Kokam: Dari Pasukan Antikomunis hingga Penjaga Aset Muhammadiyah
Muhammad Yuanda Zara
Di antara semua organisasi yang berafiliasi dengan Muhammadiyah, KOKAM (Komando Kesiapsiagaan Muhammadiyah) merupakan yang paling sedikit dikenal, namun paling banyak disalahpahami. Hanya sedikit ulasan yang tersedia tentang KOKAM, terutama karena periode eksistensi KOKAM hanya pada 1965/66, kemudian tidak aktif selama beberapa dekade, dan muncul kembali menjelang runtuhnya Orde Baru tahun 1998. Dan, ulasan yang sedikit itupun fokus pada peranan KOKAM sebagai salah satu organisasi yang bertanggung jawab atas pembersihan kaum komunis (misalnya Adam, 2009: 159; Jones et.al [eds.], 2009: 149).
Namun, berbagai literatur itu berhenti di sana, tanpa mengupas latar belakang pembentukan KOKAM secara detail dan mengulas mengapa mereka bertindak keras melawan komunis.Lagi pula, lebih banyak memfokuskan pada kekerasan yang dilakukan KOKAM berarti mengabaikan fungsi mereka yang lain yang tak kalah pentingnya. Bagaimanakah KOKAM dibentuk dan apa saja yang mereka lakukan dalam konteks pertarungan ideologis di pertengahan 60-an serta sesudahnya?
Menurut Gerlach (2010: 55), tahun 1964-65 merupakan tahuntahun munculnya gerakan pemuda yang sengaja diperuntukkan guna menghadang komunis. Setidaknya ada empat gerakan pemuda penting anti-komunis kala itu, yakni Banser dari NU (Maret 1964), KOKAM Muhammadiyah (Oktober 1965), BANRA-nya GMNI/PNI, serta Barisan Pengawal Yesus-nya kelompok Katolik. Sebastian (2006: 476) menyebut KOKAM “berbasis Islam modernis, dikooptasi oleh pemerintah”.
Sejarah Kokam
Nama KOKAM sendiri mungkin terinspirasi dari menjamurnya berbagai “komando” yang berkonotasi militer sejak sebelum hingga awal 1960an, mulai dari komando-komando yang sudah lama eksis di ABRI, seperti KODAM maupun KOSTRAD, serta beberapa “komando” baru yang ditujukan untuk melawan Malaysia, seperti KOGA (Komando Siaga), KOLAGA (Komando Mandala Siaga), dan KOGAM (Komando Ganyang Malaysia). Penggagas KOKAM sendiri, Letkol Projokusumo, merupakan tokoh Muhammadiyah Jakarta yang aktif sebagai tentara di AD.
Dibentuk kurang dari 24 jam setelah peristiwa G 30 S pecah, pendirian KOKAM menunjukkan begitu cepatnya Muhammadiyah membaca situasi dan mengambil langkah. Namun, prakondisi yang mendorong lahirnya KOKAM sudah eksis sejak beberapa tahun sebelumnya, dan kian mengeras pada tahun 1965 itu. Konflik yang melibatkan kaum komunis dengan musuh-musuhnya sebelum 1965 sedemikian tajamnya sampai-sampai ada rumor bahwa sebuah “Peristiwa Madiun baru” tengah berkembang.
Awalnya, konflik terbuka muncul antara kaum komunis dan organisasi pemuda Islam, seperti Anshor dan HMI. Di sisi lain, konflik di akar rumput yang melibatkan kaum komunis kian tersebar luas, terutama di Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Sulawesi. Terdapat pula beberapa peristiwa yang dinilai melukai umat Islam, khususnya Muhammadiyah, yang dilakukan oleh kaum komunis, termasuk dipenjarakannya Kasman Singodimejo dan Hamka lantaran tuduhan yang dilemparkan PKI, pemberhentian atau penyetopan gaji pegawai negeri simpatisan Muhammadiyah, dan penyerangan terhadap para anggota PII dan pelecehan terhadap Al-Qur’an di Kanigoro pada Januari 1965.
Dalam melawan PKI yang cengkeramannya semakin kuat dalam politik Indonesia, Muhammadiyah awalnya memperkuat barisannya dengan kursus kader Takari Pemuda Muhammadiyah, mulai 1 September 1965, di Jakarta, yang materinya diisi oleh tokoh Muhammadiyah, seperti Projokusumo dan Lukman Harun, serta dari polisi dan AD, termasuk Menhankam AH Nasution.
