Alkisah, KHA Dahlan baru keluar dari rumah, tibatiba saja sekelompok pemuda yang dipimpin keponakannya sendiri mengiringinya dengan musik rebana. Mereka mengolok-olok dan mem-bully Kiai Dahlan yang saat itu sedang berjalan keluar untuk melaksanakan suatu tugas.
Olok-olokan dengan musik rebana itu diacuhkan Kiai Dahlan. Ia tetap berjalan seperti biasa, menyapa dan tersenyum dengan warga yang lain yang berpapasan seolah tak terjadi apa. Akhirnya, orang-orang yang mem-bully dengan rebana berhenti sendiri karena merasa tidak berhasil dengan langkah itu.
Olok-olok dengan musik rebana dilakukan untuk menghambat gerakan reformasi Islam yang dilakukan Kiai Dahlan saat itu. Keponakannya yang 13 tahun belajar dari pesantren ke pesantren itu merasa aneh dengan langkah Kiai Dahlan yang berbeda dengan dunianya.
Sepulang dari pesantren, ia mempunyai keahlian berbagai bidang ilmu, termasuk Fikih dan Falak yang termasuk di dalamnya Ilmu Hisab. Dengan ilmu-ilmu itu, ia punya pengaruh di Kauman, terutama di kalangan muda. Karenanya, ketika ia minta para pemuda mengolok-olok Kiai Dahlan dengan rebana, mereka pun melakukannya.
Merasa cara bully tidak berhasil, keponakannya itu pun mengajak Kiai Dahlan berdebat. Ajakan ini disambut baik Kiai Dahlan. Ditentukanlah waktu dan tempatnya.
Perdebatan dilaksanakan pada malam hari dan disaksikan oleh anak-anak muda pengikut keponakan Kiai Dahlan. Debat berlangsung sejak usai shalat Isya’ hingga pukul 01.00 dini hari. Usai perdebatan, sang keponakan dapat menerima pemikiran-pemikiran Kiai Dahlan. Karenanya, ia bersama pengikut-pengikutnya mendukung langkah-langkah Kiai Dahlan selanjutnya.
Keponakan Kiai Dahlan itu adalah KH Ahmad Badawi. Sejak itu, KH Ahmad Badawi berusaha menyesuaikan langkah-langkahnya dengan yang dilakukan Kiai Dahlan. Salah satu langkah penyesuaian adalah menyikapi hafalan-hafalan ayat suci Al-Qur’an.
Selama ini, KH Ahmad Badawi banyak menghafal ayat Al-Qur’an tertentu dengan maksud tertentu. Ini salah satu yang dikritik Kiai Dahlan pada Kiai Ahmad Badawi. Menurut Kiai Dahlan, tidak ada perbedaan antara ayat satu dengan ayat yang lain dalam Al-Qur’an. Semuanya, menurut Kiai Dahlan, harus diamalkan.
Kritik Kiai Dahlan ini diterima dengan baik oleh KH Ahmad Badawi. Sejak itu, ayat-ayat Al-Qur’an yang telah dihafalnya tidak pernah dibaca lagi dengan maksud tertentu. Hafalannya akhirnya dimanfaatkan untuk memperbanyak variasi bacaan ketika shalat, selain dipraktikkan dalam amal nyata sesuai dengan pengertian dan maksud ayat.
Penyesuaian demi penyesuaian ia lakukan, sambil tetap mendukung langkahlangkah Muhammadiyah saat itu. Akhirnya, KH Ahmad Badawi pun membulatkan tekad menjadi anggota Muhammadiyah. Keberadaannya di Muhammadiyah lebih diperjelas dengan tercatatnya ia di buku Anggota Muhammadiyah nomor 8.543 pada tanggal 25 September 1927. Keanggotaan ini diperbarui pada zaman Jepang, sehingga ia ditempatkan pada nomor 2 tertanggal 15 Februari 1944.
KH Ahmad Badawi termasuk keluarga dekat KH Ahmad Dahlan yang akhirakhir masuk Muhammadiyah, meskipun ayahnya, KH Muhammad Fakih, termasuk generasi awal Muhammadiyah. KH Muhammad Fakih (salah satu Pimpinan Muhammadiyah pada tahun 1912 sebagai Komisaris). Sedangkan ibunya, Nyai Hj Sitti Habibah, adalah adik kandung Kiai Dahlan. Jika dirunut silsilah dari garis ayah, maka KH Ahmad Badawi memiliki garis keturunan Panembahan Senopati.
Sikap Ahmad Badawi ini dapat dimaklumi karena sejak kecil ia sudah pergi ke pesantren, sebelum Muhammadiyah berdiri. Ia lahir di Kauman, Yogyakarta, pada 5 Februari 1902. Pada 1908-1913, ia nyantri di Pondok Pesantren Lerab, Karanganyar, Jawa Tengah. untuk belajar nahwu dan sharaf. Pada 1913-1915, ia belajar kepada KH Dimyati di Pondok Pesantren Termas, Pacitan, Jawa Timur.
Di pesantren ini, ia dikenal sebagai santri yang pintar berbahasa Arab (nahwu dan sharaf). Pada 1915-1920, ia nyantri di Pesantren Besuk, Wangkal, Pasuruan, Jawa Timur. Badawi mengakhiri pencarian ilmu agama di Pesantren Kauman dan Pesantren Pandean di Semarang, Jawa Tengah, pada 1920-1921.
KH Ahmad Badawi adalah generasi Kauman terakhir yang sempat bertemu Kiai Dahlan yang menjadi Ketua PP Muhammadiyah, bahkan selama dua periode: 1962-1965 dan 1965-1968.
Semenjak berkiprah di Muhammadiyah, ia lebih leluasa mengembangkan potensi dirinya dalam bertabligh. Ia pun mengajar di sekolah (madrasah) dan berdakwah lewat pengajian dan pembekalan kemuhammadiyahan. Ia pun kemudian dipercaya menjadi Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah pada 1933.
Pada tahun-tahun berikutnya, ia juga diserahi amanat menjadi Kepala Madrasah Za’imat (yang kemudian digabung dengan Madrasah Muallimat pada 1942). Di Madrasah Muallimat ia memiliki obsesi untuk memberdayakan potensi wanita, sehingga mereka mampu menjadi muballighat handal di daerahnya. (Pendi Purwa)
Sumber: Majalah SM Edisi 8 Tahun 2017