YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Peristiwa pembakaran Al-Qur’an oleh oknum tertentu yang terjadi di Swedia dan Norwegia beberapa waktu lalu cukup membuat emosi umat Islam seluruh dunia. Muhammadiyah, ormas Islam besar di Indonesia, pun ikut bersuara mengecam kejadian tersebut.
Dalam pengajian umum yang diselenggarakan Jumat (11/9, PP Muhammadiyah mengangkat tema terkait dengan Islam dan Islamophobia di Eropa. Abdul Mu’ti selaku Sekretaris Umum PP Muhammadiyah mengungkapkan bahwa peristiwa Yang terjadi di Swedia dan Norwegia memang mengagetkan kita. “Pertanyaan yang justru muncul ialah mengapa bisa terjadi seperti itu,” ujarnya.
Melihat peristiwa ini, Abdul Mu’ti menjelaskan, setidaknya ada 3 perkembangan yang menarik untuk dijadikan perspektif dalam dinamika pemahaman keagamaan Islam di Barat. Pertama terkait dengan peristiwa 9/11, peristiwa yang membuat umat Islam menjadi sorotan dan tertuduh sebagai dalang dibaliknya. Hal ini tentu akan menimbulkan relasi yang kurang baik antara umat Islam dan Barat yang mana ialah non muslim.
Namun, menurut Abdul Mu’ti, survei menyebutkan bahwa tingkat kesadaran akan beragama di Barat masih cukup tinggi, meskipun bukan pemeluk agama yang teguh dan taat. Tingkat kehadiran masyarakat ke gereja di negara Swedia dan Norwegia memang sangat rendah. Namun, Islam di Eropa sendiri mengalami perkembangan yang sangat signifikan.
Muslim di Eropa kebanyakan merupakan imigran sehingga bukan penduduk asli. Konflik di Eropa antara penduduk asli dan imigran ini juga mengarah pada perlawanan terhadap kaum Muslim di Eropa.
Jumlah kaum Muslim yang kian banyak di Eropa membuat pemerintah negara-negara di Eropa perlu mempertimbangkan kebijakan yang berkaitan dengan Muslim, dan tentu saja warga Eropa sebagai penduduk asli merasa terintimidasi.
“Persaingan ini menjadi semakin kompleks, meskipun persoalan ini tidak bisa kita lihat secara linear semata-mata karena masalah agama. Dimensi politik, ekonomi, dan rasial juga tinggi. Sehingga rasisme dan islamophobia menjadi kian terlihat. Dalam hal ini situasi Islamophobia tidak bisa kita lepaskan dari persoalan global,” ujar Abdul Mu’ti.
Terkait dengan perkembangan Islam di Eropa sebagaimana yang disampaikan Abdul Mu’ti, Arif Oegroseno, Duta Besar RI untuk Jerman, memperkuat fakta tersebut dengan data. Ia memaparkan data hasil survei bahwa pertumbuhan umat Islam di Eropa memang cukup tinggi. Bahkan ia juga memprediksikan bahwa akan meningkat kembali disebabkan imigran yang datang dari Timur Tengah akibat konflik di Suriah dan Yaman. Pemerintah Jerman, dalam hal ini, memang memiliki kebijakan yang memungkinkan imigran akibat konflik kemanusiaan bisa masuk ke negara Jerman untuk mencari perlindungan.
Nilai-nilai hidup dan pemahaman yang berbeda
Dalam pemaparannya, Arif juga memaparkan hal mendasar mengapa di Eropa itu kesannya ialah Islam and Europe bukan European Islam. Nilai-nilai hidup Eropa dianggap tidak sama dengan nilai-nilai Islam. Seperti nilai-nilai demokrasi, rasionalitas yang tinggi, didukung dengan era revolusi industri yang subur di Eropa sehingga membuat munculnya modernitas.
