannya.
Terkait dengan persoalan anak yang disusukan kepada wanita lain, Muhammad Rasyid Ridha menukil kisah yang diceritakan oleh seorang ahli sejarah tentang seorang ulama besar, ayah dari Imam al-Haramain yang sangat terkenal, bernama Abu Muhammad al-Juwaini. Beliau bekerja sebagai penyalin kitab berbagai ilmu pengetahuan, dan mendapat upah dari pekerjaan itu. Upah itu dikumpulkannya, dan kemudian dia beli seorang budak perempuan yang baik perilakunya, salehah dan taat. Budak itu diperistrinya, kemudian hamil. Anak yang dikandungnya itu adalah Imam al-Haramain. Abu Muhammad senang sekali dengan kehamilan istrinya ini. Ia didik istrinya dengan pendidikan yang baik dan diberinya makanan yang halal. Setelah anak yang dikandungnya lahir, maka Abu Muhammad berpesan kepada istrinya agar jangan sampai ada seorang perempuan lain yang menyusukan anaknya.
Sekali waktu, ketika Abu Muhammad masuk menemui istrinya, dia dapati istrinya sedang sakit dan bayinya menangis kehausan. Di dekat istrinya, ada seorang tetangga wanita yang menyusui bayi itu sedikit karena kasihan melihatnya menangis. Ketika Abu Muhammad melihat itu, ia tidak senang, lalu diambilnya bayinya itu, dibalikkan kepalanya ke bawah, dikoreknya mulut bayinya dengan tangannya sampai muntah-muntah sehingga air susu yang diisapnya tadi keluar semuanya. Setelah itu beliau berkata, “Lebih mudah bagi saya menerima anak ini meninggal di waktu kecil, dari pada rusak perilakunya karena meminum air susu perempuan lain. Anak itulah yang kemudian dikenal dengan nama Imam al-Haramain Abdul Malik al-Juwaini. Sekali waktu ketika beliau mengajar, beliau pernah marah-marah. Setelah reda marahnya, beliau berkata,“Barangkali ini adalah akibat dari sisa air susu perempuan lain yang tidak sempat aku muntahkan”(Ibid., hlm. 417).
Hal yang harus diingat adalah bahwa air susu itu berasal dari darah yang menyusukan, yang akan mempengaruhi pertumbuhan fisik dan akal dan perilaku bayi yang disusukan. Karena itulah Abu Muhammad tidak senang anaknya disusui oleh orang lain yang dia tidak begitu mengenalnya. Kalau terhadap air susu orang lain saja sudah begitu sikap yang dicontohkan, apalagi terhadap susu hewan yang banyak diminum oleh para bayi kita sekarang. Sedangkan susu hewan itu hanya dipersiapkan untuk keperluan bayi-bayi hewan.
Setelah menjelaskan tentang pentingnya menyusui dan berbagai aturan yang terkait, maka diujung ayat ini Allah mengingatkan agar aturan itu dipatuhi. Allah berfirman,
وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوْآ أَنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Hendaknya seorang muslim takut kepada Allah, mematuhi dan melaksanakan segala aturan yang telah ditetapkan-Nya. Karena di setiap perintah Allah terdapat hikmah dan manfaat yang besar. Seorang muslim juga harus meyakini bahwa Allah Maha Melihat semua yang ia lakukan baik dalam persoalan menyusui ini ataupun persoalan lainnya. Allah menghitung semua amal perbuatan manusia dan akan memberikan balasannya. Apabila seseorang menunaikan hak anak dengan sungguh-sungguh, saling musyawarah dan saling rida, maka anak-anak itu akan menjadi cahaya mata, penyenang hati di dunia, dan akan menjadi penyebab mendapatkan pahala dari Allah di akhirat.
Dengan bimbingan dan pengajaran Allah yang luar biasa ini, seharusnya kaum muslimin merasa beruntung. Karena tidak ada agama yang memberikan bimbingan kehidupan seperti yang diberikan oleh Islam. Agama Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Oleh karena itu, umat Islam semestinya dapat menjadi pionir untuk melaksanakan aturan dalam hal penyusuan dan pendidikan anak dibandingkan penganut agama lain. Menyusui dan mendidik anak adalah fitrah yang diberikan kepada setiap orang tua. Karena itu, orang tua yang tidak mau melakukannya berarti melawan fitrahnya sendiri dan melanggar aturan agamanya.
Peringatan yang tegas dari Allah di ujung ayat ini diharapkan akan menyadarkan semua kaum muslimin dan mendorong mereka untuk menjadi hamba-hamba yang taat menjalankan perintah-Nya. Sehingga tidak ada lagi orang tua muslim yang mengganti air susu ibu dengan susu sapi dan menyerahkan pengasuhan anaknya kepada baby sitter. Seorang muslim hendaknya ingat dan sadar betul bahwa anak adalah masa depan, aset di dunia dan akhirat yang harus dipelihara dengan baik dan dipersiapkan dengan matang. Selesai.
Tafsir Tahliliy ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
dengan naskah awal disusun oleh Dr. Isnawati Rais, MA.
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 13 Tahun 2018