Pendidikan Ma’rifatullah
Satu tujuan utama diwajibkannya pendidikan dalam Islam adalah agar manusia mengetahui perihal sesuatu yang sebelumnya tidak ia diketahui. Pengetahuan mengenai sesuatu sebagaimana adanya dalam khazanah Islam disebut sebagai “ilmu atau science” itu sendiri sebagaimana didefinisikan oleh Ibnu Hazm. Meski harus dibedakan antara pengetahuan biasa dengan ilmu itu sendiri. Pengetahuan biasa lazimnya didasarkan pada opini atau panca indera, sedang ilmu sudah melalui tahap verifikasi akan kebenarannya hingga menjadi lebih sistematis dan teroganisir. Setelah mengetahui “sedikit” perihal sesuatu di alam semesta ini, -karena memang pengetahuan manusia terbatas- diharapkan tetap ia berikhtiar menjadi manusia paripurna, atau insan al-kamil.
Sosok manusia yang mengetahui bahwa dirinya adalah bukti wujud atau eksistensi Allah SwT yang memilih menciptakan makhluk bernama “manusia”, yang memiliki keunggulan sebagai ciptaan yang sempurna dibandingkan makhluk lain. Ketika malaikat diciptakan dengan satu potensi kebaikan, setan diciptakan dengan satu potensi keburukan, manusia diciptakan dengan membawa kedua potensi tersebut, baik dan buruk. Maka, manusia yang ‘alim (mengetahui dengan beragam tingkatannya hingga yang tertinggi diistilahkan dengan al-‘allamah) ukuran awal dan puncaknya adalah mengetahui pengetahuan dan ilmu mengenai dan seputar penciptanya (Khaliq), yang dalam ajaran Islam dikenal dengan istilah ma’rifatullah.
Dalam sebuah riwayat panjang yang direkam oleh At-Tirmidzi, Nabi Saw. berpesan kepada sahabat junior, Ibnu Abbas ra.:
احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللَّهَ تَجِدْهُ أَمَامَكَ، تَعَرَّفْ إِلٰى اللَّهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشدَّةِ….”
“Jagalah Allah, Allah akan menjagamu. Jagalah Allah dan Dia akan di hadapanmu (selalu bersamamu dan menolongmu). Kenalkanlah atau dekatkanlah (dirimu) pada Allah di saat (kamu dalam keadaan) lapang (gembira), supaya Allah mengenali (menolong)mu di saat (kamu dalam keadaan) susah (sempit)…..”
Dalam Hadits yang dinilai shahih oleh beberapa kritikus Hadits modern seperti Al-Mubarakfuri dan Al-Albani tersebut, tersirat materi dasar pendidikan Islam yang harus diajarkan kepada peserta didik tentang pentingnya mengenal dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Diksi kata perintah dengan “ta’arraf” yang bertasydid oleh Nabi Saw. dalam kajian morfologi Arab (asal muasal kata), mewakili suatu usaha keras dalam mengerjakan sesuatu agar hasil yang diinginkan pun terbaik (lit-takalluf). Ada penekanan penting pada pesan Nabi di atas kepada Ibnu Abbas ra., yang meski masih kecil dan belum mampu menalar, namun mulai ditekankan untuk mengenal dimensi-dimensi ketuhanan.
Mengingat kedudukannya sebagai pondasi dan bekal kehidupan ke depannya. Bahwa satu-satunya Zat sebagai pencipta, penguasa dan pengatur pergerakan alam (mikro dan makro) serta isinya, termasuk erat terkait dengan pergerakan dimensi lahir dan batin manusia. Sebuah materi pendidikan yang integral-holistik. Dengan pada awalnya seseorang telah mengenal Allah, selanjutnya ia akan mengenal segala macam perkara-urusan dunia akhirat yang tentu saja dari sudut pandang Allah, bukan sekedar perspektif manusia yang sangat terbatas.
