“Kun pada Bumi”, Puisi Chaeruddin Hakim
Empat Bait, Tarikat Menuju Sang Khaliq
Oleh: Mahrus Andis
DI tahun 70-80-an, ada sinisme yang muncul di kalangan para seniman Makassar. Dikatakan, untuk ingin cepat menjadi penyair maka sering-seringlah menulis puisi tentang cinta dan Tuhan. Kedua tematik puisi itu sangat mudah diolah ke dalam kata-kata dan terkesan mengandung filosofi yang dalam.
Boleh jadi sinisme ini berangkat dari suatu kenyataan bahwa para peminat sastra, saat itu, cenderung menulis puisi-puisi bertema cinta dan Tuhan karena merasa ada kemudahan berekspresi tanpa harus terbebani oleh diksi-diksi yang rumit. Maka banyaklah ditemukan puisi-puisi rindu kepada sang kekasih yang moral puitiknya sulit dibedakan dengan religiositas kerinduan kepada Sang Khaliq.
Berikut ini, kita mencoba menjejaki puisi Chaeruddin Hakim. Adakah puisi itu termasuk dalam golongan yang tersentil oleh sinisme tersebut ?:
KUN PADA BUMI
Kun pada bumi, Allah
menurunkan ejaan alam,
menurunkan hujan dan
buah-buahan
manusia mengurai
kebahagiaan
Kun pada bumi, Allah
menurunkan tasbih dan
dzikir para Nabi
dan wali-walinya agar
manusia paham arti
kehidupan
Kun pada bumi, Allah
ciptakan bencana
agar manusia paham
arti ketakkuasaan
hingga ia pasrah pada
kuasa semesta
Kun pada bumi,
perjanjian semesta
alam.
Mks, 4 Januari 2020
Puisi-puisi sufistik, memang, sering menjadi lahan ibadah bagi banyak orang. Sejak Hamzah Fansuri (penyair Melayu) sampai Hamzah Zaidin (penyair Kampung Melayu; nama penyair dari Makassar, hanya selingan) nuansa sufisme dalam puisi religius Indonesia semakin akrab. Dan itu sudah menjadi kodrat bahwa manusia benar-benar makhluk tuhaniah.
Kali ini, seorang Chaeruddin Hakim, yang boleh disebut sebagai angkatan “penyair tua” milik Sulsel; tampil pula dengan puisi bergaya sufistik. Lewat puisinya “Kun pada Bumi” tersebut, dia mencoba menggamit rasa tuhaniah pembaca untuk reintrospeksi ke ceruk batin yang pekat. Penyair yang sering diundang keliling panggung melantunkan “kelong yabelale” (kidung ninabobo) Suku Makassar ini, masih tergolong aktif sebagai guru di salah satu sekolah di Makassar.
Sepintas, puisi berjudul “Kun pada Bumi” itu bukanlah sesuatu yang luar biasa. Hanya berupa sederetan pernyataan sederhana yang dikemas dengan bahasa yang rapi ke dalam struktur bait-bait puitis. Namun di baliknya, pilihan diksi pada judul puisi tersebut tercerminan upaya penyair menggiring imaji pembaca ke ranah kontemplasi yang menghakikat, yakni menyoal kesadaran manusia atas “sunnatullah”; perjanjian antara Khaliq dengan makhluqnya.
“Kun” secara filosofis adalah indeksisasi sakralitas kemahaan zat yang wajib “ada” bagi Allah Rabbun Jalil. Chaeruddin Hakim melakukan suatu proses eskavasi nilai-nilai rububiyah ke dalam puisinya sebagai bentuk dakwah tentang hakikat penciptaan bumi dan segala isinya. Tanpa terpaksa, pembaca ikut mengalir ke dalam bait-bait puisi, dan pada tingkat kesadaran tertinggi, kita pun harus meyakini bahwa kesemua proses hidup manusia bermuara pada sebuah sistem kosmologis yang bernama bumi. Di bumi inilah Tuhan mengatur rezki ke seluruh manusia.
Pada bait awal puisinya, Chaeruddin Hakim menulis:
” Kun pada bumi, Allah
menurunkan ejaan alam
menurunkan hujan dan
buah-buahan
manusia mengurai
kebahagiaan “
Frasa “ejaan alam” pada bait puisi di atas menyarankan kesan awal tentang hakikat penciptaan manusia yang memiliki potensi akal (kecerdasan, iqra’ dilambangkan “ejaan”) untuk mensyukuri segala bentuk nikmat dari Allah SWT. Mensyukuri nikmat-Nya, adalah jalan bagi seluruh manusia untuk meraih kebahagiaan dunia wal akhirat.