Di tengah masa kursus itulah G 30 S pecah. Penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal AD oleh pasukan Letkol Untung yang loyal pada PKI terjadi pada malam terakhir September menjelang Oktober.Kelompok-kelompok Islam segera merespon perkembangan ini. Para tokoh Muhammadiyah dalam kursus tersebut sepakat membentuk KOKAM. Pimpinan KOKAM, Projokusumo, menekankan 5 fungsi utama KOKAM, yakni penyebarluasaan cabang KOKAM, koordinasi antarcabang, tugas AMM melindungi warga Muhammadiyah di tempatnya masing-masing, kesiapan AMM untuk membela negara, bangsa dan agama, serta bekerjasama dengan kekuatan kontra G 30 S. KOKAM disusun secara hirarkhis, mulai dari tingkat Pusat (nasional), Wilayah (provinsi), Daerah (kabupaten), Cabang (kecamatan) dan Ranting (desa/kelurahan).
KOKAM dekat dengan kalangan militer, terutama RPKAD, dan juga kepolisian. Bila kita mengamati foto KOKAM pada April 1966, yang merupakan foto KOKAM pertama yang dipublikasikan, orang akan dengan cepat mengidentikkan seragam KOKAM dengan seragam RPKAD, terutama dari topi baret, seragam loreng dan sepatu larsnya. Seragam inilah yang menjadi cikal bakal seragam KOKAM kini.
Di foto itu juga diketahui bahwa bahkan pelantikan KOKAM dilakukan di kantor polisi, atau dengan kata lain menunjukkan hubungan erat antara KOKAM dan polisi. KOKAM juga memakai hormat ala militer, dengan menaikkan tangan di pet sebelah kanan. Di luar soal seragam dan hormat, KOKAM sendiri dilatih dan dipinjami senjata, termasuk granat, oleh RPKAD. Tak heran bila lantaran kedekatan ini KOKAM dijuluki “adik kandung” RPKAD atau “anak emas” Sarwo Edhie.
Muhammadiyah menganggap pelaku G 30 S adalah pihak yang sama dengan pelaku kudeta tahun 1948, yakni PKI dan ormas-ormasnya. Pada 17 Oktober, Ketum PP Muhammadiyah KH A Badawi bertemu dengan Sukarno, dan memintanya untuk membubarkan PKI dan ormas-ormasnya karena bagi Muhammadiyah tindakan pembubaran ini dianggap sebagai “ibadah”. Sesudah bertemu presiden, Badawi berbicara dengan Panglima Kopkamtib, Mayjen Suharto. Mereka berdua sepakat bahwa Muhammadiyah dan ABRI akan bekerjasama untuk memulihkan keamanan akibat G 30 S.
Di tengah situasi ini, pembentukan KOKAM ditujukan untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan keluarga Muhammadiyah, Aisyiyah, dan organisasi lainnya di bawah Muhammadiyah. KH A Badawi menyebut tugas KOKAM sebagai “ibadah jihad fi sabilillah”. Pasca peristiwa Muhammadiyah di Jakarta kemudian KOKAM digiatkan aktivitasnya dan disebarluaskan ke berbagai tempat, terutama di tingkat Daerah dan Cabang. Per Juli 1966, dari catatan yang ada, KOKAM eksis di Jakarta, Yogyakarta, Muntilan, Klaten, Solo, Malang, bahkan Menado.
Di dalam Konferensi Kilatnya di Jakarta pada 9-11 November 1965, Muhammadiyah bersama kelompok pemudanya memaklumkan bahwa “mensirnakan Gestapu/PKI dan Nekolim adalam ibadah.” Bagi Muhammadiyah, ini bukan hanya ibadah sunnah, melainkan ibadah yang wajib ‘ain. Maka, pengerahan kekuatan untuk menjalankannya adalah jihad. Namun, Muhammadiyah juga menekankan pada kehati-hatian, yakni bahwa cara yang dipakai menjalankannya haruslah “menghindarkan ekses-ekses yang merusak, memfitnah, balas dendam, dan sebagainya”. Meski demikian, situasi di lapangan membuat kekerasan dan kerusakan tak terhindarkan.
Perjuangan Kokam
Selain memperluas jangkauannya dengan mendirikan Cabang di seantero Indonesia, KOKAM juga menggalang kerjasama dengan sesama kekuatan anti-PKI. Mereka kemudian bekerjasama dengan Ketua Gabungan V Kopti (Gabungan Operasi Tinggi) Kol. Sucipto. Gabungan kekuatan anti-PKI ini, di antaranya dari KOKAM dan Muhammadiyah (M Suwardi dan Lukman Harun), NU, Partai Katolik, IPKI, Sekber Golkar, Gasbindo dan KBKI, lalu mendeklarasikan pernyataan untuk mengutuk G 30 S PKI.
