Muhammadiyah Gerakan Wasithiyah Berkemajuan
Prof Dr H Haedar Nashir, MSi
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan Islam yang berkarakter tengahan, menurut istilah disebut wasithiyah atau moderat. Dalam dunia akademik dikenal dengan gerakan Islam modernis atau reformis. Sebutan-sebutan tersebut pada intinya menunjukkan pandangan keagamaan dan watak ideologi gerakan Muhammadiyah yang bersifat tengahan di antara berbagai kutub ekstrem.
Watak tengahan Muhammadiyah tentu diperbandingkan dengan gerakan lain yang berbeda. Di satu pihak terdapat gerakan Islam lain yang berada pada “garis kanan”, yang sering disebut golongan “konservatif”, “tradisionalis”, “fundamentalistik”, dan “radikal” dengan paham keagamaan dan orientasi gerakannya cenderung keras dan atau kolot. Di pihak lain ada golongan “kiri” yang cenderung atau dikenal sebagai gerakan liberal atau bahkan sekuler.
Muhammadiyah berada di antara gerakan-gerakan Islam yang cenderung ekstrem tersebut. Terdapat gerakan Islam lain yang segaris dengan Muhammadiyah yang tergolong sebagai gerakan tengahan atau moderat. Posisi tengahan Muhammadiyah tentu tidak mutlak dan lebih merupakan garis utama atau pokok, karena sampai batas tertentu ada irisan pemahaman atau pergerakannya dengan gerakan Islam lain yang bersifat eklektik atau dinamis.
Sikap tengahan atau moderat dalam beragama menurut Muhammad Az-Zuhaili (2005) ialah berada dalam keseimbangan, istiqamah, adil, dan mudah; serta menjauhi ghuluw atau ekstrem. Menurut Yusuf Al-Qaradhawi (2007), moderat dalam beragama ialah berada di tengah-tengah, tidak melebih-lebihkan atau mengurang-ngurangkan, berjalan lurus (ash-shirat al-mustaqim) dan menolak ekstrimisme.
Moderat-Wasithiyah
Muhammadiyah sebagai gerakan tengahan atau wasithiyah memiliki sifat-sifat antara lain sebagai berikut. Pertama, paham Islam dalam Muhammadiyah merujuk langsung dan bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah Maqbulah, dengan mengembangkan akal pikiran yang sesuai ajaran Islam disertai ijtihad. Dalam memahami Islam menggunakan pendekatan bayani, burhani, dan irfani. Sedangkan pandangan tajdid yang dianut ialah pemurnian (purifikasi) dan pengembangan (dinamisasi). Dengan demikian pandangan keagamaan dalam Muhammadiyah selain mendalam dan menyeluruh, juga tampak karakter tengahannya karena tidak terjebak pada satu dimensi.
Kedua, dalam pandangan aqidah dan ibadah menganut paham Islam murni atau pemurnian (tandhif al-‘aqidah wal ibadah) dengan membebaskan diri dari praktik syirk, khurafat, dan bid’ah sebagaimana paham ahlu-salaf (al-firqah al-najiyah min al-salaf). Meski demikian dalam paham keagamaan tersebut Muhammadiyah berbeda dari gerakan-gerakan pemurnian yang sering disebut dengan Salafi, karena tetap memiliki sifat tengahan dan tidak ghuluw atau ekstrem, serta menganut asas toleransi (tasamuh) sehingga tidak mengklaim diri paling Islami atau paling suci (tazakku). Aspek ibadah ‘ittiba kepada Nabi dan menjauhi bid’ah, sehingga tidak melebihkan maupun mengurangi apa yang telah dituntunkan Rasulullah berdasarkan dalil-dalil yang kuat hasil tarjih.
Ketiga, di bidang akhlaq mengikuti uswah hasanah Rasulullah serta tidak menganut paham akhlaq situasional (norma berperilaku bisa berubah berdasarkan kehendak dan perkembangan masyarakat). Sedangkan dalam bidang mu’amalah-dunyawiyah dikembangkan islah atau tajdid dinamisasi yang seluas-luasnya sesuai dengan prinsip-prinsip yang diajarkan Islam. Konsep atau patokan bid’ah tidak diterapkan dalam bermu’amalah sehingga berorganisasi misalnya, meskipun tidak ada contohnya di zaman Nabi bukanlah bid’ah karena sepenuhnya wilayah mu’amalah-dunyawiyah sebagaimana Hadits Nabi “antum ‘alamu bi-‘umuri dunya-kum” sebagaimana terkandung dalam Masalah Lima tentang Qiyas atau Ijtihad. Sebab ada paham kelompok Islam lain yang membid’ahkan organisasi dan hal-hal lain menyangkut praktik hidup aktual sesuai perkembangan zaman.
Keempat, dalam berbangsa dan bernegara Muhammadiyah selain berpijak pada nilai-nilai dasar ajaran Islam sebagaimana pandangan reformisme atau modernisme Islam, juga sepenuhnya menggunakan ijtihad. Bagi Muhammadiyah politik dan kehidupan bernegara merupakan al-‘umur al-dunyawiyyah, sehingga dapat dikembangkan pembaruan, termasuk di dalamnya kreasi dan inovasi, serta mengembangkan banyak alternatif. Muhammadiyah misalnya memandang tidak ada format tunggal dalam hal bentuk negara yang diijtihadkan Islam, seperti keharusan konsep dan adanya negara Islam. Negara Islam atau Negara Islami bentuk dan aktualisasinya beragam sesuai ijtihad umat Islam di suatu tempat atau negara.
