“Mula-mula, agama Islam itu cemerlang, kemudian kelihatan makin suram. Tetapi sesungguhnya yang suram itu adalah manusianya, bukan agamanya.”
Pernyataan KH Ahmad Dahlan itu dikutip oleh KRH Hadjid dalam Pelajaran KHA Dahlan, 7 Falsafah dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an. Serupa dengan perkataan Muhammad Abduh: al-islamu mahjubun bi al-muslimin. Keagungan Islam tertutupi oleh perilaku umatnya yang jauh dari nilai Islam itu sendiri. Islam yang kita anut secara normatif sama dengan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad, namun perilaku dan dampak dari ajaran yang kita jalankan, berbeda jauh dengan yang dipraktikkan Nabi teladan.
Dalam tataran global, Islam sedang mengalami krisis yang bersifat multidimensi dan kompleks. Wajah Islam tampak kusut dan runyam. Arus besar umat Islam tidak mampu melihat dan menyadari fenomena keterpurukan ini sebagai sebuah masalah, tidak memiliki sense of crisis. Dalam pandangan mereka, yang terlihat justru Islam sedang menghadapi ancaman dan konspirasi dari pihak luar.
Cendekiawan Muslim, Azyumardi Azra mengajak umat Islam untuk mengevaluasi diri dan tidak selalu menyalahkan orang lain. “Masalah di Timur Tengah terjadi karena mereka tidak bisa menyelesaikan masalah internalnya, tidak selalu karena konspirasi. Jangan terlalu banyak dikuasai pikiran konspiratif,” tuturnya. Pandangan menuding pihak luar selalu ingin mengalahkan kita, hanya akan membuat umat Islam mengidap mentalitas negatif, mudah curiga, lupa bercermin, dan menjadi pecundang.
Masalah umat Islam hari ini, menurut UKP-DKAAP Syafiq A Mughni, adalah dalam hal kurangnya kualitas, sehingga mudah goyah ketika menghadapi perubahan dan terpaan badai dari dalam dan dari luar. Umat Islam yang mayoritas secara kuantitas ini mudah untuk diadu domba dan bercerai berai. Kepentingan pribadi dan golongan kerap meluruhkan ikatan ukhuwah menuju kepentingan bersama.
Hal senada dikemukakan guru besar sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang, Syamsul Arifin. Menurutnya, di antara faktor yang semakin memperlemah rajutan kohesivitas umat Islam adalah faktor politisasi dan komodifikasi agama oleh para elite untuk kepentingan sesaat. “Ikhtilaf harusnya menjadi rahmat, tapi sekarang ikhtilaf menjadi iftiraq (perpecahan),” ulasnya. Hal ini tidak sesuai dengan karakter Islam sebagai agama rahmat bagi semesta. Wajah Islam semisal ini bahkan tidak memberi rahmat bagi pemeluk Islam itu sendiri, internal umat justru saling membenci.
Syamsul Arifin menyatakan, saat ini terjadi euforia beragama di seluruh dunia. Ada kegairahan dan kesemarakan dalam beragama. Ruang-ruang publik memberi kenyamanan untuk ritualisasi ibadah. Peningkatan ghirah keagamaan disebabkan oleh salah satunya karena terjadi peningkatan kemakmuran, yang mendorong orang untuk memenuhi kebutuhan lainnya dalam rangka mencari kebahagiaan, berupa agama.
Jumlah pemeluk Islam di seluruh dunia terus bertambah secara cepat. Banyaknya pemeluk agama tidak berbanding lurus dengan perilaku keagamaan. Kesemarakan beragama hanya dalam tataran artificial yang mudah dikapitalisasi untuk kepentingan elite dalam lakon dramaturgi. Syamsul Arifin mengutip Peter L. Berger, agama seharusnya menjadi the sacred canopy. Fungsi kanopi agama adalah, pertama, fungsi estetika. Agama berfungsi memperindah. Perilaku umat beragama harusnya indah, berakhlak karimah. Orang beragama harus memiliki keindahan laku yang disukai orang lain. Kedua, fungsi protektif. Agama berfungsi melindungi dan memberi kenyamanan.
