Musyawarah Nasional Tarjih tahun 2000 di Jakarta menghasilkan penyempurnaan tentang rumusan berijtihad di Muhammadiyah, yaitu menggunakan pendekatan bayani, burhani, dan irfani. Pendekatan bayani adalah merespons permasalahan dengan titik tolak utamanya nash-nash syariah, dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Hal ini biasa digunakan dalam memecahkan masalah-masalah terkait dengan ibadah mahdhah.
Pendekatan burhani adalah merespons ragam permasalahan menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan umum yang berkembang, seperti dalam ijtihad penentuan awal bulan Qomariyah. Dalam hal ini, banyak menggunakan capaian dan penemuan sains mutakhir. Supaya terjadi kesinambungan antara teks dan konteks, maka memahami perkembangan konteks ini dibingkai dengan maqashid al-syariah.
Adapun pedekatan irfani berupa upaya meningkatkan kepekaan nurani dan ketajaman intuisi batin melalui pembersihan jiwa, sehingga suatu keputusan tidak hanya didasarkan pada kecanggihan otak belaka, tetapi juga pada kepekaan nurani yang didapat dari petunjuk Tuhan Yang Maha Tinggi, oleh sebab kedekatan dengan-Nya (Syamsul Anwar, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, 2018).
Manhaj Tarjih Muhammadiyah, dalam pandangan Syamsul Anwar, mengandung 4 unsur. Pertama, wawasan atau perspektif pemahaman agama yang menjadi karakteristik pemikiran Islam Berkemajuan dalam pandangan Muhammadiyah. Meliputi wawasan paham agama; wawasan tadjid, yang meliputi dinamisasi (di luar urusan akidah dan ibadah mahdhah) dan purifikasi (dalam ranah akidah dan ibadah mahdhah); wawasan toleransi; wawasan keterbukaan; dan wawasan tidak berafiliasi mazhab tertentu.
Kedua, sumber pengambilan diktum ajaran agama sesuai dengan yang tertera di Pasal 4 ayat (1) Anggaran Dasar Muhammadiyah, “…bersumber kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.” Putusan Tarjih di Jakarta Tahun 2000 Bab II angka 1 menegaskan, “Sumber ajaran Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah al-Maqbulah.” Terdapat pula sumber-sumber paratekstual yang mendampingi dua sumber pokok itu, seperti ijmak, qiyas, maslahat mursalah, istihsan, saddu al zariah, dan urf.
Ketiga, pendekatan: bayani, burhani, irfani. Penggunaan ketiga pendekatan ini tidak dilakukan secara alternatif, dalam artian apabila satu pendekatan tidak dimungkinkan, maka baru diambil pendekatan yang lain. Pendekatan itu digunakan secara sirkular, digunakan bersama-sama apabila diperlukan. Saling melengkapi. Namun, apabila digunakan satu atau dua di antaranya sudah cukup, maka yang lain tidak digunakan.
Keempat, metode (prosedur tekhnis). Metode ini terdiri dari (1) asumsi metode, yang didasarkan pada dua asumsi pokok; asumsi integralistik dan asumsi hirarkis, bahwa norma itu berjenjang. (2) ragam metode: metode bayani (interpretasi), metode kausasi, baik kausa efisien maupun kausa finalis (maqasid al-syar’iyah), dan metode sinkronisasi ketika terjadi ta’arud. (3) Kaidah tentang Hadis dan (4) Kaidah Perubahan Hukum. (ribas)
Sumber: Majalah SM Edisi 24 Tahun 2019