Al-Khuluq

Memejamkan Mata Saat Shalat dan Do'a

Ilustrasi

Al-Khuluq, yaitu pola tingkah laku yang ditunjukan seseorang dalam kesehariannya, seperti menyuburkan rasa syukur (al-tasyakkur) kepada Allah SwT. Al-syukr dalam Al-Qur’an diposisikan sebagai sikap dan aktivitas sangat dekat dengan capaian terhadap hidayah Allah SwT, seperti dalam Qs An-Nahl: 121.

Beberapa jenis aktivitas yang mengantarkan rasa syukur (tasyakkur) itu adalah aktivitas tadzakkur (ibadah dan ketaatan), tadabbur (meminijkan karya-karya produk berpikir yang bernilai manfaat), dan tafakkur (merenungkan sesuatu realitas agar bernilai guna bagi orang banyak). Empat aktivitas itu secara terintegrasi, dikatakan al-khuluq al-‘azhim. Pribadi Nabi saw terpanggil uswah al-hasanah, teladan terbaik dalam pola tingkah laku keseharian dan terus menerus dalam keterjagaan berbagai kebaikannya sambil membawa kejamaahan umat yang terbangun dalam sebuah kekuatan besar mengubah pola tingkah laku (akhlaq karimah) dan keyakinan dari masyarakat jahiliyah (musyrikin) ke kondisi mukminin Madinah al-Munawwarah.

Bagian ini yang mengikat kaum muslimin untuk diikuti dari Nabi saw, jika umat ingin tercerahkan, keunggulan, berkemajuan, dan kemuliaan. Agama Islam, sebagai agama Allah, bagaimanapun sulitnya kondisi umat, jalan keluar dari berbagai beban berat yang menimpanya telah diberikannya juga. Hanya tinggal ikhtiar secara optimal, dengan mengacu pada ketentuan syari’atnya yang dipahami secara konprehenshif atau kâffah.

Jika  akidah umat Islam yang semestinya tertanam di dalam  diri paling dalam setiap Muslim yang disebut lub (lubuk hati/nurani/inti kemanusiaan) tetap terjaga melalui usaha tashfiyah al-bathinah atau tazkiyah al-nafs dalam setiap aktivitas hariannya melalui putaran kekuatan spiritual setiap saat yang tidak boleh berhenti, maka tidak bisa disangsikan lagi akan tumbuh sebagai pribadi antum al-a’lawn inna Allaha ma’akum (kamu yang paling tinggi martabatnya karena Allah menyertai kamu sekalian), dan secara kolektif  khair umat akan kembali lagi yang umat lain tidak bisa mengunggulinya.

Dua prestasi itu diprediksi Nabi saw akan muncul kembali dalam kehidupan nyata. Sebagaimana isyarat Hadits Nabi riwayat Muslim dari Abu Hurairah ra; lâ taqûmu al-sâ’ah hattâ yuqâtila al-muslimûna al-yahûda, fa yaqtuluhum al-muslimûn…. (tidak akan terjadi kiamat sampai orang-orang muslim memerangi orang Yahudi, maka orang-orang Muslim membunuhnya….), karena gerakan kekuatan seseorang atau umat secara kolektif kembali berangkat dari fithrah-nya yang bersemayan di bagian dirinya paling dalam dan paling dasar sebagai manusia, yaitu lub/nurani atau disebutkan kelompok orangnya, ûlû al-‘ilmi atau ûlû al-albâb.

Hal ini diisyaratkan dalam Qs al-Baqarah: 269, yaitu kebaikan menyebar seirama dengan kemajuan sains yang seimbang dengan kualitas amal shalihnya; dan Qs Ali Imran, 18, yaitu pembuktian kebesaran Allah SwT dari alam semesta, sebagai objek sains bersamaan dengan berjalannya kehidupan nyata secara adil.

Hal itu, karena sains berkembang sesuai esensinya, yaitu nur (cahaya) bagi kehidupan. Ibn Taimiyah memaknai Qs al-Maidah: 15, bahwa nur dalam ayat itu, adalah Muhammad saw. Dalam diri Muhammad saw ada dua hal: Hidâyah dan ‘Ilmu (HR Bukhari dari Abu Musa al-Asy’ari). Bagian ini yang semestinya menjadi sasaran dalam perkembangan sains modern sekarang ini, bersamaan dengan kualitas kepribadian para pemilik dan penggunanya.  Wa Allahu a’lam.

H. Ayat Dimyati, Dosen UIN Gunungjati Tetap Bandung

Sumber: Majalah SM Edisi 11 Tahun 2017

Exit mobile version