Memantapkan Paham Keislaman Muhammadiyah
Oleh: Prof DR KH Haedar Nashir, MSi
Muhammadiyah mampu bertahan lebih satu abad dan insya Allah akan terus berkembang memasuki abad selanjutnya sesuai jatidirinya manakala para warga dan pimpinannya benar-benar memahami pemikiran organisasi Islam modern ini. Sebaliknya, ketika warga dan pimpinannya tidak memahami pemikiran gerakan Islam ini meskipun mampu bertahan tetapi kehilangan identitas diri, maka keberadaan Muhammadiyah tentu sekadar wujud fisik belaka.
Karenanya di tengah lalu lintas pemikiran keislaman dan alam pikiran lain yang beragam dan kompleks, maka penting untuk dipahami kembali pemikiran-pemikiran mendasar dalam Muhammadiyah. Termasuk dalam menyikapi atau menghadapi bermacam pemikiran kontemporer yang bertumbuh di lingkungan umat Islam. Muhammadiyah tidak boleh diam dan ketinggalan dari dinamika pemikiran Islam yang berkembang.
Lebih dari itu, Muhammadiyah sendiri harus terus mendialogkan dan memproduksi pemikiran-pemikiran kontemporer agar memiliki daya hidup di tengah dinamika keislaman saat ini. Pada saat yang sama Muhammadiyah harus memberi warna terhadap pemikiran-pemikiran Islam mutakhir. Hal itu merupakan keniscayaan bagi Muhammadiyah jika ingin tampil sebagai Gerakan Islam Berkemajuan di abad kedua.
Beragam Pemikiran
Kini bertumbuh ragam pemikiran Islam di lingkungan kaum Muslimin Indonesia. Rentangannya bergerak dari kutub kanan hingga kiri, bahkan yang di tengah pun beragam corak. Pasca reformasi seiring dengan proses demokratisasi dalam seluruh bidang kehidupan, termasuk dalam pemikiran umat beragama, keragaman pemikiran Islam berdiaspora sedemikian rupa sehingga tidak jarang sulit diidentifikasi.
Genre atau golongan pemikiran yang cenderung konservatif-tradisional makin menguat. Dalam kelompok ini beragam paham yang ingin kembali ke ajaran masa lampau bertumbuh kuat, dari yang berorientasi murni keagamaan hingga berorientasi ideologi dan politik. Dari cara berpakaian yang kearab-araban hingga perempuan memakai cadar. Cara penulisan Arab yang sudah mengalami transliterasi seperti kata “Insya Allah” pun dianggap salah. Bahasa tidak lagi menjadi ujaran sehari-hari yang simpel dan komunikatif, tetapi menjadi berpaham agama.
Orientasi pemikiran yang cenderung mengeras atau tekstual juga makin menguat dalam kehidupan politik, ekonomi, dan budaya atau dalam kehidupan muamalahdunyawiyah. Kehidupan mu’amalah yang dasarnya ibahah (hukum kebolehan) menjadi serba banyak larangan atau kaku dengan corak yang bersifat tajrid (pakem yang tidak bisa berubah) layaknya urusan ibadah mahdhah. Kecenderungan serba konfrontatif kepada siapa pun, baik terhadap umat seagama lebih-lebih kepada bukan seagama cenderung menguat. Apalagi kepada pemerintah yang dianggap tidak memihak umat Islam. Suka dan tidak suka menjadi tampak menguat dalam politik dan mu’amalah.
Kita boleh tidak setuju terhadap istilah-istilah yang bermacam ragam seperti radikalisme dan fundamentalisme, namun kecenderungan beragama yang semakin mengeras makin terasa di tubuh umat Islam. Pekik “Allahu Akbar” ketika berada dalam forum-forum pengajian atau merespons pidato yang bersetuju menjadi salah satu ciri dari kecenderungan ini. Melafadzkan Allahu Akbar itu sangatlah baik dan luhur, bahkan merupakan bentuk dzikir yang melekat dengan tuntunan ajaran Islam, tetapi ketika aktualisasinya disuarakan dengan pekik keras dan dalam suasana profan seperti itu maka menjadi terasa lain, yang sebelum ini tidak pernah terdengar di lingkungan Muhammadiyah.
Pemikiran di kutub lain juga bertumbuh, yaitu kecenderungan pandangan yang liberal hingga sekular. Sebutlah paham keagamaan yang mengaburkan atau bahkan membolehkan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender), pluralisme yang cenderung pada sinkretisme, pembenaran terhadap realitas yang serbabebas, dan pemikiran-pemikiran yang membongkar ajaran (dekonstruksionisme) secara mutlak tanpa kritik. Jika genre yang pertama serba penuh larangan, yang kedua ini cenderung serba boleh.