Mengenal Tuhan dalam hal ini adalah proses yang harus terus dilakukan oleh manusia sepanjang hidupnya dengan tanpa henti (long life process). Tidak hanya itu, Allah dalam ini telah memulai proses tersebut dengan menjadikan diri-Nya sebagai pendidik pertama dengan menginformasikan secara aktif siapa sejatinya Dirinya dalam berbagai media, baik dalam ayat-ayat qauliyah (Al-Qur’an dan Hadits) maupun ayat-ayat kauniyah-Nya (alam semesta). Artinya, pengetahuan mengenai Tuhan dalam Islam adalah sesuatu yang memungkinkan, meskipun kemudian diikuti dengan perdebatan yang memunculkan mazhab-mazhab kalam mengenai Zat dan Sifat Tuhan.
Zat dan sifat Tuhan menjadi topik utama ma’rifatullah. Terlepas dari perdebatan dalam hal ini, penekanan ada pada bagaimana manusia mengenal nama-nama indah (Asma’ al-Husna) dan sifat-sifat Tuhan yang banyak bertebaran dalam Al-Qur’an dan Hadits untuk kemudian diresapi dan diteladani. Bukan dengan maksud untuk menyamai Zat-Nya, melainkan menjadi manusia rabbani, manusia yang meniru dan meneladani sifat-sifat positif dan terpuji Allah yang mungkin bagi manusia.
Misalnya, “menulis” adalah salah satu cara untuk meniru keabadian sifat “Hidup, Al-Hayyu” Tuhan, karena dengan menulis, kita sebagai manusia, beserta segala pemikiran , gagasan, perasaan, dan renungan-renungan, akan tetap hidup, sekalipun kita sudah meninggalkan dunia ini (Mulyadhi Kartanegara, 2017). Ketika Allah menamai Dirinya dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahim, maka demikian menjadi menjadi semangat bagi kita untuk terus menebar kasih sayang kepada seluruh makhluk di alam semesta ini, terlebih kepada sesama manusia tanpa membedakan latar belakang dan perbedaan yang ada.
Tujuan Pendidikan Ma’rifatullah
Pendidikan ma’rifatullah sejatinya bertujuan meruwat fitrah ketuhanan yang telah melekat dalam hati sanubari seluruh manusia sebelum klasifikasi kafir dan mukmin melekat pada seseorang. Karena fitrah ini telah ada sejak ruh dihembuskan pada seluruh janin yang ada dalam kandungan saat berumur 40 hari. Fitrah ini tidak akan pernah hilang, namun dapat bergerak timbul tenggelam sebagaimana pergerakan iman, yazid wa yanqush (naik-turun, fluktuatif). Artinya, pada hakikatnya dalam pandangan Islam, tidak seorang manusia pun yang tidak bertuhan. Yang ada hanyalah mereka yang mempertuhankan sesuatu yang bukan Tuhan yang sebenarnya (Allah).
Ma’rifatullah yang melekat dalam fitrah manusia kemudian dilengkapi oleh Allah dengan aturan (Syariat), baik berupa perintah maupun larangan untuk memelihara keberlangsungannya. Masalah menjaga fitrah ini pun menjadi salah satu pokok dari maqashid asy-Syariah, yaitu tujuan umum mengapa Allah harus menurunkan syariat-Nya yang antara lain untuk menjaga agama (ad-dien). Yang pada intinya adalah menjaga fitrah manusia itu sendiri untuk bertuhan.
Diperintahkanlah shalat dan tuntunan ibadah lainnya, serta dilaranglah hal-hal yang mengarah kepada kesyirikan. Sebuah Hadits Nabi yang berisikan pemaksaan terhadap anak yang sudah berusia 7 tahun untuk melaksanakan shalat, pada dasarnya adalah salah satu sarana untuk menanamkan dan menjaga keberlangsungan ma’rifatullah untuk senantiasa dalam ma’iyatullah (keridhaan Allah).
Mukhlis Rahmanto, Dosen Fakultas Agama Islam UMY
Sumber: Majalah SM No 20 Tahun 2017