Satu persepsi mungkin mengatakan bahwa menjadi kepala negara atau hakim itu prestisius. Jabatan tinggi, gaji tinggi, hidup makmur, keluarga sejahtera. Sementara apalah rakyat jelata yang tidak berstatus tinggi yang hanya hidup biasa-biasa saja. Bahkan sejarah pun diwarnai gap kemakmuran status kekuasaan. Semakin tidak berkuasa, semakin jelatalah seseorang. Namun di sisi lain, Islam memoles warna lain sejarah antara yang berjabatan dan yang tidak secara harmonis. Bahwa menyandang suatu status tidak lagi menyebabkan seseorang prestisius. Semua sama, semua biasa. Inilah yang menjadikan hukum berjalan seiring dan seirama. Tidak peduli siapa, tidak pandang kuasa.
Adalah Syuraih bin alHarits al-Kindi, seorang tabiin cerdas dan memiliki panutan yang mulia. Agaknya ia turut mewarnai harmonisasi struktur kekuasaan dengan baik. Umar Sang Khalifah pernah berperkara dengan penjual kuda. Harga telah ditentukan dan uang sudah dilunasi. Namun dalam perjalanan kuda yang dibeli mendadak cacat. Menurutnya, ia harus mengembalikan kudanya dan menuntut ganti rugi. “Kuda ini aku kembalikan karena ternyata cacat,” Umar menuntut.
Penjual kuda menyanggah bahwa kuda ia jual dalam keadaan sehat. Merasa tidak mendapat titik temu, Umar mengajukan perkara untuk diselesaikan secara hukum. Maka penjual kuda mengusulkan, “saya ajukan Syuraih bin al-Harits al-Kindi untuk menyelesaikan perkara”. Maka perkara diajukan dan diperdengarkanlah semua penjelasan kronologi satu per satu.
Syuraih yang saat itu belum menjadi sesiapa bertanya kepada Umar, “Wahai Amirul Mukminin, apakah engkau membeli kuda ini dalam keadaan baik?” Umar mengiyakan. Syuraih tanpa memihak dan memandang siapa yang berperkara memutuskan, “ambillah yang telah engkau beli wahai Amirul Mukminin, atau engkau mengembalikannya dalam keadaan sedia kala (sehat bukan cacat)”. Umar takjub puas karena sesimpel ini penyelesaiannya dan bijak hasil akhirnya. Mulai saat itu Syuraih ditugaskan oleh Sang Khalifah menjadi hakim (qadzi) di wilayah Kufah.
Sejarah yang dialogis tersebut menampilkan hubungan struktur kekuasaan yang apik. Bagaimana seorang Umar yang berjabatan nomor satu tidak sungkan membeli di pasar. Si penjual juga tidak merasa Umar adalah seorang yang super karena jabatannya, sehingga ia ciut ketika diperkarakan oleh Amirul Mukminin. Bahkan berani mengusulkan atas inisiatifnya orang yang ia anggap adil menyelesaikan perkara. Syuraih yang ditunjuk tidak pula merasa diistemawakan dan mencoba melerai masalah dengan adil. Maka, pembeli dan penjual pun lega. Tidak lagi Khalifah yang membeli dan rakyat jelata yang menjual. Hanya manusia biasa yang sedang bermuamalah antarsesama.
60 tahun Syuraih menjabat sebagai hakim, selama itu pula ia tidak mempersoalkan antara siapa yang beperkara. Bahkan putranya sendiri pun tidak ia pandang sebagai yang perlu dibela ketika faktanya bersalah.
Kita umat Islam sejatinya sudah memiliki identitas struktur relasi manusia yang baik. Semangat untuk melakukan hal yang benar dan baik sejak Islam diajarkan telah menjadi basis yang perlu diejawantahkan dengn riil. Memperhatikan Sang Qadzi, Syuraih bin al-Harits al-Kindi sangat layak kita panuti. Keislamannya menjadikannya reflektif dalam menyikapi perkara hukum yang tampil di hadapannya. Menjalani kehidupan sebagaimana prinsip Islam mengarahkan kita harusnya memantik kita untuk berkemajuan dan berkesesuaian.
Sumber: Majalah SM Edisi 6 Tahun 2017