Muhammadiyah Pasca Tanwir Bengkulu 2019 mengemban amanat untuk mencerahkan umat berdasar Risalah Pencerahaan hasil Tanwir Muhammadiyah Bengkulu. Untuk membicarakan hal ini, Suara Muhammadiyah mewawancarai Prof Dr Musa Asy’arie, Guru Besar Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang juga mantan Rektor UIN Suka. Berikut pemikirannya:
Bagaimana Risalah Pencerahan yang harus dilakukan Muhammadiyah?
Risalah yang dilakukan Muhammadiyah untuk melakukan pencerahan harus berdasarkan Risalah Rasulullah Muhammad yang telah berhasil melakukan pencerahan umat pada eranya. Pencerahan harus dilakukan dengan ittiba’ Nabi.
Allah sendiri dalam Al-Qur’an berfirman: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak nenyebut Allah (Qs 33:21).
Lalu apa yang harus ditiru dari Rasulullah?
Nabi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul, ia adalah filosuf/ pemikir. Jadi menurut saya keteladanan dalam menggunakan akal itu penting karena berakal itu mendasari ibadah dan amal Jadi kalau akalnya tidak ittiba’ Nabi tetapi amalnya ittiba’ Nabi buat saya itu penyimpangan yang besar. Karena tanpa akal ibadah tidak bisa diterima, harus ada syarat akil dan baligh. Tetapi kita sering kacau dalam mencari rujukan, sebetulnya rujukan kita berpikir itu kemana?
Nah kalau berpikir itu mempunyai peranan yang sangat besar, maka seharusnya rujukan kita berpikir itu ke Rasulullah. Sekarang kita lihat bagaimana orang berakal itu disebut dalam Al-Qur’an. Di antaranya dalam Qur’an Surat 3 ayat 190: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”.
Sebelum jadi Nabi, Rasulullah adalah seorang filsuf atau pemikir, lalu turunnya wahyu pertama itu sebagai koreksi cara berpikir Nabi atau sebagai guidens berpikir Nabi?
Wahyu sebagai pembenaran untuk perenungannya bolak balik ke gua hira’, sehingga menemukan jalan keluar kenabian untuk transformasi kehidupan ummat dari dzulummat/ kegelapan menuju jalan terang/ pencerahan, melalui perubahan teologis yaitu tauhid, karena hakikat fundamental realitas adalah teos atau teologis.
Teos sebagai dasar keberadaan antropos/manusia dan kosmos/alam semesta. Lihat dengan melakukan metode pemikiran itu, Nabi mampu membaca realitas. Dalam bidang ekonomi mampu melihat sistem riba yang merugikan dan mengakibatkan kemiskinan dan kesenjangan dan kemudian mendapatkan solusinya. Dalam hal politik, Nabi mampu melihat kesukuan, fanatisme sempit dan feodalisme menjadi penghalang kehidupan masyarakat.
Dalam bidang sosial, perbudakan, pembunuhan anak perempuan dan kekerasan juga merajalela. Dalam bidang budaya, fanatisme, materialism dan hedonism menjadi pakaian masyarakat. Dalam bidang agama, penyembahan patung, penuhanan uang dan kekuasaan menjadi akar masalah.
Realitas ekonomi, politik, sosial, budaya dan agama terjadi akibat teologi kebendaan yang jahiliah, karena menyembah pada ciptaan manusia patung, ideologi, uang dan kekuasaan. Dengan metode berpikirnya, Nabi mampu mengubah itu semua.
Kalau begitu kebebasan berpikir yang harus dikembangkan Muhammadiyah sesuai Wahyu pertama tersebut?
Iya, kerena kodrat berpikir itu bebas, tidak bisa dipenjara dan kesalahan berpikir/ijtihad itu tidak kriminal, masih dapat pahala satu, kalau benar pahalanya dua, Al Hadits. Mahasiswa yang menjawab soal ujian semester salah itu tidak bisa dikenai sanksi pidana. Kesalahan berpikir an sich itu bukan kejahatan.
Tetapi kesalahan berpikir bukankah dapat menyebabkan kesalahan beramal?
Bisa sekali, kalau berpikir dikuasai nafsu, karena itu perlu tazkiyatunnafs, kesucian jiwa, kesucian hati, dalam ta’lim bil aql berdarkan kitab suci akan menghasilkan hikmah dan kebenaran fundamental.
Berpikir dan beramal keduanya berhubungan tapi beda. Itu yang harus disadari.
Menselaraskan berpikir dan beramal sangat penting di Muhammadiyah, karena yang membedakan Muhammadiyah dengan organisasi lain adalah amal usaha. Bagaimana menurut Prof?
Ya, tapi berpikir dan beramal itu berbeda dan bisa tidak selaras. Ibarat lakilaki dan perempuan itu beda, meskipun selalu berhubungan. Jadi keselarasan itu bisa terjadi kalau didasarkan pada kesucian hati. Jadi amal usaha Muhammadiyah akan rusak kalau tidak didasarkan kesucian hati.
Saya setuju amal usaha terus dikembangkan tapi harus didasarkan pada kesucian hati dan menjalankan sifat kecerdasan secara sistemik.
Kesucian hati dan sifat kecerdasan secara sistematik yang bagaimana yang harus dikembangkan Muhammadiyah?
Amal usaha Muhammadiyah harus digerakkan secara cerdas (kreatif inovatif dan berkelanjutan) dan dilaksanakan dengan kawalan kemampuan untuk membaca realitas dinamik kehidupan dengan kecerdasan sistematik, artinya dilaksanakan dengan kesucian hati agar tidak dikuasai hawa nafsu, jujur (shidiq) amanat (akuntabilitas) dan tabligh (terbuka atas peran publik) dan fathonah (kecerdasan multidimensional dan sistemik). Dengan demikian amal usaha Muhammadiyah akan makin kuat berkembang dan berkemajuan.
Hati suci biasanya berlangsung saat anal usaha dimulai tetapi ketika berkembang dan sudah besar sering hati suci ini memudar, bagaimana cara mempertahankan hati suci ini?
Untuk itu amal usaha harus dilaksanakan dengan kecerdasan sistemik, dari kesucian hati diturunkan ke shidiq amanah tabligh fathonah dalam praktik manajemennya yang profesional akuntabel dan berkelanjutan agar kesucian hati tidak memudar menjadi hawa nafsu. Agar amal usaha tidak jadi ajang persaingan yang tidak sehat. Demikian juga hal ini berlaku untuk kegiatan lain yang dilakukan Muhammadiyah. (Lutfi)
Sumber: Majalah SM Edisi 11 Tahun 2019