Hukum Kredit Rumah dan Jual Beli Saham
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Pengelola Majelis Tarjih yang saya hormati, mohon informasi apakah ada buku fatwa dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah terkait 2 hal, 1) kredit rumah; 2) jual beli saham di pasar saham. Kalau ada bagaimana saya agar mendapatkannya, atau dapatkah saya dibantu dengan mengirimkan ke tempat tinggal saya? Untuk biaya pengiriman dan biaya cetak saya bersedia menggantinya atau berkenan kiranya menjelaskan melalui surat elektronik ini. Terima kasih.
Awaludien Indra Waskita (Disidangkan pada Jum‘at, 3 Rabiulawal 1441 H / 1 November 2019 M)
Jawaban:
Wa ‘alaikumussalam wr. wb.
Terima kasih atas pertanyaan saudara. Sebelumnya perlu disampaikan bahwa mengenai dua hal yang saudara tanyakan belum pernah dibahas secara khusus dalam Buku Tanya Jawab Agama Jilid 1-8 maupun pada rubrik Tanya Jawab Agama Majalah Suara Muhammadiyah. Oleh karena itu kami akan mencoba menjawabnya.
Kredit Pemilikan Rumah (KPR)
Mengenai hal pertama, yakni kredit rumah, perlu diketahui bahwa kredit adalah transaksi yang biasa dilakukan masyarakat yang tidak dibayarkan secara tunai, namun dengan pembayaran non tunai. Dalam literatur lain kredit berasal dari bahasa Yunani yaitu “credere” yang berarti kepercayaan. Kredit yang diberikan harus dapat dikembalikan ke pemberi kredit sesuai waktu dan syarat yang telah disepakati bersama. Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Pasal 1 ayat (11), kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu dengan pemberian bunga.
Kredit rumah, atau Kredit Pemilikan Rumah (KPR), merupakan salah satu jenis pelayanan kredit yang diberikan oleh bank kepada para nasabah yang menginginkan pinjaman khusus untuk memenuhi kebutuhan dalam pembangunan rumah. Secara umum ada tiga jenis KPR, yaitu KPR subsidi, non subsidi, dan syariah. Yang dimaksud KPR subsidi adalah suatu kredit yang diperuntukkan kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan menengah ke bawah.
Bentuk subsidi yang diberikan berupa: subsidi meringankan kredit dan subsidi menambah dana pembangunan atau perbaikan rumah. Kredit subsidi ini diatur tersendiri oleh pemerintah. Selanjutnya KPR non subsidi atau bisa disebut KPR konvensional merupakan KPR yang diperuntukkan bagi seluruh masyarakat tanpa adanya campur tangan pemerintah.
Ketentuan KPR ditetapkan oleh bank itu sendiri, sehingga penentuan besarnya kredit dan suku bunga dilakukan sesuai dengan kebijakan bank yang bersangkutan. Sedangkan KPR syariah merupakan salah satu produk pembiayaan Bank Syariah yang membiayai kebutuhan nasabah dalam hal mengadaan rumah tinggal (konsumtif), baik baru maupun bekas.
Nasabah dapat mengangsur pembayarannya dengan jumlah angsuran yang tidak akan berubah selama masa perjanjian. Perbedaan antara produk KPR Bank Konvensional dengan Bank Syariah ada pada konsep bagi hasil dan kerugian (profit dan loss sharing). Hal yang perlu diperhatikan antara KPR Konvensional dengan KPR Syariah adalah perbedaan akad yang berlaku pada keduanya.
Dari definisi di atas diketahui bahwa akad yang berlaku pada KPR Konvensional itu terdapat bunga yang merupakan unsur riba, tentu riba dalam syariat Islam diharamkan, sebagaimana firman Allah swt dalam surah Ali-‘Imron (3): 130,
يآ أَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَأْكُلُوْا الرِّبوا أَضْعَافًا مُضعَفَةً وَاتَّقُوْا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ [آل عمران : 130] .
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu makan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Firman Allah swt yang lain dalam surah Al-Baqarah (2):275,
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا [الباقرة : 275] .
“Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.”
Hadis Nabi Muhammad saw riwayat Abu Dawud,
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ عَمْروٍ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ حَجَّةِ اْلوَدَاعِ يَقُوْلُ: أَلاَ إِنَّ كُلَّ رِباً مِنْ رِباَ اْلجاَهِلِيَّةِ مَوْضُوْعٌ لَكُمْ رُؤُوْسُ أَمْواَلِكُمْ لاَ تَظْلِمُوْنَ وَلاَ تُظْلَمُوْنَ [رواه أبو داود] .
“Dari Sulaiman Ibn ‘Amr, dari ayahnya (diriwayatkan bahwa) ia berkata, saya mendengar Rasulullah saw bersabda pada waktu Haji Wadak, ketahuilah bahwa setiap bentuk riba Jahiliah telah dihapus; bagimu pokok hartamu, kamu tidak menzalimi dan tidak dizalimi [H.R. Abu Dawud No 3334].
Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah No 08 Tahun 2006 tentang bunga bank memutuskan bahwa bunga (interest) adalah riba karena (1) merupakan tambahan atas pokok modal yang dipinjamkan, padahal Allah berfirman “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu” (2) tambahan itu bersifat mengikat dan diperjanjikan, sedangkan yang bersifat suka rela dan tidak diperjanjikan tidak termasuk riba.
