Haji Soenaryo: Pengusaha Plus Juru Dakwah

In Memoriam Haji Soenaryo: Pengusaha Plus Juru Dakwah

Oleh Abduh Hisyam

Dalam pekan ini ada beberapa tokoh baik nasional maupun lokal yang mendahului kita menghadap Allah. Mereka adalah Prof. Malik Fajar tokoh Muhammadiyah mantan Menteri Pendidikan Nasional, Jacob Oetama jurnalis pendiri harian Kompas, H.Soenaryo mantan ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kebumen, dan dr.Choiron mantan ketua majelis kesehatan PDM Kebumen periode 1995-2000.

Setiap berita kematian tentu menimbulkan kesedihan dan kehampaan. Ada sesuatu yang mencekam dan menimbulkan kegalauan.

Rasulullah menganjurkan umatnya melayat atau mengunjungi keluarga yang baru saja ditimpa musibah kematian. Tujuan dianjurkannya seseorang mendatangi acara kematian adalah untuk 1)mendoakan/menyolatkan almarhum, 2)meringankan penderitaan keluarga yang ditinggalkan, dan 3) mengambil pelajaran dari kehidupan almarhum. Jauh lebih utama dari tiga hal di atas adalah bahwa dengan hadir di acara kematian maka kita diingatkan akan mati.

Ada ayat berbuanyi: “Di mana pun kamu berada, kematian akan menjumpaimu walau kamu bersembunyi di dalam istana yang tertutup” (Annisa/4:76). Rasulullah pernah bersabda,”Keberadaan sosok mayat sudah cukup untuk menjadi peringatan.”

Ada etika yang harus kita perhatikan saat hadir di acara kematian: 1) tidak boleh membicarakan keburukan almarhum, 2)tidak boleh membicarakan urusan dunia, 3)tidak boleh bersenda gurau, 4)membawa makanan untuk keluarga almarhum.

Dari empat tokoh yang saya sebaut di atas, saya akan bicara tentng H. Soenaryo karena beliau adalah sosok yang paling dekat dengan saya semasa hidup. Saya mengenal beliau sebagai seorang pengusaha dan aktifis dakwah di Muhammaidyah. Beliau seorang yang ulet dalam bekerja, gigih dalam berdakwah, dermawan, dan pantang mengeluh kepada orang lain.

Pengusaha yang Ulet

Di bidang usaha, ia benar-benar berangkat dari nol. Ia lahir dari keluarga yang tidak miskin, itu pasti. Bapaknya adalah seorng kepala desa sejak zaman pra-kemerdekaan. H.Moeflich sang bapak menjadi kepala desa selama empatpuluh tahun, melewati masa pra kemerdekaan, maka revolusi kemerdekaan, pemerintahan demokrasi liberal, demokrasi terpimpin dan orde baru. Namun tidak berarti H.Moeflich adalah seorang yang kaya raya. Kekayaannya wajar saja, dan seimbang dengan rata-rata keadaan ekonomi warga desa. Soenarjo muda tidak pernah mendapatkan fasilitas atau modal dari sanga ayah. Ia bekerja dan berusaha dengan mengandalkan kemampuan diri sendiri.

Ia pernah terbujuk seseorang untuk membuka perusahaan genteng di Lhok Sumawe, Aceh. Ia bawa lima puluh orang dari desanya untuk bekerja di sana. Namun sesampai di Lhok Sumawe dan saat ia sudah mengeluarkan dana besar orang yang menjanjikannya pergi ke Aceh tak kunjung menampakkkan batang hidungnya. Ia pun pulang setelah berbulan-bulan tinggal di Aceh dengan tangan hampa bahkan harus berhutang untuk membayar tenaga kerja yang ia bawa.

Di tengah kesulitan hidup (sang istri saat melahirkan bayinya yang pertama harus meminjam uang dari adiknya untuk membeli sebotol minyak kayuputih), ia mendatangi kakak perempuannya, bu Hj.Hayatun agar memodalinya memulai usaha. Sang kakak menasehatinya untuk bersabar dan bekerja keras. ‘Bismillah, Lik. InsyaAllah kamu berhasil.” Soenaryo muda pergi dengan kesal. Ia berharap dibantu permodalan, namun sang kakak hanya memberi “bismillah.”

Namun diam-diam Soenarjo bekerja memulai usaha, walau dengan tetap menggerutu setiap kali ingat kakak perempuannya. Ia pun dengan gigih memulai usahanya, dan ternyata lambat laun usahanya berkembang hingga hampir menyamai usaha sang kakak. Saat Idul Adha ia berani berkurban seekor sapi benggala gemuk. Pabriknya berkembang semakin besar, karyawannya bertambah banyak, trucknya ada empat yang semuanya ia namai seperti nama anak-anaknya: Tenggar, Banar, Safitri, Damar.

