Hamba Guru Penerang Kehidupan In memoriam Prof Malik Fajar
Oleh : Safrin Octora
Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Itu pepatah lama yang sering kita dengar pada zaman dahulu. Artinya ketika seekor harimau mati namun karena memiliki tubuh belang-belang yang indah masih bisa dimanfaatkan untuk hiasan. Namun tidak demikian dengan seorang anak manusia. Karena jasadnya tidak berarti lagi, maka yang dikenang hanya nama. Nama itu akan dikenang dan dibicarakan oleh banyak orang, ketika seseorang yang meninggal dunia itu meninggalkan banyak warisan yang bermanfaat bagi masyarakat.
Itu yang terjadi pada Abduk Malik Fajar, biasa lebih dikenal dengan panggilan Malik Fajar – aktivis Muhammadiyah, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, mantan Menteri Agama, Menteri Pendidikan Nasional, Menko Kesra, dan anggota Dewan Penasehat Presiden era Presiden Jokowi – Jusuf Kalla – ketika wafat pada 7 September 2020 yang lalu.
Prof. Malik Fajar meninggalkan banyak warisan untuk kemaslahatan ummat manusia Indonesia, sehingga namanya banyak dibicarakan dan dikenang. Ketika menjadi Menteri Agama pada era Presiden Habibie, Malik Fajar mendorong perubahan Institut Agama Islam Negeri menjadi Universitas Islam Negeri. Perubahan itu awalnya terjadi di IAIN Jakarta pada tahun 2002, yang kemudian diikuti oleh banyak IAIN yang ada di negara kita.
Ketika menjadi Menteri Pendidikan Nasional di masa Presiden Megawati Sukarnoputri, Malik Fajar melakukan terobosan pada di Perguruan Tinggi Swasta (PTS). PTS dibolehkan menyelenggarakan ujian sendiri dan ijazah ditanda-tangani langsung oleh rektor PTS tersebut, tanpa perlu campur tangan Kopertis seperti selama ini.
Warisan lain ketika menjadi Menteri Pendidikan Nasional ialah mendorong Perguruan Tinggi Swasta untuk membuka Fakultas Kedokteran. Sehingga kalau saat ini banyak Fakultas Kedokteran berdiri, itu adalah terobosan dari Malik Fajar.
***
Terobosan terobosan yang dilakukan oleh Abdul Malik Fajar, sepertinya berkaitan dengan nama yang disandangnya. Abdul bermakna “seorang hamba’. Malik berasal dari bahasa Arab, yang memiliki banyak arti. Dari sekian banyak arti tersebut, malik bisa bermakna guru atau orang yang menguasai sesuatu. Sedangkan fajar adalah cahaya yang memberikan penerangan pada pagi hari ketika pekat malam mulai menepi. Jadi “ abdul malik fajar” bisa berarti hamba guru yang memiliki sesuatu dan hadir memberikan penerangan dalam kehidupan masyarakat.
Namun sebelum itu, ketika menjadi salah satu Dirjen di Departemen Agama, Malik Fajar telah memulai kiprah yang luar biasa untuk negara ini. Meski tidak banyak yang tahu (atau pura-pura lupa), Malik Fajar bersama Nurcholis Madjid, dan Gus Dur merupakan tiga serangkai yang sering hadir ketika wacana reformasi mulai muncul. Rumah dinasnya yang berada di Jl. Indramayu Jakarta sering menjadi tempat diskusi aktiviis-aktivis reformasi.
Malik Fajar dilahirkan di Yogyakarta 22 Februari 1939, tepatnya setelah 27 tahun Muhammadiyah berdiri pada 1912. Mungkin orang tuanya berkeinginan anaknya yang diberikan nama Abdul Malik Fajar ini, bisa meneruskan cita-cita pendiri Muhammadiyah Kiai Haji Ahmad Dahlan yang digelari Sang pencerah.
Pendidikan awalnya dimulai dari Sekolah Agama Negeri di Magelang, ketika ayahnya Fajar Martodiharjo seorang aktivis Muhammadiyah yang menjadi guru di kawasan lembah Tidar itu. Setelah menyelesaikan sekolah di Magelang, Malik Fajar melanjutkan pendidikan di Yogyakarta pada Sekolah Guru Agama Atas Negeri.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Yogyakarta, sebagai calon guru agama, Malik muda ditempatkan di kota kecil Taliwang Nusa Tenggara Barat. Di kota kecil yang terkenal dengan ayam bakar Taliwang itu Malik Fajar berkarir sejak tahun 1959-1963. Selain sebagai guru agama sekolah rakyat, Malik Fajar sebagai kader persyarikatan Muhammadiyah juga menjadi kepala sekolah SMEP Muhammadiyah.
