Mengenang Pak Yunahar Ilyas
Prof Dr H Haedar Nashir, MSi
Saya pertama kali mengenal Pak Yunahar Ilyas sejak tahun 1980an ketika awal merantau di Yogyakarta dan aktif di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Saat itu tentu sama-sama masih muda, saya masih mahasiswa karena usia tiga tahun berada di bawahnya.
Dalam acara Pelatihan Instruktur Nasional IPM di Lowano Yogyakarta di mana saya menjadi peserta, ada materi pengarahan dari Pak AR Fakhruddin, Ketua PP Muhammadyah saat itu. Beliau ditemani seseorang yang kemudian diperkenalkan namanya Yunahar Ilyas, yang kata Pak AR sebagai baru lulus Lc dari Saudi.
Sejak itu saya sering bertemu Pak Yunahar, yang juga kami sebut Ustadz Yunahar. Beliau awalnya ditugaskan Rabithah Alam Islami di Madrasah Muallimin Yogyakarta, kemudian menjadi dosen di Fakultas Ilmu Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta setelah PTM ini berdiri tahun 1981.
Pak Yunahar sosok yang ramah, mudah bersahabat, bersahaja, riang hati, dan terbuka. Begitulah kesan awal bergaul. Saya suka sekali kalau beliau bercerita tentang budaya Minangkabau, banyak hal yang menarik. Hingga berkisah bagaimana beliau memperoleh istri tercinta, Bu Liswarni Syahrial yang menjadi ibu dari keempat putra-putrinya. Ketika bercerita begitu mengalir dan enak untuk didengar.
Belasungkawa
Kepergian Pak Yunahar dikenang banyak kalangan dan memberi ucapan duka yang mendalam. Ribuan pelayat menshalatkan di Cikditiro dan Masjid Besar Yogya serta banyak yang mengantar sampai ke pemakaman di Karangkajen. “Inna lillahinwa inna ilaihi raji’un. Turut berduka cita atas berpulangnya ke Rahmatullah Almarhum Prof Dr H Yunahar Ilyas. Semoga diterima di sisi-Nya. Amin Wass, JK sekeluarga”, tulis Pak Jusuf Kalla dalam SMS kepada penulis.
Mensesneg Prof Dr Pratikno mengirim ucapan duka via WA, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Nderek bela sungkawa, semoga Almarhum Prof Dr H Yunahar Ilyas husnul khatimah dan diterima di sisi Allah SwT. Aamiin YRA.”. Sedangkan Buya Syafii Maarif menyampaikan pesan mendalam, “Untuk kedua kalinya Muhammadiyah kehilangan pemimpinnya. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, semoga sahabat kita ini mendapatkan husnul khatimah di akhir hayatnya, amin. Maarif”
Sementara itu Prof Dr KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum PBNU juga menyampaikan dukacita sekaligus kesaksian via WA kepada penulis: “Kami keluarga besar Pengurus Nahdlatul Ulama turut berbelasungkawa atas wafatnya Prof Dr H Yunahar Ilyas, Lc, MA. Beliau yang kami kenal adalah pribadi yang baik, berilmu dan berwawasan luas serta kuat memegang prinsip. Semoga almarhum husnul khatimah ditempatkan di sisi Allah SwT, dan semoga keluarga yang ditinggalkan juga diberikan kesabaran dan ketabahan. Saya pernah bersama almarhum 5 hari di Libya Pak, jadi saya kenal dekat. Almarhum orang shalih yang baik.”.
Masih banyak ucapan belasungkawa dari berbagai pihak yang terkirim langsung ke penulis, sebagai orang yang dianggap mewakili keluarga besar Muhammadiyah. Semua menandakan kesaksian akan keberadaan Prof Yunahar di mata elite dan khalayak umum di negeri ini. Beliau sakit setelah Idul Fitri 2019 dan rutin dirawat di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Ketika sakit yang tidak mengalami kemajuan kesembuhan saya sendiri selalu meyakinkan keluarga Ustadz agar tetap sabar dan optimis.
Terakhir menjenguk pada Senin 31 Desember 2019, beliau masih tampak “tertidur” lelap, saya bersama istri tertegun tak kuasa menyaksikannya, sambil saya usap keningnya beberapa kali yang hangat dan tangannya yang terasa dingin. Pada saat maghrib Kamis 2 Januari 2020 saya dapat kabar beliau menurun drastis, saya tidak dapat pergi ke RS Sarjito karena terkena flu berat, saya hanya sempat tilpun ananda Faiza putri kedua beliau yang selalu menjaga bersama mas Hasnan dan ananda Idha serta Bu Yunahar. Sampai ketika larut malam, pada pukul 23.47 kabar duka itu tiba dari keluarga: Ustadz Yunahar Ilyas meninggal dunia. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, semua berasal dari Allah dan kembali kepada-Nya.
Kematian memang selalu menjadi rahasia hidup manusia. Saya ingat ketika Prof Yunahar Ilyas menyampaikan sambutan di sejumlah tempat yang sama-sama kami bertakziyah, beliau sering berpesan “kematian itu datang tidak pernah ada sebabnya”. Sakit maupun tidak ketika ajal tiba, semua tidak dapat menunda atau menyegerakannya sebagaimana firman Allah SwT dalam Al-Qur’an yang artinya, “Tiap-tiap umat memiliki batas waktu. Maka ketika waktu itu telah tiba, mereka tidak dapat memundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (Qs Al-A’raf: 34).