Aksi massa pertama yang dilakukan kelompok ini ialah tanggal 4 Oktober 1965 di Taman Sunda Kelapa Jakarta, yang berujung pada pembentukan Kesatuan Aksi Pengganyangan Kontra Revolusi Gerakan 30 September (KAP Gestapu). Ketuanya adalah Subchan ZE dengan Lukman Harun dari KOKAM menjadi Ketua Pengerahan Massa. Empat hari kemudian aksi massa dilakukan lagi, kali ini di Taman Suropati. Di sinilah pertama kalinya KOKAM memakai kekuatan fisik untuk menumpas PKI.
Hari itu, 100 anggota KOKAM membakar Kantor CC PKI di Jalan Kramat Raya serta kediaman Aidit, yang disebut-sebut sebagai dalang G 30 S (belakangan, dalam sebuah testimoni setelah ditangkap di Solo, Aidit memang mengakui bahwa dia, dan para pemimpin serta ormas-ormas PKI-lah yang menjalankan G 30 S). Pembakaran tak berhenti di sana. Berbagai kantor dari organisasi yang berkaitan dengan PKI turut menjadi sasaran, termasuk SOBSI, Lekra, Pemuda Rakyat, CGMI, Universitas Ali Archam dan Universitas Res Publica.
KOKAM juga berpartisipasi dalam demonstrasi. Mereka berdemonstrasi tanggal 26 Oktober 1965, bersama dengan para anggota KAP lainnya, di Departemen Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri, Departemen Penerangan, dan kantor Front Nasional. Tuntutan utama mereka ialah pembubaran PKI dan dibersihkannya instansi-instansi pemerintah dari elemen PKI.
Sementara itu, ada perkembangan lain di Yogyakarta yang mencemaskan Muhammadiyah. Di kota ini, dikabarkan pada Desember 1965 bahwa ABRI menyita daftar hitam dari para pendukung G 30 S, yang berisi nama-nama yang akan dihabisi. Salah satu nama di dalamnya jelas menggusarkan warga Muhammadiyah: Ketua PP Muhammadiyah KH A Badawi pada nomor 8. Bahkan, dua pengelola Majalah Suara Muhammadiyah, yang dikenal sangat anti-PKI, turut masuk pula dalam daftar tersebut.
Guna menghadapi berbagai ancaman dari pihak PKI, maka Muhammadiyah, NU, PSII dan Perti menggagas satu komando aksi umat Islam di Yogyakarta. Pelaksananya ialah HMI, PII, Pemuda Muhammadiyah, IMM, NA, GP Ansor, dan lain-lain. Mereka lalu membentuk sebuah kelompok bernama Komando Siaga Umat Islam (Kogalam). Namun, badan ini tidak sempat bekerja menjalankan tugasnya mengkoordinir semangat perlawanan di antara umat Islam Yogyakarta. Oleh karena itu, semangat warga Muhammadiyah yang terlanjur menyala kemudian disalurkan lewat KOKAM.
Kalangan Islam bekerjasama dengan tentara, khususnya AD, karena keduanya memandang komunis sebagai musuh bersama, meski dengan alasan berbeda. Muhammadiyah berkooperasi dengan beberapa jenderal AD, termasuk Menhankam AH Nasution, Pangkopkamtib Suharto dan Panglima RPKAD Sarwo Edhie. Di Surakarta, gerakan RPKAD-nya Sarwo Edhi mendapat sokongan kuat dari KOKAM.
Pada saat yang sama, pemuda Muhammadiyah juga ambil bagian dalam perlawanan terhadap PKI, termasuk dalam memenangkan hati dan pikiran penduduk dengan menyebarkan pamflet anti-PKI di berbagai tempat di Jawa Tengah. Yogyakarta dan Jawa Tengah tergolong hotspot karena selain terjadinya pembunuhan dua perwira tinggi Korem 72/Pamungkas, pada awal Oktober 1965 Ketua CC PKI, DN Aidit dikabarkan melarikan diri ke Yogyakarta. Rencananya, Jawa Tengah dan Yogyakarta akan dijadikan basis PKI selanjutnya untuk melanjutkan coup yang telah gagal di Jakarta.
Pawai keliling merupakan agenda yang kerap dilakukan KOKAM untuk show of force. Pada 26 Juli 1966, misalnya, di Alun-alun Utara Yogyakarta, Angkatan Muda Muhammadiyah mengadakan apel akbar serta dilanjutkan dengan pawai keliling kota. Besarnya jangkauan apel ini ditunjukkan oleh unsur yang hadir. Semua elemen dalam AMM ambil bagian, termasuk KOKAM, Bimasena, Tapak Suci, IMM, Pemuda Muhammadiyah, IPM, NA, serta murid-murid sekolah Muhammadiyah.