Selesai tugas awal di Taliwang, Malik Fajar melanjutkan pendidikan di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang sampai sarjana muda. Lalu melanjutkan pendidikan tingkat sarjana di kampus yang sama hingga menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana tahun 1972.
Kiprahnya di perguruan tinggi Muhammadiyah mulai menonjol sejak menjadi dekan Fisip Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan dilanjutkan menjadi Rektor UMM. Dedikasinya sebagai dekan Fisip dan rektor di UMM berlangsung selama 16 tahun yang kemudian diangkat menjadi Dirjen di Departemen Agama Jakarta. Grlar professor untuk guru besar Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel diperolehnya pada tahun 1995, ketika menjabat Rektor UMM.
Universitas Muhammadiyah Malang, yang sebelumnya biasa-biasa saja menjadi harum namanya ketika di pegang oleh Malik Fajar. Kampus yang asri dan megah yang terletak di Jl. Bendungan Sutami memiliki banyak mahasiswa dari lintas agama bahkan ada beberapa mahasiswa yang berasal dari luar Indonesia yang menuntut ilmu disana. Di depan kampus bendungan Sutami yang memiliki aliran sungai yang jenih dan bersih, sering digunakan oleh mahasiswa UMM untuk berarung jeram atau berlatih kayak.
Selain itu, kampus UMM merupakan kampus pertama yang memiliki dome (gedung besar yang bisa menampung banyak orang) yang dikenal dengan nama UMM Dome. UMM Dome ini terletak di Karang Ploso dan pernah digunakan sebagai arena Muktamar Muhammadiyah ke 45 setelah pembukaan di stadion Gajayana. Keberadaan UMM Dome itu membuat PP Muhammadiyah mendorong setiap daerah memiliki dome untuk kegiatan besar. Adanya dome, merupakan prasyarat untuk terpilihnya sebuah daerah menjadi penyelenggara muktamar.
***
Tahun 2005 sebulan setelah Muktamar Muhammadiyah ke 45 di Malang, saya mendapat tugas ke Kota Batu sebuah kota yang termasuk Malang Raya. Ketika memasuki Sriwijaya Air – satu satunya pesawat yang terbang ke bandara Abdul Rahman Saleh Malang – di bandara Sukarno Hatta, saya melihat Prof. Malik Fajar duduk sambil membaca di bangku ekonomi bagian depan dekat jendela. Mungkin selama penerbangan itu dihabiskan beliau dengan membaca.
Ketika antri bagasi di bandara Abdul Rahman Saleh, saya tepat berada di sebelahnya. Setelah beruluk salam, saya mulai membuka ruang komunikasi. Kami sempat berbincang hangat meski sebentar. Dia menanyakan kegiatan saya di Malang. Ketika saya katakan akan ke Kota Batu, Prof. Malik menawarkan saya untuk ikut sampai kota Malang, dengan alasan taksi di Abdul Rahman Saleh masih sedikit, sehingga menyulitkan penumpang yang tidak punya kendaraan untuk pergi ke kota Malang.
Saya menolak dengan halus, dengan alasan dijeput seorang kawan. Kurang tepat rasanya saya satu kendaraan dengan orang yang berada di jajaran utama PP Muhammadiyah, sementara saya KTAM saja tidak punya. Sambil berjalan ke luar dari terminal bandara Malang yang masih sangat sederhana itu, saya melihat banyak orang yang menyapa beliau dan berjabat tangan. Proesor Malik membalas sapaan dan jabatan tangan itu dengan hangat. Tanpa ada jarak.
Mungkin itulah makna nama Abdul Malik Fajar yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Hamba yang memberikan penerangan untuk kehidupan masyarakat. Sehingga beliau disenangi oleh masyarakat banyak . Paling tidak oleh warga Malang dan warga persyarikatan.
Safrin Octora, Kader Muhammadiyah, Dosen FISIP USU, Pengamat Media, tinggal di Medan