Bagi penyair, nikmat kebahagiaan itu harus langgeng seiring dengan langgengnya lafaz zikir (ingatan) setiap saat, seperti yang telah menjadi wirid bagi para Nabi dan hamba-Nya yang dimuliakan. Statemen sufistik ini mengingatkan kita pada fatwa-fatwa ulama tentang tegaknya langit lantaran ditopang dengan zikir dan wirid para malaikat. Bahkan di ceruk terdalam pemahaman tasawuf, ada tarikat praktis menuju Allah, yaitu dengan salat. Karena salat adalah suatu proses “mi’rajul mu’min”, di mana keadaan jiwa seorang hamba sedang mabuk di lautan “hub” dan “isyk”, cinta dan rindu kepada-Nya; melalui zikrullah. Untuk tafsiran ini, Chaeruddin Hakim menulis:
“Kun pada bumi, Allah
menurunkan tasbih
dan dzikir kepada para
Nabi dan
wali-walinya …”
Kekhilafan terhadap rasa syukur dan zikir kepada Allah, akan menghadirkan murka-Nya berupa bencana sebagai peringatan, bahkan mungkin azab bagi umat manusia:
“Kun pada bumi, Allah
ciptakan bencana
agar manusia faham
ketakkuasaan
hingga ia pasrah
pada kuasa semesta.”
Di titik puncak kesadarannya, manusia pun harus yakin bahwa proses kehidupan ini berawal dari “kun” (Al Khaliq) kepada “bumi” (makhluq) sebagai rahmatan lil alamin; sunnatullah (perjanjian) bagi seru sekalian alam:
Kun pada bumi
perjanjian
semesta alam.”
Puisi Chaeruddin Hakim di atas tergolong diafan, mudah dirasakan pesan moralnya karena digarap dengan bahasa prosais. Majas paralelisme-anafora, oleh penyair, dimanfaatkan untuk menegaskan idealitas sufistik lewat ungkapan repetitif “Kun pada bumi” di setiap bait puisinya.
Lewat gaya prosais, kelenturan irama setiap larik terasa kuat menopang struktur keutuhan fisikal dan moral puisi tersebut. Boleh dikatakan, keseluruhan bait puisi itu terstruktur secara kronologis dari awal hingga endingnya.
Apabila kita ingin menjejaki secara panjang lebar, maka dapat dipahami bahwa keempat bait puisi tersebut adalah struktur zikir yang sering dilantunkan seorang muslim di akhir salatnya. Untuk membuktikan hal itu, mari kita perhatikan kembali keempat bait puisi dimaksud.
Pada bait pertama puisinya, pembaca langsung disodori sebuah pintu masuk ke alam hakikat manusia, yaitu: akal. Dengan akal ini, manusia memiliki kecerdasan untuk menerima agama sebagai rahmat kehidupan. Pada posisi ini, pembaca dituntun ke sebuah proses katarsis, yaitu pensucian manusiawi sebelum masuk ke wilayah pensucian Ilahiah ( baca: subhanallah).
Selanjutnya pada bait kedua, penyair mulai memaparkan makna kehidupan yang sesungguhnya. Di lapisan zikir ini, pembaca dibimbing ke tingkat praktik mensyukuri nikmat-karunia-Nya (baca: Alhamdulillah).
Bait berikutnya, penyair menyadarkan pembaca tentang sifat kodrati manusia yang daif; lemah tanpa kuasa. Pada tingkatan ini, manusia berada di lapis kesadaran tertinggi bahwa hanya Tuhanlah pemilik segala kekuasaan. Dan kepada-Nyalah manusia wajib berserah diri (baca: Laa ilaaha illallah).
Dan di ending puisinya, Chaeruddin Hakim pun mengunci keyakinan pembaca pada puncak ma’rifatullah, yaitu; Allah Maha Besar. Dialah penentu takdir baik dan takdir buruk manusia. (baca : Allahu akbar, wa laa haula wa laa kuwwata illa billah).
Nah, apabila inti keempat bait puisi itu dilafalkan dalam struktur zikrullah, maka akan terdengar lantunan irama yang indah, yaitu: “Subhanallahi walhamdulillahi walaa ilaaha illallaahu wallaahu akbar walaa haula walaa quwwata illaa billaah.”
Empat bait di atas, adalah pengantar memasuki gerbang tasawuf dalam struktur fisik puisi yang bersahaja. Kejelian memanfaatkan gaya majas dengan ketepatan diksi membuat puisi Chaeruddin Hakim tampak memiliki ruh. Puisi itu terasa membujuk puncak perenungan batin pembaca untuk menyingkap tirai di balik “Kun” sebagai awal adanya kehidupan di atas bumi.
Karena itu, di mata saya, “Kun pada Bumi” adalah puisi yang cukup arif untuk mengajak dan mengawal tarikat pembaca ke pintu tasawuf menuju Allah Rabbun Jalil. Ini juga yang membuktikan bahwa menulis puisi tidak harus menggunakan diksi-diksi yang rumit, apalagi “merumit-rumitkan” kata-kata. Dan rupanya, melalui puisinya ini, Chaeruddin Hakim terhindar dari sinisme di awal tulisan di atas.
Chaeruddin Hakim lahir di Makassar 1962. Tamat di SMAN 3 Makassar, ia menyelesaikan S1 dan S2-nya di IKIP Ujungpandang (sekarang UNM) pada fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Aktif menulis puisi sejak 1980 dan semuanya telah terbit menjadi buku. Penerima Celebes Award 2007 dari Pemda Sulsel ini, juga tercatat namanya di dalam buku “Apa & Siapa Penyair Indonesia” yang diterbitkan oleh Yayasan Hari Puisi-Jakarta, 2018
Mahrus Andis, Aktivis Nahdlatul Ulama Bulukumba