SURABAYA, Suara Muhammadiyah – Menilik kembali kiprah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, pesantren memiliki rekam jejak perjalanan yang panjang dan berliku. Pondok Pesantren Sidogiri menjadi pesantren tertua yang telah berusia 280 tahun. Pesantren ini mengajarkan nilai-nilai Islam yang diambil dari kitab-kitab klasik.
Pada tahun 1926 berdiri pondok pesantren di Ponorogo yang menerapkan kurikulum modern. Menumbuhkan pada diri santri kesadaran akan pentingnya kebebasan dari pengaruh penjajah dan penjajahan, yaitu Gontor. Pesantren ini telah melahirkan banyak figur alumni diantaranya, Nurcholis Majid, Din Syamsuddin, Hidayat Nur Wahid, dan lain sebagainya, yang mereka semua berbicara pada ranah sosial.
Agus Purwanto, Pendiri Pesantren TRENSAINS, dalam Seminar Internasional yang bertemakan “New Santri: Future Challenges and Opportunities in the Disruption Era” ia mengatakan bahwa masih ada hal yang kurang pada apa yang dilakukan oleh para santri, khususnya dalam menghadapi era disruption.
“Kekurangan tersebut saya coba tutup dengan menghadirkan Pesantren TRENSAINS yang memiliki motto Generasi Pecinta Al-Qur’an dan Sains. Saat ini sudah berdiri dua pesantren TRENSAINS, yang pertama di Sragen dan yang kedua di Tebuireng. Dua pesantren inilah yang sekaligus mampu menyatukan dua sayap organisasi terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan NU,” ujar Agus (10/11).
Yang membedakan antara pesantren TRENSAINS dengan pesantren lain yaitu masuknya konten sains dalam bentuk dialektika. Melihat agama dalam perspektif sains dan menengok sains dalam perspektif agama. Karena di dalam Al-Qur’an terdapat setidaknya 800 ayat mengenai alam semesta.
Ayat tentang alam semesta ini lima kali lebih banyak dari ayat-ayat yang menerangkan tentang fiqih. Namun sayangnya pada 10 abad terakhir, ayat-ayat yang berbicara tentang alam semesta relatif dilupakan oleh dunia Islam secara umum. Akibatnya dunia Islam termasuk Indonesia menjadi lemah dan tidak produktif.
“Islam adalah agama yang rahmatan lil alamiin, mestinya umat Islam memiliki mainside sebagai produsen, bukan konsumen,” tegas pria yang juga merupakan Guru Besar Fisika Teoretis ITS tersebut.
Ke depan, seorang santri harus akrab dengan wacana sains dunia kuantum yang menjadi pondasi dari dunia modern saat ini. Namun kita harus tetap berpijak pada tradisi yang dicontohkan oleh para ulama-ulama terdahulu yang mulai terlupakan.
“Umat ini jangan lagi alergi kepada dunia keilmuan dan teknologi. Umat ini harus mulai berbicara tentang nobel prize. Bukan hanya menguasai ilmu agama, menjadi Menteri Agama, mengelola bisnis umroh dan haji, tetapi kita harus memulai berbicara tentang hadiah nobel,” ungkapnya.
Ahmad Najib Burhani, Peneliti LIPI Jakarta memaparkan, jika berbicara tentang new santri, terdapat beberapa kategori yang mendefinisikan perubuhan dari budaya lama yang melekat pada diri santri, anti kemajuan. Mengingat, santri masih dipandang sebelah mata, tidak memiliki peran di bidang keilmuan dan teknologi. “Maka santri harus mulai beranjak dari yang sekedar user teknologi, menjadi produser teknologi,” paparnya.
Dalam definisi yang lebih luas, santri adalah mereka yang menjadikan agama sebagai kesadaran hidup. Ada pula yang mendefinisikan santri sebagai practicing muslim. Definisi-definisi tersebut terus berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Najib menyakini bahwa di masa yang akan datang, santri bukan sekedar manusia pembentuk otoritas keagamaan, tetapi mereka yang mampu menciptakan platform teknologi dan digital baru. Yang akhirnya dapat mempengaruhi masyarakat. “Itulah yang disebut sebagai new santri,” jelasnya. (diko)