YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Radikalisme dan khususnya terorisme menjadi isu dan agenda penanggulangan utama. Akan tetapi cara pandang yang berlebihan melawan radikal dengan cara radikan akan melahirkan radikal baru. Oleh karena itu diperlukan moderasi sebagai arus utama yang sesuai dengan karakter moderat bangsa Indonesia.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir, MSi menyampaikan pengantar dalam Sarasehan Meneguhkan Moderatisme Islam: Pencegahan Radikalisme Terorisme di Kalangan Dosen dan Mahasiswa Muhammadiyah. Agenda ini merupakan Kerjasama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI dengan Program Doktor Politik Islam – Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
“Moderatisme atau moderasi harus menjadi proses pengarusutamaan dalam melawan gerakan radikalisme dan terorisme di negeri tercinta ini,” ungkap Haedar, Kamis (19/11).
Menurutnya, moderasi atau sikap moderat tentu memiliki nilai-nilai Islam, seperti dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah : 143, wakadzalika ja’alnakum ummatan wasathan litakunu syuhada ‘alanasi wayakuuna alarasulu ‘alaikum syahida… Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “umat tengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.
Ibnu Katsir mengaitkannya dengan salah satu karakter khairu ummah (ummat terbaik) dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah : 110, yang juga sering dikaitkan dengan surat Muhammadiyah.
“Artinya bahwa idealisasi masyarakat utama, masyarakat terbaik yaitu masyarakat tengahan yang keseimbangan dalam pandangan keagamaan maupun kemasyarakatan dan keduniawian, keseimbangan antara perspektif keakhiratan dan keduniawian, juga tengahan dalam berbagai sikap dan tindakan,” tambah Haedar. Secara teologis, Islam memang agama yang wasathiyah, ketika mengarusutamakan moderasi tentu memiliki landasan yang sangat kokoh.
Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol Akhmad Nurwachid mengungkapkan ketika dulu belajar agama, sering diajarkan bahwa al-Wala’ wal Barra’ (kesetiaan dan penolakan) bisa bermuara kepada berkembangnya sikap takfiri (mengkafir-kafirkan). Tatkala seseorang atau kelompok orang sudah bersikap takfiri, biasanya juga memiliki sikap intoleransi.
Akhmad menuturkan bahwa Muhammadiyah dan NU adalah Ormas terbesar yang memiliki saham terbanyak di Indonesia, sehingga kelompok radikal dan teroris cenderung menggerogoti kedua Ormas tersebut.
“Bahwa radikalisme dan terorisme, atau radikal-terorisme itu bukan monopoli satu agama. Tapi ada di seluruh agama, ada di seluruh kelompok, ada di seluruh sekte, bahkan potensial ada di setiap individu manusia,” ungkapnya. Oleh karena itu, Muhammadiyah diharapkan dapat menjadi panutan dalam menebarkan Islam sebagai rahmatan lil ‘aalamiin; Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.
Selain itu, di forum yang sama Guru Besar Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Prof Abdul Munir Mulkhan menyebut dakwah Muhammadiyah dimaksudkan untuk mengangkat martabat manusia. Sebagaimana asas Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) yang terbit pada tahun 1928.
Muhammadiyah menyelenggarakan Amal Usaha seperti rumah sakit, pendidikan, panti asuhan, rumah miskin, dan lain sebagainya bukan untuk mengislamkan orang, bukan juga untuk memuhammadiyahkan orang. “Semua dilakukan semata-mata demi kemanusiaan atas nama ajaran Islam,” tutur Munir. (Made/Riz)