“Oleh karena itu secara psikologis, Islam dinilai sebagai satu hal yang Alien (red: asing). Menganggap Islam itu bukan milik mereka. Makanya kondisinya itu masih Islam and Europe, yaitu masih menganggap dua hal ini terpisah,” jelasnya.
Hal ini senada dengan komentar Ai Fatimah Nur Fuad, Wakil Dekan FAI UAD, yang mengungkapkan bahwa memang masyarakat Eropa terkenal dengan negara-negara yang modern, demokrasi yang sangat kuat, dan pengetahuan yang berkembang sangat pesat.
Kondisi ini, menurut Ai Fatimah, akan menyebabkan agama tidak lagi menjadi solusi permasalahan hidup masyarakat karena mereka menganggap solusi bisa didapatkan dengan ilmu pengetahuan saja. Dalam hal ini, Ai Fatimah juga sepakat dengan pernyataan Abdul Mu’ti terkait masyarakat Eropa yang sedikit untuk pergi ke gereja. Ia menjelaskan ada pendapat yang mengungkapkan bahwa, “Hal-hal yang sifatnya moralitas, suci, sakral, sudah tidak lagi dipandang penting oleh masyarakat industri”.
Namun di sisi lain, Ai Fatimah juga mengatakan bahwa agama di Eropa masih ternilai penting, hanya saja agama yang dipahami dan dipraktikkan oleh orang Eropa mengalami pergeseran makna, mengarah pada hal yang sifatnya privat bukan publik. Sehingga agama dinilai sebagai urusan privat bukan urusan publik.
Pemahaman soal Islam yang salah juga sebenarnya menjadi alasan mengapa Islamophobia subur di Eropa. Masih banyak yang menganggap bahwa Islam itu Arab, Islam itu radikal, dan Islam itu Timur Tengah. Sehingga banyak yang menganggap Islam tidak sesuai dengan modernisme, tidak sesuai dengan demokrasi, dan tidak sesuai dengan HAM.
Hal lain yang menyebabkan munculnya Islamopobhia di Eropa, menurut Arif, ialah adanya trauma. Baik itu perihal trauma terhadap invasi kaum Muslim terhadap bangsa Mongol terutama di Portugal dan Spanyol, maupun trauma terhadap aksi terorisme yang mengatasnamakan Muslim.
Peran media, politisi Eropa terkait Islamopobhia
Arif dalam paparannya juga menyebutkan bahwa media juga punya peran dalam menciptakan Islamophobia, baik itu media mainstream atau media sosial. Selain itu ada juga peran partai politik di negara-negara Eropa yang sengaja menggunakan narasi penolakan terhadap Islam sebagai tagline mereka, dan peran pemerintah dalam artian kebijakan yang tidak ramah terhadap kaum Muslim.
Hal yang sama juga dipaparkan oleh Muhammad Najib yang merupakan pakar politik. Ia mengungkapkan bahwa sentimen-sentimen rasisme di Eropa bisa memengaruhi masyarakat ialah dikarenakan fenomena penggunaan sosial media yang terus meningkat sejak 20 tahun terakhir.
“Sehingga komunikasi di antara masyarakat menengah, bawah, dan atas itu hampir tanpa filter. Ini tentu saja menimbulkan emosi-emosi yang tidak terkendali” ungkapnya. Menurutnya, masalah rasisme, islamophobia, ini menjadi kian serius kala dieksploitasi oleh para politisi.
Peran yang bisa diambil Muhammadiyah terkait islamophobia
Terakhir, Arif menyampaikan solusi yang bisa dilakukan oleh Muhammadiyah terkait dengan Islamophobia ini. “Sebenarnya Indonesia bisa melakukan kontribusi. Muhammadiyah bisa berperan aktif dalam konteks memberikan gambaran bahwa Islam tidak identik dengan Timur Tengah, Islam juga hidup di negara demokrasi, Islam juga hidup di negara yang banyak politisi wanita. Indonesia masih kurang dikenal sebagai negara yang seperti itu, sejauh ini hanya dikenal sebagai negara destinasi wisata,” ungkapnya. (ran)