Tidak Ada Agama yang Melegalkan Kekerasan Seksual

Tidak Ada Agama yang Melegalkan Kekerasan Seksual

Kasus kekerasan seksual di Indonesia seakan tidak pernah selesai, setiap tahunnya kasus tersebut terus menanjak naik. Walaupun kasusnya naik, ternyata kekerasan semacam ini tetap menjadi fenomena gunung es. Yaitu sedikit yang terlihat, dan banyak yang tak terdeteksi.

Belum lagi, di Indonesia belum ada payung hukum yang spesifik untuk melindungi para korban kekerasan seksual. Hingga saat ini Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual tidak pernah selesai dalam pembahasan.

Di lembaga Legislatif tersebut, tarik ulur pengesahan terus terjadi. Banyak yang setuju namun masih banyak juga yang menolak. Baik menolak isi ataupun menolak judul yang dirasa tidak pas dengan realitas yang ada di masyarakat.

Lalu, kabar tak enak juga kembali kita dengar. Selama pandemi, kasus kekerasan terhadap perempuan naik sebanyak 75%. Atau totalnya sebanyak 14.719 kasus.  4.898 kasus di antaranya adalah kasus kekerasan seksual.

Data tersebut diambil dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) serta Komnas Perempuan. Cukup miris memang. Tapi ini baru yang melaporkan, lalu berapa banyak yang tidak melaporkan? Tentu bisa lebih banyak.

Pelaku kekerasan seksual bisa dari berbagai macam kalangan. Seperti kalangan rumah tangga, kalangan universitas bahkan kalangan pemuka agama. Baru-baru ini kasus kekerasan seksual juga sering terjadi pada anak usia di bawah umur.

Indonesia sudah memasuki tahap darurat kekerasan seksual karena angka yang terus menaik secara cepat. Sudah banyak akademisi, tokoh pemuka agama dan juga para aktivis HAM dan perempuan yang berdiskusi dan mendorong Pemerintah untuk segera mengesahkan RUU PKS.

Saya pun turut andil dan menulis beberapa artikel tentang kekerasan seksual. Namun hari ini saya diajak kawan saya di IPM untuk menghadiri diskusi tentang kekerasan seksual namun dibahas dengan sudut pandang antar agama dan budaya.

Diskusi ini diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam, Perempuan dan Pembangunan (PSIPP) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB AD) bekerja sama dengan Kementrian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK).

Acara ini dilakukan secara daring dan luring yang bertempat di Hotel Arya Duta Menteng. Dihadiri oleh PLT Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan dan Pemuda Kemenko PMK, Ketua PSIPP ITB AD serta ketua LP3M.

Narasumbernya pun menurut saya sangat menarik, acara tersebut diisi oleh Komnas Perempuan dan tokoh dari berbagai agama serta penanggap yang juga akademisi dari Universitas Katholik Indonesia Santu Paulus Ruteng.

Dari diskusi ini saya menemukan berbagai macam hal baru. Seperti peran-peran berbagai macam agama dan budaya dengan cara unik tentunya. Karena tidak bisa dipungkiri kekerasan seksual juga ada yang berasal dari pemuka agama.

Cara yang dilakukan cukup banyak, mulai dari pengaduan ke pihak berwajib hingga diproses oleh semacam dewan pengawas yang mengawasi kode etik pemuka agama. Karena pelaku kekerasan seksual sudah sepatutnya di hukum oleh semua agama.

Benang merahnya adalah semua agama mengajarkan perdamaian, serta mengutuk kekerasan seksual yang saat ini sedang terjadi. Apalagi hal tersebut dilakukan oleh para pemuka agama yang seharusnya menjadi contoh para jamaahnya.

Semua narasi menolak kekerasan seksual tercantum dalam masing – masing kitab suci. Bahkan ada yang secara tegas untuk menghukum pelaku kekerasan seksual jika terjadi kepada jamaah mereka. Sehingga tidak perlu diragukan peran agama dalam menghapuskan kekerasan seksual.

Selain itu banyak pencegahan yang sudah dilakukan oleh berbagai agama. Sehingga tidak ada alasan lain untuk melegalkan kekerasan seksual yang mendalilkan agama. Karena sejatinya semua agama melarang.

Dari diskusi yang saya ikuti tersebut saya mengambil beberapa kesimpulan. Pertama, pemerintah harus bekerja sama dengan semua agama dan juga tokoh budaya untuk menghapuskan kekerasan seksual.

Baik untuk melakukan diskusi atau membuat regulasi. Contoh diskusi seperti yang saya ikuti saat ini diselenggarakan atas kerja sama Kemenko PMK dan juga PSIPP ITB Ahmad Dahlan Jakarta.

Kedua, harus ada perubahan pola pikir serta mentalitas masyarakat agar korban kekerasan seksual dilindungi bukan malah dihujat. Selain itu perubahan mental masyarakat agar selalu waspada kepada siapa pun karena pelaku kekerasan seksual tidak pandang bulu.

Selanjutnya, pola pikir tentang perempuan sebagai objek seks pun harus diubah, karena sejatinya perempuan adalah teman hidup dan juga laki-laki sebagai pendamping bukan sebagai yang menguasai dalam rumah tangga.

Ketiga, agama sebagai benteng terakhir peradilan, karena kekerasan seksual sebagai bentuk ketidakadilan. Jika salah satu agama melegalkan kekerasan seksual, mau ke mana korban mengadu dan meminta keadilan.

Fathin Robbani Sukmana, Lembaga Pengembangan Sumberdaya Insani (LAPSI) PP IPM

Exit mobile version