Gerakan “pencerahan” sejatinya adalah dakwah Islam itu sendiri. Pelaksanaannya dilakukan melalui pengembangan strategi dari revitalisasi (penguatan kembali) ke transformasi (perubahan dinamis) setiap amal usaha dan aksi sosial yang memihak ke kaum dhu’afa dan mustadh’afin. Pemikirannya berpijak pada koridor tajdid, purifikasi dan dinamisasi, bersamaan dengan aspek praksis pemecahan masalah sosial.
Dalam pendidikan, dimaksudkan sebagai pengembangan potensi akal budi manusia secara utuh. Dalam pengembangan keagamaan, melalui pengayaan nilai-nilai aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalah dunyawiyah secara shalih individu dan sosial.
Dari keseluruhan konsep itu, jika kembali ke dasar ajaran Islam, esensinya adalah bergerak dari fithrah, berjalan di atas fondasi fithrah, dan kembali ke fithrah. Bagian inilah yang tidak dimiliki agama lain. Sementara dalam Islam secara lengkap telah diuraikan oleh Nabi Muhammad saw, yang diikuti para shahabatnya, selama 22 tahun, 22 bulan dan 22 hari, di Makkah dan Madinah.
“Gerakan Pencerahan” di dalamnya mengandung tiga karakter yang berenergi: al-tawassuth (sikap tengahan), al-tanwir (sikap tercerahkan), dan al-intaj (sikap produktivitas). Tiga karakter itu merambah secara seimbang baik dalam tuntutan lahir maupun batinnya, individu maupun kolektif.
Munculnya tiga sikap dalam diri setiap orang adalah karena pemanfaatan potensi optimal yang disebut dalam dunia ilmu pengetahuan: Indigenous, Inner Dynamic, Inner Capasity. Bahasa tradisi sosial sering terdengar apa yang disebut: nurani, lubuk hati, hati nurani, atau sanubari.
Dalam Al-Qur’an, pemaknaan istilah-istilah itu melalui ungkapan para pemangkunya, yaitu Ulu al-Albab, Uli al-Nuha, Uli al-Abshar, Dzi Hijr, Ulu al-‘Ilmy atau Qalbun Salim. Artinya, tingkatan penguasaan keilmuan tertinggi dan terdalam yang merapat dengan potensi itu bersamaan dengan tuntutan karakternya. Dalam Qs al-Maidah [5]: 15-16 disebut al-nur (cahaya).
Energi yang muncul karena penyebutan nama itu merapat dengan getaran semua potensi dalam diri manusia di atas akan menuntun kesalihan amal, bangunan rasa kebersamaan untuk berbagai kebaikan, dan mengikat arah kebersamaan yang nilai manfaatnya sangat besar bagi semua makhluk Allah di alam raya ini.
Maka, semua perencanaan program yang terumuskan melalui Muktamar ke-47 itu, akan benar-benar mengantarkan pada tingkat capaian yang sangat besar dalam waktu tidak perlu melewati satu abad lagi, jika kaidah putaran spiritual itu berjalan dengan benar: berangkat dari fithrah, berjalan di atas fondasi fithrah, dan berhenti berdasar standar fithrah-nya. Wa Allahu a’lam.
H Ayat Dimyati, Dosen Tetap UIN Gunungdjati, Bandung
Sumber: Majalah SM Edisi 7 Tahun 2017