Oleh: Andri Rosadi, PhD
London 2008, aku berjalan sendiri menyusuri trotoar di pinggiran kota. Tiba-tiba, sekelompok anak muda dengan mobil terbuka lewat dan berhenti tepat di depanku. Tak kusangka, mulut mereka berpacu mengeluarkan berbagai sumpah serapah padaku, seorang muslim dari negara berkembang. Sangat mudah mengenali fokus kebencian mereka pada Islam dan Muslim, sebab kata-kata itu terdengar jelas.
Dalam nada yang sama, coretan “go to hell, Paki” di berbagai dinding toko dan tembok bertebaran dimana-mana. Ini adalah salah satu perilaku primitive yang masih bisa ditemukan di negara modern, Inggris. Dalam kacamata evolusi, Inggris Victoria dianggap oleh para antropolog klasik sebagai puncak evolusi peradaban manusia. Perilaku ini muncul di saat mereka sedang berada di fase puncak peradaban!
Di tahun yang sama, namun di sudut lain dari kota London, aku kembali mengalami perlakuan itu: caci maki dan sumpah serapah pedas, karena aku diduga seorang Muslim. Ketika itu, aku berjalan dengan teman Muslim keturunan India yang berjanggut lebat namun rapi. Pelakunya sama denga kejadian pertama: sekelompok anak muda.
Siapa yang menularkan kebencian dan islamophobia ini pada anak muda? Apakah ini hasil temuan mereka sendiri, atau diproduksi dan direproduksi secara sistematis oleh kelompok tertentu? Entahlah. Yang jelas, white supremacy tak pernah jadi tertuduh, karena warna kulit mereka yang putih punya kemampuan untuk ‘memutihkan’ perilaku hitam yang mereka lakukan.
Di kota yang sama, suatu ketika Archbishop of Canterbury, Rowan Williams, mengusulkan agar kaum Muslim di Inggris diizinkan untuk menggunakan hukum keluarga dalam internal keluarga mereka. Previlese ini telah lama dinikmati oleh komunitas Yahudi yang menggunakan hukum Yahudi dalam keluarga mereka. Bagaimana respons masyarakat Inggris? Tak perlu pikir panjang, sebab jawabannya sudah sangat jelas: menolak dan bahkan mengecam usul Archbishop itu. Tak usah bicara demokrasi disini jika isunya berkaitan dengan hak kaum Muslim.
Berangkat ke fakta lain, dalam mata kuliah Sira in Classical and Contemporary Scholarship, penjelasan professor pada hari pertama pertemuan berkaitan dengan konsep writer. Menurutnya, writer adalah seseorang yang membuat sesuatu eksis, muncul. Aku belum ngeh apa maksudnya hingga menjelang akhir perkuliahan, ia bertanya: was the Prophet a writer? Jika Nabi seorang pengarang, berarti al Quran adalah hasil karangannya.
Beginilah cara mereka mengkonstruksi pengetahuan tentang Islam secara ‘akademik’. Pertanyaannya adalah: untuk apa mengkonstruksi pengetahuan jika tidak akan menambah mutual understanding? Ada paradox dalam komitmen ilmu humaniora Barat, bahwa tujuan tertinggi disiplin pengetahuan itu adalah untuk better understanding among people, namun mengabaikan feeling dan emosi keagamaan komunitas yang mereka pelajari.
Menurut Hisham Sharabi, intelektual Palestina yang mengajar di George Town University, Barat tidak kekurangan data mempelajari budaya Muslim. Akar bias dan kebencian itu justru bersumber dari perspektif dan teori yang pada dasarnya tidak ilmiah dan tidak obyektif, sebab merefleksikan suatu tendensi, keyakinan dan kepentingan (tersembunyi dan bawah sadar). Hal ini bisa diungkap dengan mendekontruksi bahasa yang digunakan para peneliti dalam karya ilmiah mereka, cara mereka mengekspos obyek-obyek yang menjadi kajian, dan obyek-obyek yang mereka hindari dalam penelitian itu. Dalam kasus Islam, banyak tulisan para sarjana Barat hanya terfokus pada apa yang ditolak oleh kaum Muslim, bukan pada isu utama yang menjadi core kehidupan kaum Muslim.
Secara historis, akar misunderstanding ini bisa dilacak pada tiga milestones: crusade, kolonialisme dan orientalisme. Jika anda penggemar roti croissant, ingatlah bahwa pada awalnya, bentuk roti yang mirip bulan sabit (simbol Islam) itu dibuat pada era Perang Salib sebagai symbol kebencian pada Islam dan kaum Muslim. Akbar Ahmed menjelaskan bahwa dulu, kaum Kristen Eropa membayangkan sedang ‘menyantap’ kaum Muslim saat mereka mengkonsumsi croissant ini.
Di era kolonialisme yang kemudian melahirkan Orientalisme, Timur, khususnya Islam dan Muslim dikonstruksi dalam fakta yang jauh dari realitas sebenarnya. Orientalisme bukan hanya intellectual exercise, tapi juga power exercise dalam kondisi yang tidak seimbang: antara Barat yang civilized, colonizer, developed vs Timur (Islam) yang diklaim uncivilized, colonized dan underdeveloped. Pengetahuan pada era inilah yang banyak mengisi benak orang Eropa hingga saat ini.
Coon, dalam Caravans: The Story of the Middle-East menggambarkan masyarakat Arab dipenuhi oleh anggota yang mengalami krisis, penderitaan dan perpecahan; mereka ibarat kafilah yang berjalan sangat lamban di tengah gurun untuk mencapai destinasi, yaitu peradaban Barat. Tuduhan Macron bahwa Islam adalah agama yang sedang krisis bukanlah hal baru. Preseden historisnya bisa dilacak dalam berbagai karya orientalis.
Dalam tulisan tersebut, masyarakat Arab diibaratkan seperti mosaic yang kurang harmonis dan dikuasai oleh berbagai kontradiksi yang berasal dari struktur tribalisme, skiisme dan paganism, yang berbeda dengan masyarakat Barat modern yang bersatu dan telah berhasil melampaui perbedaan-perbedaan social sebelumnya. Karya Coon ini, kata Sharabi, menyembunyikan ideology imperialism yang jelas, namun dibungkus dalam konsep teknis yang ‘ilmiah’.
Orientalis lainnya, Raphael Patai dalam The Arab Mind mengatakan bahwa, “akal Arab” membentuk struktur passif, bukan aktif, dan bahasa Arab sebagai refleksi “rasionalitas” mereka berdiri di atas dasar emosi, eksagarasi dan pengulangan. Inilah bentuk pengetahuan warisan orientalis pada bangsanya.
Mereka tidak hanya mewariskan ‘pengetahuan’ tentang others, tapi juga pelecehan dan fakta distortif yang dibungkus dalam konsep ilmiah. Pada akhirnya, Islamophobia di Barat adalah barang lama, namun dibungkus dengan packaging baru, sesuai dengan perkembangan mutakhir. Kebalikannya, di negeri ini, Islamophobia adalah barang baru, namun dibungkus dengan packaging primitive. Wallahu a’lam
Andri Rosadi, PhD, Antropolog