Sedangkan KPR Syariah di dalamnya tidak menganut sistem riba, namun menganut sistem murabahah yaitu suatu penjualan barang seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati. Murabahah dilaksanakan atas dasar saling rela atau suka sama suka dengan tidak keluar dari aturan agama Islam. Adapun prosedur pembiayaan murabahah dapat dijelaskan sebagai berikut,
Nasabah melakukan pemesanan barang yang akan dibeli kepada Bank Syariah, dan dilakukan negosiasi terhadap harga barang dan keuntungan, syarat penyerahan barang dan syarat pembayaran barang. Setelah diperoleh kesepakatan dengan nasabah, Bank Syariah mencari barang yang dipesan (melakukan pengadaan barang kepada pemasok). Bank Syariah juga melakukan negosiasi terhadap harga barang, syarat penyerahan, dan syarat pembayaran. Pengadaan barang yang dipesan nasabah merupakan tanggung jawab bank sebagai penjual.
Setelah diperoleh kesepakatan antara Bank Syariah dan pemasok, dilakukan proses jual barang dan penyerahan barang dari pemasok ke Bank Syariah. Setelah barang secara sah menjadi milik Bank Syariah, dilakukan proses akad jual beli murabahah. Penyerahan dari penjual yaitu Bank Syariah kepada pembeli yaitu nasabah, dengan memperhatikan syarat penyerahan barangnya. Tahap akhir adalah dilakukan pembayaran yang dapat dilakukan dengan tunai atau tangguh sesuai kesepakatan Bank Syariah dengan nasabah.
Bank Konvensional dan Bank Syariah
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa persyaratan administrasi dalam proses pembiayaan KPR antara Bank Konvensional dengan Bank Syariah secara umum hampir sama, akan tetapi terdapat hal-hal yang mendasar yang membuat bank tersebut berbeda. Di antaranya perlakuan nasabah jika terlambat membayar angsuran dan ketika nasabah menginginkan melunasi kewajibannya sebelum jatuh tempo.
KPR Syariah pada dasarnya mempunyai fungsi yang sama dengan KPR Konvensional, yaitu sebagai salah satu pembiayaan yang bertujuan untuk membantu para nasabah mewujudkan keinginan mereka untuk memiliki sebuah rumah. Perbedaan dari akad/perjanjian antara Bank Konvensional dengan Bank Syariah terletak pada perhitungan angsuran, yang Bank Konvensional menetapkan sistem bunga dalam perhitungan angsuran, sedangkan Bank Syariah menetapkan margin keuntungan yang disampaikan terlebih dahulu kepada nasabah sebelum nasabah menandatangani akad perjanjian.
Selain dapat dilakukan dengan sistem murabahah, kredit rumah bisa juga dilakukan dengan sewa menyewa yang berakhir pada kepemilikan (ijarah muntahiah bit-tamlik) dan ishtishna’. Ijarah muntahiah bit-tamlik menurut Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan Peraturan Bank Indonesia, akad ijarah muntahiah bit-tamlik adalah akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang. Sedangkan ishstishna’, Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia menjelaskan bai’ al-istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’).
Kaitannya dengan pembahasan ijarah muntahiah bit-tamlik, dapat diambil contoh tentang pemindahan kepemilikan rumah antara pemerintah selaku penyedia dan penyewa sebagai orang yang ingin memiliki rumah namun tidak bisa membayar secara cash. Sedangkan istishna’ contohnya adalah seseorang membutuhkan rumah dengan spesifikasi yang diinginkan kemudian bekerja sama dengan Bank Syariah selaku pihak yang dimintai jasa untuk mencarikan rumah sesuai spesifikasi yang diminta.
Jual Beli Saham
Mengenai hal kedua, yaitu jual beli saham, saham merupakan surat berharga yang dapat dibeli dan dijual oleh perorangan atau lembaga di pasar tempat surat tersebut diperjualbelikan. Menurut Darmadji dkk, saham dapat didefinisikan sebagai tanda penyertaan atau kepemilikan seorang atau badan dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas. Sesuai fatwa yang telah dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia, saham adalah bukti kepemilikan seseorang/pemegang saham atas aset perusahaan sehingga penilaian atas saham seharusnya berdasarkan atas nilai aset.
Pasar modal merupakan pasar untuk berbagai surat berharga keuangan jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik dalam bentuk utang atau modal. Perbedaan secara umum antara pasar modal konvensional dengan pasar modal syariah dapat dilihat pada instrumen dan mekanisme transaksinya. Sedangkan perbedaaan nilai indeks saham syariah dengan nilai indeks saham konvensional terletak pada kriteria saham emiten yang harus memenuhi prinsip-prinsip dasar syariah.
Secara umum, konsep pasar modal syariah dengan pasar modal konvensional tidak jauh berbeda meskipun dalam konsep pasar modal syariah disebutkan, saham yang diperdagangkan harus berasal dari perusahaan yang bergerak dalam sektor yang memenuhi kriteria syariah dan terbebas dari unsur ribawi, serta transaksi saham dilakukan dengan menghindarkan berbagai praktik spekulasi.
Wallahu a‘lam bish-shawab
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 7 Tahun 2020