Fenomena belakangan ini mengingatkan pada kondisi zaman Arab jahiliah: antar kabilah saling berpecah belah, manusia (perempuan) direndahkan martabatnya, nilai moralitas kandas, aktivitas ekonomi diselenggarakan dengan saling menindas, yang kaya semakin berkuasa dan yang lemah semakin tersiksa. Mereka menolak ajaran etika dan eskatologis yang meniscayakan adanya pengadilan moral atas semua tindakan manusia.
Dalam kasus tertentu, laku kita serupa dengan laku jahiliah. Nilai-nilai integritas, prinsip egalitarianisme, dan ajaran etika, sering luruh ketika melakukan aktivitas politik, sosial, ekonomi. Ajaran luhur agama kadang kita tutupi dengan topeng kepentingan pragmatis. Ego lebih kita ke depankan dibanding wahyu dan rasio. Terlebih di era pasca-kebenaran, fakta objektif tentang agama atau kebenaran wahyu menjadi tersamarkan oleh ragam kepentingan, kecenderungan, dan perasaan emosional.
Di saat seperti ini, pemeluk agama membutuhkan pencerahan. Supaya agama yang bersumber pada wahyu kembali menjadi AlFurqan, pembeda antara kebenaran dan pembenaran. Menutup dan mengingkari kebenaran, adalah bagian dari perilaku kafir, yang berakar dari kata kufr (cover). “Kita dapat menangkap isyarat bahwa orang kafir dalam artinya yang luas tidak harus berbaju agama atau keyakinan, tetapi siapa saja yang punya sikap tertutup dan tidak peduli terhadap pihak lain yang berbeda pandangan,” (Tafsir At Tanwir, hlm 115).
Pencerahan harus dilakukan dengan paradigma dan cara pandang yang tepat, supaya tidak melahirkan ekstrem baru yang kontraproduktif. Respons balik dari kondisi otoritarianisme yang memasung kebebasan beragama dan bersekutu dengan kekuasaan, melahirkan sekularisme. Respons dari merebaknya taklid buta dan tertutupnya pintu ijtihad yang terbelenggu oleh cara berpikir, melahirkan liberalisme. Muhammadiyah menginginkan pencerahan yang wasathiyah berbasis din al-tanwir yang memberi solusi lahir dan batin bagi berbagai urusan kemanusiaan.
Kita belajar dari pencerahan di Eropa, ketika pandangan teosentrisme beralih ke paham antroposentrisme justru melahirkan masalah baru dan mengingkari fitrah kemanusiaan. Menyebabkan disorientasi dalam segala aspek kehidupan. “Barat menjadi simbol keberhasilan dalam dunia materi, akan tetapi sekaligus juga menjadi contoh dari kekeringan dalam dunia kerohanian, seperti yang pernah diungkapkan oleh sejarawan terkenal, Arnold Toynbee,” tulis Afan Gaffar dalam Al-Qur’an dan Tantangan Modernitas (1990).
Pencerahan di Barat menggunakan slogan: sapere aude! Berani menjadi bijak, dengan pemahaman yang tidak taklid. Pencerahan Muhammadiyah berakar dari Kiai Sang Pencerah, yang menyerukan penggunaan akal suci-murni. Dalam pidato “Kesatuan Hidup Manusia” di Kongres Muhammadiyah 1922, Kiai Dahlan menyatakan bahwa jalan manusia menuju keselamatan hidup di dunia dan akhirat harus dengan akal sehat, “Adapun akal yang sehat itu ialah yang dapat memilih segala hal dengan cermat dan pertimbangan.” Diksi dalam MKCH: “akal pikiran yang sesuai dengan jiwa ajaran Islam”. Inilah karakter ulul albab.
Menurut Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Syamsul Anwar, pencerahan adalah proses pencarian jalan Tuhan yang bergerak dinamis dan tidak pernah berhenti (Qs. 29: 69). Pencerahan Muhammadiyah mengepakkan dua sayap: purifikasi dan modernisasi. Semboyan al-ruju ila Al-Qur’an wa As-Sunnah menggunakan manhaj tarjih, yang memadukan pendekatan bayani (nash atau wahyu), burhani (ilmu pengetahuan dan teknologi), irfani (kepekaan nurani dan ketajaman intuisi batin). Ijtihad dengan metode tarjih, dilandasi oleh wawasan paham agama, tajdid, toleransi, keterbukaan, dan tidak berafiliasi mazhab. (ribas)
Sumber: Majalah SM Edisi 11 Tahun 2019