KOKAM dari berbagai Daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur turut meramaikan pawai tersebut. Juga kelompok-kelompok Islam lainnya, seperti HMI, PMII, PII dan Banser. Acara itu dihadiri oleh KH A Badawi dan Brigjen Sucipto, menteri pertanian dalam Kabinet Ampera yang sebelumnya kerap menyambangi Muhammadiyah guna mencari dukungan memberantas PKI.
Simbol Semangat
Di luar fungsi pengamanannya dan pasca menurunnya tensi setelah G 30 S, KOKAM juga menjadi simbol semangat dan energi, terutama bagi cabang Muhammadiyah yang baru tumbuh. Muhammadiyah Cabang Paciran/Blimbing, Lamongan, misalnya, berdiri pada awal 1966. Sebelum diresmikan pendiriannya, warga Muhammadiyah telah aktif di sana, sehingga ketika diresmikan mereka sudah mempunyai TK, Madrasah Ibtidaiyah, dan PGAA dengan siswa mencapai 1.500 orang. Seiring dengan peresmian Cabang baru itu, di sana kemudian didirikan pula KOKAM dan PS Pemuda Muhammadiyah dengan tujuan “guna meningkatkan daya juang Muhammadiyah setempat”. Tampaknya, KOKAM mendapat keuntungan dari citra tentara yang baru saja memberantas kaum komunis, citra tentara yang identik dengan Pancasilais, anti-komunis, dan merakyat.
Demikian pula di Manado, Sulut. Pada pertengahan 1966, Muhammadiyah berhasil mendapatkan tanah yang rencananya akan digunakan sebagai perkampungan Muhammadiyah, yang lokasinya dekat dengan kota. Disediakan pula tanah di perkampungan itu, seluas 15X20 m, bagi anggota Muhammadiyah yang tertarik. Sebuah poliklinik juga rencananya dibangun di sana. Untuk mengamankan aset Muhammadiyah tersebut, didirikan pula satu kompi KOKAM. Kepalanya ialah Drs Waleleh.
Pasca reda urusan pemberantasan PKI, fungsi KOKAM juga lebih banyak bersifat internal (menjaga aset-aset Muhammadiyah) dan seremonial (latihan baris berbaris dan pawai keliling kota). KOKAM Sulut, berpusat di Menado, contohnya, mendapatkan bantuan dari pihak militer setempat, terutama Panglima Kodam XIII Merdeka/Pepelrada Sulut, Brigjen Sudarmono. KOKAM Sulut pada September 1966 berlatih militer Angkatan I untuk 1 Batalion KOKAM Sulut. Mereka berlatih di lapangan Sarie, Menado.
Dalam “amanat gemblengan”-nya, Pangdam meminta agar warga Muhammadiyah khususnya di Sulut tetap siaga menghadapi bahaya pendukung G 30 S/PKI. Peserta latihan militer ini ialah Pemuda Muhammadiyah, IPM dan IMM Kotamadya Menado. Seusai upacara, mereka mengadakan pawai keliling kota Menado. Ribuan orang ambil bagian, dengan sebagain besar merupakan warga Muhammadiyah. Meriahnya pawai ini tampak pula dari organisasi lain yang turut berpartisipasi dalam pawai akbar tersebut: Angkatan Kepolisian, Pemuda Al Chairat, serta Pemuda Wil Arab.
Dari uraian di atas, jelas bahwa untuk memahami perlawanan KOKAM terhadap kaum komunis diperlukan pemahaman atas prakondisi yang melatarbelakangi kelahirannya, yakni berbagai macam tindakan kekerasan, baik verbal maupun fisik, yang ditujukan kepada kelompok-kelompok Islam, khususnya Muhammadiyah. Pecahnya G 30 S dengan PKI dan loyalisnya sebagai salah satu pelaku utamanya memberikan jalan pada munculnya KOKAM sebagai tameng bagi Muhammadiyah menghadapi serangan lanjutan kaum komunis.
Selain itu, perlu dipahami juga bahwa meski KOKAM adalah badan “ad hoc” untuk melawan komunis, namun fungsinya rupanya jauh melampaui perlawanan terhadap komunis semata, karena mereka juga berfungsi sebagai penjaga keamanan bagi aset Muhammadiyah serta kekuatan penekan melalui berbagai aksi show of force. KOKAM merepresentasikan suatu masa di mana terjalin hubungan yang erat dan kerja sama yang kuat antara pemerintah, alat keamanan negara (tentara dan polisi) serta aktor non-negara, dalam hal ini Muhammadiyah, dalam menghadapi suatu musuh bersama.
Muhammad Yuanda Zara, Sejarawan
Sumber: Majalah SM Edisi 20-21 Tahun 2016