Masih tedapat paham yang di tengah atau mengkalim moderat tetapi sering bergerak serbaboleh atau liberal, termasuk dalam perilaku sosial dan politik, sehingga cenderung berwajah ekstrem tengah. Mengaku moderat tetapi sering ekstrem. Kelompok ini bisa bercorak postradisionalisme, yang dengan mudah memberi label boleh tentang apa pun dengan rujukan fiqh yang sangat fleksibel, namun sangat memutlakkan tradisi. Kelompok ini cenderung inklusif dengan golongan agama lain, tetapi sangat eksklusif dengan sesama umat Islam.
Islam Tengahan
Warga dan pimpinan Muhammadiyah penting untuk semakin memantapkan pemahaman atas pandangan keislaman yang selama ini menjadi patokan dalam beragama maupun dalam bermu’malah dunyawiyah. Caranya dengan jalan memperdalam dan memperkaya paham keislaman yang Tengahan (Wasathiyyah, Moderat) dan tidak terjebak pada ekstremitas. Paham pemurnian (tajrid, tandhif) dalam beraqidah dan beribadah mesti dipahami secara mendalam, seimbang, dan luas sehingga benarbenar melahirkan keberagamaan yang substantif, esensial, mendasar, dan tidak parsial atau serpihan.
Pandangan tentang hal-hal prinsip benar-benar dipahami secara mendasar dan luas, sehingga tidak semua hal dipandang prinsip dan kemudian serba kaku dan tidak boleh ada tafsir. Dimensi pemurnian pun tidak berhenti di teks dan verbalisme atau kulit luar, tetapi benar-benar masuk ke jantung dimensi dan penghayatan keislaman yang mendalam. Dalam beraqidah bukan hanya formalisme dan simbol, tetapi melahirkan sikap bertauhid yang autentik. Muslim yang bertauhid jangan arogan, merasa diri paling suci dan benar, serta merendahkan yang lain. Beribadah pun bukan hanya rukun tetapi juga khusyuk dan tahsinah atau melahirkan fungsi kebaikan.
Demikian pula dalam berakhlak, bukan hanya mengikuti Rasulullah dalam hal-hal sehari-hari secara atributif atau simbolik, tetapi melahirkan perilaku teladan atau uswah hasanah, salah satunya kata sejalan tindakan. Memahami zuhud juga harus luas, sehingga tidak melahirkan sikap antidunia karena setiap Muslim selain harus menjadi ‘abdullah juga harus menjadi khalifah di muka bumi. Beraqidah, beribadah, dan berakahlak Islami harus memantulkan kesalihan yang autentik (murni tidak dibuat-buat dan sekadar kulit luar), baik kesalihan untuk diri sendiri (kesalihan individual) maupun kesalihan untuk orang lain (kesalihan sosial) seperti saleh di keluarga, masyarakat, bangsa, dan lingkungan kemanusiaan universal.
Dalam orientasi mu’amalah dunyawiyah Muhammadiyah menganut pandangan pembaruan atau pengembangan (dinamisasi). Sejatinya identitas khas Muhammadiyah sejak berdiri yang membedakan dengan gerakan Islam lain justru pada pembaruan atau paham tajdidnya. Dakwah Muhammadiyah pun bersifat tajdid atau pembaruan. Sehingga meskipun ada organisasi lain yang dianggap Islam modern seperti ditulis dalam disertasi Deliar Noer, Muhammadiyah itu progresif dan tidak kaku. Ahli lain menyebut Muhammadiyah reformis. Kendati ada yang menggolongkan Muhammadiyah menganut paham Salafisme atau Revivalisme, tetapi termasuk ke dalam Salafisme-Revivalisme Tajdidiyah atau Reformis-Modernis, bahkan menurut Charles Kurzman tergolong liberal.
Karenanya pendekatan dalam memahami Islam agar benar dalam hal purifikasi dan dinamisasi sebagaimana dituntunkan Tarjih, maka penting untuk memperdalam dan memperluas pemahaman secara bayani, burhani, dan irfani. Mungkin dalam hal bayani sudah cukup kuat, tetapi perlu lebih kuat dan luas pada pendekatan burhani dan irfani. Dua pendekatan yang disebut terakhir (burhani dan irfani) tampaknya masih kurang atau belum banyak berkembang, kadang sering terkalahkan oleh pendekatan bayani. Orientasi tajrid-tandhif harus memperoleh keseimbangan dan perluasan dengan orientasi tajdid agar tampak watak pembaruannya. Di sinilah tuntutan dan tantangan pemikiran keislaman dalam Muhammadiyah menghadapi dinamika kehidupan kontemporer.
Sumber: Majalah SM Edisi 21 Tahun 2017