Menyusuri Bukittinggi
Saya selalu lekat ketika setiap sidang di PP Muhammadiyah di Kantor Yogyakarta, beliau selalu duduk di samping kiri saya. Suatu kali dalam sidang Pleno usai shalat Isya, saya pegang tangan beliau agak dingin dan wajahnya pucat, saya bilang “Ustadz tidak perlu sampai malam”. Beliau mengiyakan, dan sehabis itu terus pamit. Kami melanjutkan sidang sampai malam. Rupanya itulah pleno terakhir beliau bersama kami pada Rabu 2 Oktober 2019 di Yogya. Pada Pleno awal November dan Desember beliau sudah dirawat di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan RS Sarjito sampai beliau wafat.
Sesaat Pak Yunahar pergi menghadap Ilahi Rabbi, banyak kenangan terekam kembali. Ketika kami sama-sama aktif di Badan Pendidikan Kader selama dua periode pasca Muktamar Solo tahun 1985, saya sering bareng ke wilayah atau daerah ketika harus menjadi instruktur sekaligus mengisi materi. Saya biasanya bagian ideologi Muhammadiyah dan kekaderan, Ustadz Yun materi keislaman. Kami sering bertandem.
Belakangan setelah di PP Muhammadiyah beliau sering bilang, saya baru tahu tentang sejarah dan hal-hal detail tentang Kiai Dahlan dan Muhammadiyah dari “Mas Haidar”, tukasnya. Beliau sering sekali menulis nama saya dengan “Haidar”, bukan “Haedar”, saking sudah terbiasa sejak awal. Kadang beliau bercanda, kalau menyusun dan merumuskan hal-hal sulit, berikan saja ke “Mas Haidar”. Kami sering tukar pengalaman lucu, beberapa warga menemui saya padahal maksudnya ke Pak Yunahar, sebaliknya ingin bertemu Prof Yunahar tetapi menemui saya.
Pada suatu kali kami mentraining Darul Arqam dan Pelatihan Instruktur di Palu Sulawesi Tengah, yang Ketuanya mas Najamudin Ramli. Dengan bangganya Najah —pannggilan Najamudin— menempatkan kami di gedung yang katanya nyaman. Kami berada satu kamar, yang tempat tidurnya satu. Akhirnya pak Yunahar meminta saya agar yang di atas, beliau ingin di bawah agar lebih leluasa katanya. Saya sudah berusaha menolak, tetapi beliau tetap memilih di bawah. Maklum cuaca panas dan tanpa AC atau kipas angin, sehingga tidur kami hanya berkaos oblong.
Kami menikmati suasana seperti itu hampir di banyak acara training dan pelatihan kader, baik di lingkungan Persyarikatan lebih-lebih di organisasi otonom. Hal yang menyenangkan, Pak Yunahar suka berfoto, sebaliknya saya agak pemalu. Kalau berfoto beliau banyak gayanya, saya kaku dan mungkin kayak patung kalau berfoto.
Beberapa kali kami pergi ke Sumatra Barat, khususnya ke Bukittinggi kampung halaman beliau. Saya merasa lekat dan menyenangkan kalau pergi bersamanya. Suatu kali saya minta diajak ke rumahnya, karena sering lewat hanya menunjuk Jalan Jambu Air yang menuju ke rumah keluarga besar beliau. Akhirnya kami mampir dan diterima kakak putri beliau sekeluarga, sambil cerita bagaiamana sejak kecil sebagaimana pada umumnya anak Minang tidak tidur di rumah tetapi di surau. “Saya tidak disediain kamar”, ujarnya santai dan terkesan bangga.
Saya tidak tahu kalau diajak ke Bukittinggi merasa senang dan menikmati. Namun sayangnya belum berkesempatan keliling Bukittinggi dan sekitarnya. Satu dua kali tidak jadi karena padat acara. Sering beliau berseloroh, “Mas Haidar sih serius terus, jadi tidak bisa jalan-jalan”, katanya.
Suatu kali kami berangkat bertiga ke Bukittinggi bersama Pak Agung Danarto dan kolega UAD serta beberapa Rektor PTM. Saat itu ada peletakan batu pertama Kampus UMSB, yang sekarang berdiri megah hasil konsorsium PP Muhammadiyah melalui beberapa PTM. Hal yang mengejutkan, beliau menyetop beberapa acara. Ternyata, Pak Yunahar ingin mengajak saya keliling Bukittinggi.
“Kalau tidak dicancel, mana bisa Mas Haidar mau”, katanya. Akhirnya kami rombongan bisa menikmati Bukittinggi dengan santai. Mulai masuk pasar dan makan sate Padang aseli, sambil cerita beliau sejak kecil sering diajak ayah ibunya makan sate di pasar itu. Kemudian jadilah kami turis lokal dengan guide istimewa ustadz Yunahar Ilyas. Mulai dari foto bersama di Jam Gadang, terus ke bukit Ngarai Takuruang, Lobang Jepang dari luar, Lembah Ngarai Sianok, Janjang Saribu, Jembatan Limpapeh, Museum Adat Baanjuang, Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta, Benteng Fort De Kock, dan tempat lainnya. Kami makan jagung di sekitar tempat wisata Ngarai yang sejuk dan indah. Malamnya makan nasi goreng di lereng bukit langganan beliau sejak kecil.
Sumber: Majalah SM Edisi 2 Tahun 2020