Muhammadiyah berijtihad Indonesia yang berdasarkan Pancasila dapat disebut negara Islami atau Darussalam karena lima sila Pancasila sejalan dengan ajaran Islam dan umat Islam ikut merumuskan dan mengesahkannya sebagai dasar negara pada 18 Agustus 1945. Karenanya Muhammadiyah menetapkan Indonesia sebagai Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah. Muhammadiyah juga berijtihad tidak mengambil pendekatan perjuangan politik praktis sebagaimana terkandung dalam Khittah, politik praktis menjadi tugas partai politik dan bukan tugas organisasi kemasyarakatan, sedangkan Muhammadiyah menjalankan fungsi politik kebangsaan yang lebih proaktif sesuai Khittah Denpasar 2002.
Moderat-Berkemajuan
Dalam keputusan Muktamar ke-47 tentang isu-isu strategis Muhammadiyah mengajak umat Islam untuk mengedepankan keberagamaan yang tengahan. Disebutkan, bahwa perkembangan mutakhir menunjukkan gejala meningkatnya perilaku keberagamaan yang ekstrim antara lain kecenderungan mengkafirkan pihak lain (takfiri). Di kalangan umat Islam terdapat kelompok yang suka menghakimi, menanamkan kebencian, dan melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok lain dengan tuduhan sesat, kafir, dan liberal. Kecenderungan takfiri bertentangan dengan watak Islam yang menekankan kasih sayang, kesantunan, tawasuth, dan toleransi. Sikap mudah mengkafirkan pihak lain disebabkan oleh banyak faktor antara lain cara pandang keagamaan yang sempit, miskin wawasan, kurangnya interaksi keagamaan, pendidikan agama yang eksklusif, politisasi agama, serta pengaruh konflik politik dan keagamaan dari luar negeri, terutama yang terjadi di Timur Tengah.
Mencermati potensi destruktif yang ditimbulkan oleh kelompok takfiri, Muhammadiyah mengajak umat Islam, khususnya warga Persyarikatan, untuk bersikap kritis dengan berusaha membendung perkembangan kelompok takfiri melalui pendekatan dialog, dakwah yang terbuka, mencerahkan, mencerdaskan, serta interaksi sosial yang santun. Muhammadiyah memandang berbagai perbedaan dan keragaman sebagai sunnatullah, rahmat, dan khazanah intelektual yang dapat memperkaya pemikiran dan memperluas wawasan yang mendorong kemajuan.
Persatuan bukanlah kesatuan dan penyeragaman tetapi sinergi, saling menghormati dan bekerjasama dengan ikatan iman, semangat ukhuwah, tasamuh, dan fastabiqu al-khairat. Dalam kehidupan masyarakat dan kebangsaan yang terbuka, Muhammadiyah mengajak umat Islam untuk mengembangkan sikap beragama yang tengahan (wasithiyah, moderat), saling mendukung dan memperkuat, serta tidak saling memperlemah dan meniadakan kelompok lain yang berbeda.
Muhammadiyah tidak berada dalam posisi gerakan Islam yang ekstrem, radikal, fundamentalis, liberal, apalagi sekuler. Posisinya tengahan alias wasithiyah atau moderat, inilah karakter khas Muhammadiyah sebagai gerakan Islam. Sudah barang tentu sifat wasithiyah, moderat, tengahan itu dapat diberi gambaran yang bermacam-ragam alias tidak tunggal dan satu wajah. Sebuah pergerakan Islam selalu memiliki banyak pertautan, sehingga posisi tengahan itu dalam hal aqidah, ibadah, dan akhlak memiliki watak khasnya sendiri yang tampak sifatnya yang berdimensi purifikasi; sementara dalam muamalah-dunyawiyah dinamisasi. Puritan dan dinamisnya juga tidak satu warna, sehingga multidimensi.
Dalam pembentukan umat, pandangan wasithiyah merujuk antara lain pada konsep dasar “Ummatan Wasatha” sekaligus “Syuhada ‘ala al-Nas” seperti terkandung dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah 143 dan menjadi ciri dari “Khaira Ummah” (Qs Ali Imran: 110) melekat kuat dengan karakter Muhammadiyah. Lebih khusus lagi, ciri wasithiyah Muhammadiyah itu bukan sekadar beragama dengan sikap tengahan seperti damai, toleran, ukhuwah, dan membangun ihsan dalam hubungan sosial sebagai wujud rahmatan lil-‘alamin.
Pada saat yang sama keberagamaan wasithiyah itu juga harus berkemajuan, sebab watak rahmatan lil’alamin dari Islam sendiri haruslah memberi nilai positif yakni membangun kehidupan yang serbamaju dalam seluruh aspek sehingga lahir peradaban yang unggul atau utama. Dengan demikian, Muhammadiyah itu gerakan Islam moderat berkemajuan. Prinsip-prinsip kemajuan sebagaimana terkandung dalam Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua harus melekat dalam karakter wasithiyah Muhammadiyah!
Sumber: Majalah SM Edisi 14 Tahun 2017