Apa yang dialami H. Soenarjo mengingatkan saya pada riwayat Fatimah dan Ali saat menghadap sang ayahanda Rasulullah agar diberi seorang budak untuk membantu pekerjaan sehari-hari mereka. Rasulullah tidak mengabulkan permohonan sang anak, melainkan hanya memberinya doa yang mesti dibaca tiap kali menjelang tidur: subhanallah 33x, alhamdulilah33x, dan allahu akbar 33x. Ternyata pekerjaan yang tadinya dirasa berat oleh Fatimah dan Ali, setelah ia selalu membaca doa tersebut menjadi ringan.

Adakah hubungan antara “bismillah” dengan modal usaha, atau “subhanallah” dengan keringanan pekerjaan? Ternyata ada. Betapa kuatnya hubungan antara doa dan keberhasilan.

Juru Dakwah Yang Gigih

Sebagai aktifis dakwah Muhammadiyah ia siap berangkat ke gunung dengan jip melaui jalur offroad di wilayah Sadang. Ia juga berangkat bersama rombongan PDM Kebumen ke musywil Jateng di Cepiring Kendal, dan di Purwokerto. Ia berangkat menyetir mobil sendiri ke Mukatamar Muhammadiyah tahun 2005 di Malang. Ia memimpin Persyarikatan dengan tulus dan manajemen sederhana. Acapkali ia marah-marah dengan suara tinggi dalam rapat pleno PDM karena melihat beberapa orang anggota pimpinan tidak bekerja sebagaimana mestinya. Ia tidak segan memarahi pejabat Pemerintah Kabupaten dengan bahasa ngoko seolah ia memarahi karyawannya, karena sang pejabat memulai acara molor dari waktu yang telah ditetapkan. Sebagai orang swasta, ia sangat tidak suka denga pola kerja para birokrat pemerintah.

Ia pula tokoh yang ikut mengembangkan RS PKU Muhammadiyah Sruweng hinga besar seperti saat ini. Ia tak segan meminjamkan sertifikat tanahnya sebagai agunan di bank demi modal PKU. Ia dirikan masjid di atas tanahnya di tepi jalan raya dan ia wakafkan kepada PCM Pejagoan. Ia jugaa merintis BMT Alkautsar dan toko Amal Usaha milik Nasyatul Aisyiyah bernama Bunga Padi.

Banyak orang tidak memahami karakter H Soenaryo. Saat ia berceramah di depan umum, jika ia mencela para pengurus Muhammadiyah yang kerap tidak aktif, ia selalu meminjam nama orang yang paling dekat dengannya sebagai contoh. Di dalam sebuah pidatonya ia pernah berkata, “Para pengurus Muhammadiyah harus selalu hadir tiap kali diundang rapat. Jangan seperti Abduh, yang setelah dilantik jadi pengurus Muhammadiyah hingga kini tak pernah hadir dalam rapat-rapat, kecuali jika ada uang transportnya.” Para hadirin tertawa. Mereka yang faham karakater pak Soenaryo pasti tahu bahwa penyebutan nama seseorng adalah sekedar perumpamaan saja dan bukan hal serius. Namun lain hal dengan mereka yang tidak faham. Dianggapnya pak Soenaryo sedang menjelek-jelekkan saya. Saya tentu saja memahami maksud H Soenaryo, sehingga saya ikut tertawa, walau acapkali kecut juga.

Selama sakit ia tidak ingin penderitaannya diketahui orang lain. Ia tidak ingin orang lain bersedih aas sakit yang ia derita. Ia hanya ingin sakitnya diketahui oleh istri dan anak-anaknya. Tiap kali saya menjenguknya, ia selalu tersenyum dan ingin mengobrol walau sakitnya membuatnya tidak mampu bicara dengan jelas. Tidak pernah ia mengeluhkan sakitnya. Ia dalam banyak hal seolah tidak peduli dengan sakit yang ia derita. Ia tetap makan sesukanya, dan agak enggan memeriksakan dirinya ke rumah sakit.

Kini ia telah tiada. Sosoknya yang tambun, kocak dengan tawanya yang keras akan selalu teringat dalam benak. Semoga keuletannya daam bisnis, kegigihan dalam berdakwah, kedermawanan dalam beramal serta ketabahannnya menghadapi penderitaan dicontoh keluarga dan teman sejwatnya, terutama para atifis Muhammadiyah.

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan bahagia dan membahagiakan. Masuklah kamu ke dalam golongan hamba-hambaKu, masuklah ke dalam surgaKu.” (Alfajr/89: 27-30).

Abduh Hisyam, Ketua PDM Kebumen

Exit mobile version