Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Diskursus tentang penyatuan kalender Islam terus mengemuka, negara-negara di dunia terutama negara dengan mayoritas Muslim mulai intens mengkaji persoalan ini. Dalam perkembangannya, sejumlah konsep dan kriteria dalam rangka perumusan kalender Islam terus berkembang, demikian lagi tokoh-tokoh dan pemikir-pemikir tentangnya juga terus bermunculan. Jika ditelaah, setidaknya ada tiga skup model penyatuan kalender Islam yang berkembang di dunia saat ini, yaitu penyatuan dalam tingkat nasional, penyatuan dalam tingkat regional, dan penyatuan dalam tingkat dunia (global).
Penyatuan tingkat nasional bermakna bahwa penyatuan kalender Islam di satu negara diberlakukan untuk satu negara tertentu pula, tanpa mengikat kepada negara lainnya. Dalam kenyataannya, penyatuan tingkat lokal-nasional ini merupakan problem klasik umat Islam yang belum usai sampai hari ini, khususnya di Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, persoalan penyatuan kalender Islam (khususnya terkait momen awal puasa, idul fitri, dan idul adha) terus berlangsung dan belum menunjukkan indikasi usai dan menemukan titik kesepakatan dan kesepahaman. Bahkan secara historis, problematika penentuan dan penyatuan kalender Islam di tanah air telah ada dan mengemuka sejak zaman pra-kemerdekaan atau sebelum tahun 1945, sebagaimana ditunjukkan dalam sejumlah dokumen dan literatur.
Sementara itu penyatuan dalam tingkat regional bermakna bahwa penerapan sebuah konsep kalender Islam digunakan, diterapkan, dan disepakati oleh beberapa negara di suatu kawasan tertentu, misalnya dalam skup regional Asia Tenggara atau yang lebih dikenal dalam skup kawasan forum Menteri-Menteri Agama Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS). Misalnya lagi penyatuan dalam skup teritorial kawasan Amerika, Eropa, dan seterusnya. Sama halnnya dengan penyatuan tingkat nasional, penyatuan dalam tingkat regional inipun masih mengalami kendala dan belum terimplementasikan secara maksimal. Dinamika dan dialektika tentang konsep, kriteria, dan implementasinya masih dinamis dan dialektis, dimana ada banyak faktor yang melatarinya.
Adapun penyatuan dalam tingkat dunia (global) bermakna bahwa sebuah kalender Islam disepakati dan diterapkan secara menyeluruh dan komprehensif di dunia dan berlaku di seluruh dunia pula. Secara sosio-religius, upaya penyatuan kalender Islam dalam tingkat global terbilang lebih unik dan sangat rumit jika dibandingkan dengan penyatuan dalam tingkat nasional dan regional. Sebab dalam penyatuan global melibatkan seluruh negara di dunia dan meniscayakan negara-negara di dunia itu menerima konsep global tersebut.
Diantara putusan atau konsep kalender yang bergenre dunia (global) adalah putusan Muktamar Turki tahun 2016 dan Rekomendasi Jakarta tahun 2018. Seperti diketahui, dua putusan bertarap internasional ini di Indonesia telah dikaji oleh kalangan peneliti astronomi (ilmu falak) dan masyarakat secara umum, hanya saja sampai saat ini belum diterima dan terimplmentasikan secara masif di seluruh dunia. Lagi-lagi ada bannyak faktor yang mengiringi dan melatarinya.
Bila diperhatikan, tiga sifat penyatuan kalender Islam ini (nasional, regonal, global) masing-masing memiliki keunggulan dan sekaligus kekurangan, betapapun ketiganya memiliki saling keterkaitan. Secara praktis, tidak dipungkiri bahwa penyatuan dalam skup nasional merupakan hal urgen karena ia secara riil diperlukan dan dipraktikkan oleh masyarakat di suatu negara. Hanya saja problemnya dalam skup nasional (satu negara) sampai saat ini masih saja terjadi perbedaan dan silang pendapat.
Selanjutnya, berdasarkan realita ini timbul pertanyaan, dari tiga skup penyatuan kalender ini, yang mana sebagai skala prioritas dan terlebih dahulu perlu diupayakan? Hemat penulis, dengan segenap analisis dan pertimbangan, penyatuan kalender Islam dalam tingkat global lebih memiliki nilai dan prospek postif dibanding dua skup penyatuan lainnya. Ide penyatuan secara bertahap (dimulai dari nasional, regional, lalu global) terbilang tidak efektif dengan dua analisis dan atau alasan.
Pertama, jika umat Islam menghabiskan energi menyelesaikan penyatuan dalam tingkat nasional dan atau regional, baru kemudian penyatuan tingkat global, maka secara praktis berpotensi terjadi pengulangan proses penyatuan dan perumusan konsep kalender. Kedua, penyatuan bertahap secara pasti akan menyita waktu untuk merumuskan konsep, metode, dan implementasinya di lapangan. Seperti diketahui, dalam penyatuan nasional dan regional sendiri sangat menguras energi dan waktu, seperti terjadi saat ini.
Secara psikologis, manakala sebuah konsep kalender telah mapan dan diterapkan secara konsisten dalam tingkat nasional maupun regional, lalu berikutnya diubah menuju penyatuan tingkat global, maka dapat dipastikan akan terjadi pengulangan perumusan kalender yang akan diberlakukan. Lagi-lagi secara psikologis hal ini memberatkan bagi masyarakat di tiap negara maupun kawasan regional tertentu.
Bagaimanapun, penyatuan dalam tingkat global lebih memiliki prospek dan keunggulan dari berbagai aspek, yaitu: Pertama, dengan mengupayakan “Kalender Islam Global”, kita berperan dan berkontribusi dalam menyelesaikan problem peradaban dan keumatan dunia yaitu terkait kalender yang bersifat unifikatif-komprehensif, yang sampai hari ini belum kunjung wujud, padahal usia peradaban Islam sudah 14 abad lebih.
Kedua, dengan lahirnya “Kalender Islam Global”, kita tidak di khawatirkan dengan adanya potensi perbedaan puasa Arafah dan Idul Adha. Ketiga, dengan aktif membincang dan mendialogkan “Kalender Islam Global”, maka kita telah berihtiar peradaban, dan secara bersamaan kita telah meninggalkan sebuah tradisi dan edukasi ilmiah-akademik bagi para generasi peradaban yang akan datang.
Keempat, dengan mengupayakan “Kalender Islam Global”, ini sejalan dan senafas dengan amanat UUD 1945 yaitu ikut dan aktif melaksanakan ketertiban dunia, dalam hal ini penertiban sistem penjadwalan waktu (Kalender Islam). Kelima, dengan mengupayakan penyatuan global, maka tidak memiliki resiko mengulang proses penyatuan dari awal lagi. Wallahu a’lam
Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Dosen FAI UMSU dan Kepala Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara