Mengarusutamakan Moderasi

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Pada Kamis, 19 November 2020, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerjasama dengan Program Doktor Politik Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menggelar sarasehan bertajuk Meneguhkan Moderatisme Islam: Pencegahan Radikalisme Terorisme di Kalangan Dosen dan Mahasiswa Muhammadiyah.

Dalam kata sambutannya, Prof Dr Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, mengatakan bahwa isu moderasi harus menjadi proses pengarusutamaan dalam gerakan melawan radikalisme dan terorisme di negeri ini. Isu moderasi ini kemudian menjadi bagian penting dalam diskusi tentang radikalisasi dan terorisme yang dihadiri para dosen dan mahasiswa dari Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Yogyakarta.

Narasumber yang hadir dalam acara ini di antaranya adalah Prof Dr Irfan Idris (Direktur Deradikalisasi BNPT), M Najib Azca, Ph.D (Sosiolog UGM), Prof Dr Abdul Munir Mulkhan (Majelis Dikti PP Muhammadiyah). Pada sesi kedua yaitu Dr Agung Danarto (Wakil Sekretaris PP Muhammadiyah), Dr Chaedar Bamualim (Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Dr (cand) Sri Roviana (Anggota MKS PP Aisyiyah), dan Dr Megahidayati (Dosen Pascasarjana UMY).

Umat tengahan (ummatan washatha) yang menjadi saksi, pelaku utama dalam pembangunan peradaban yang unggul, sebagaimana dijelaskan di dalam Surat Al-Baqarah ayat 143, mengarahkan untuk menjadi umat yang terbaik (khaira ummah) sebagaimana dijelaskan dalam Ali Imran ayat 110.

Idealisasi Moderasi

Idealisasi umat terbaik adalah umat tengahan (moderasi). Tengahan dalam berbagai sikap dan tindakan. Tidak ekstrim ke kanan maupun ke kiri. Bahkan Islam itu sesungguhnya adalah agama yang tengahan (washathiyah). Oleh karenanya, landasan gerakan moderasi di dalam Islam sangatlah kokoh.

Haedar Nashir menyampaikan bahwa melawan radikalisme dengan radikalisme yang lain tidak akan menyelesaikan masalah, selain juga tidak memiliki akar yang kuat. Di samping itu, watak masyarakat Indonesia adalah moderat. Akulturasi bangsa juga berjalan secara moderat dan kultural. Maka yang seharusnya diarusutamakan adalah moderasi.

Upaya moderasi, seperti halnya yang selama ini telah dilakukan oleh Persyarikatan Muhammadiyah, kompatibel dengan masyarakat Indonesia, baik dari agama maupun kultur.

Bahkan, tegas Haedar, Pancasila merupakan upaya moderasi rakyat sehingga Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan dengan pluralitas suku bangsa, agama, bahasa, tradisi dan budaya yang sangat tinggi menjadi negara yang Bhinneka Tunggal Ika.

Upaya moderasi ini memang memerlukan napas panjang dan sangat mungkin berjalan lambat, seperti halnya sistem demokrasi, namun tetap harus dilakukan dan menjadi arus utama. Karena membangun sebuah negara dan bangsa besar seperti Indonesia ini tidak semudah membalik telapak tangan.

Upaya Serius

Dalam kaitannya dengan penanganan kasus terorisme di Indonesia, negara terlanjur membuat institusi dengan paradigma deradikalisasi. Menurut Haedar, perlu ada upaya serius untuk mengubah paradigma deradikalisasi tersebut menuju ke arah moderasi. Baginya, paradigma moderasi lebih pas untuk Indonesia. Paradigma ini perlu diubah karena akan berpengaruh pada sudut pandang penanganan yang dilakukan.

Selain itu, perlu dan penting juga untuk melakukan reorientasi kepada umat beragama, termasuk umat muslim sebagai mayoritas. Dalam kehidupan beragama, masih sering terjadi bias pemahaman dengan memilih cara kekerasan sebagai pilihan dakwah.

Kemudian di kalangan umat juga masih saja ada yang bersimpatik terhadap perilaku kekerasan tersebut hanya karena tidak suka pada rezim. Dalam memahami agama, menurut Haedar, harus dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani.

Haedar mewanti-wanti, jangan sampai kita menyimpan simpatik secara diam-diam pada gerakan dan aksi radikal hanya karena tidak suka pada keadaan dan rezim. Beliau juga mengajak semua pihak untuk bermuhasabah. Negara harus melakukan perubahan paradigma dan perspektif menuju ke arah moderasi. Kampus-kampus juga harus menjadi tempat untuk memoderasi pemikiran. (Erik)

Exit mobile version